Raefal Max Celeste

Pagi-pagi sekali Tiara sudah bangun dan memanggang roti untuk sarapan. Niatnya, ia ingin olahraga lari pagi, karena beberapa hari belakangan dia banyak diam di rumah.

Badannya yang serasa lemas itu juga berangsur pulih, semenjak ikut bergabung dengan acara penting perusahaan, dia malah merasa enakan saat bangun.

" Mau makan bareng kakak, Nyu?" Tiara yang sedang menaruh sepiring roti dan segelas susu di meja makan, melirik Banyu yang hanya diam duduk di sofa.

" Itu cuma buat satu orang. Aku gak mau makan buah itu." Banyu kembali diam merenung seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak tahu apa itu.

" Kalau mau, aku panggang roti lagi. Ini untuk kamu," tawar Tiara ramah. Banyu bangkit dan menghampiri kakaknya. Dia menarik kursi dan duduk masih dengan wajah seriusnya.

"Kamu pikirin apaan sih? Ayo makan. Aku mau panggang lagi." Tiara menyodorkan roti dan susu tadi. Baginya, adiknya adalah segalanya dan teman pertamanya yang setia, apapun akan dia turuti kemauan adiknya asalkan untuk hal yang baik.

Banyu mengangguk. " Aku tunggu kakak."

Tiara dan Banyu mulai sibuk menghabiskan makanan mereka masing-masing. Satu suap, dua suap, tapi Banyu yang biasanya akan terus bicara malah terus diam sambil sesekali seperti sedang berpikir.

"Gak mau ngomong kamu?" Tiara memberanikan diri untuk memulai obrolan. Banyu menggelengkan kepalanya.

"Bicara aja. Jangan dipendem, aku gak tau bisa ngasih solusi atau enggak, tapi seenggaknya aku bisa jadi pendengar dan kamu lega."

"Yang aku pikirin tentang kakak, Mbak Cici, sama anjing penjaga baru yang mati."

Tiara mengerutkan alisnya. "Pikirin apa kamu tentang aku?"

Banyu menghentikan makannya. "Lebih tepatnya aku pikirin tentang kejadian kemarin." Banyu berbisik kepada Tiara walaupun sebenarnya itu seperti tidak sedang berbisik karena suaranya yang cukup besar.

" Aku gak nyangka aja kalau Mamah yang ngerancang semua itu, ngirim surat yang ada darahnya ... "

Tiara menghela nafas. " Ditambah Mbak Cici yang mati, anjing itu juga mati. Kayaknya darah di surat itu darah anjing!" Banyu melanjutkan dengan sangat antusias. Berbeda dengan Tiara yang hanya diam dan menghela nafas begitu seterusnya.

"Lanjutkan makannya. Aku mau olahraga pagi." Tiara bangkit dan keluar dari rumah meninggalkan Banyu yang kebingungan.

***

Tik...Tik...Tik...

Pagi yang dikira akan terus cerah ternyata berubah dengan sesaat. Rintik air hujan jatuh perlahan menyentuh badan Tiara yang sedang berjalan sambil melamun.

Ya, begitulah. Olahraganya di pagi hari ini rasanya dirusak oleh Banyu, setidaknya itu yang dia pikirkan. Ucapan Banyu tadi membuat dirinya menjadi mulai berpikir dan berpikir.

Lama kelamaan, air hujan mulai turun lebih banyak. Tiara sadar dari lamunannya dan langsung mencari tempat berteduh. Tempatnya saat ini cukup jauh dari rumah. Dia juga bahkan tidak sadar kemana kakinya membawanya melangkah tadi.

Sampai saat dia melihat teras sebuah ruko yang tutup, ia mulai merasa lega. Setidaknya bajunya tidak akan terlalu basah, karena semakin lama air hujan bertambah jumlahnya.

Orang-orang juga beberapa mulai berteduh di sampingnya. Keadaanya sama, rambut yang basah, baju olahraga yang basah, dan ekspresi kedinginan. Sampai mata Tiara melihat seorang lelaki yang memakai kaos biru langit yang sedang berusaha menyingkirkan serangga di badan.

Badannya yang kekar, bahu yang lebar, tinggi semampai, dan wajah tampan lelaki itu mencuri perhatian Tiara. Tak luput dari perhatiannya yaitu wajahnya yang lucu, panik, dan jijik dengan serangga yang mendekati.

Beberapa kali, Tiara tertawa kecil melihatnya. Sungguh, lelaki tampan yang nyalinya ciut terhadap serangga.

Sungguh, lelaki tampan yang penakut, Tiara kembali tersenyum tipis. Dia mendongak dan Aish! Sial! Sejak kapan lelaki itu berdiri di sampingnya.

"Maaf kalau aku lancang. Tapi, kalau aku tidak salah mengira ah bukan kamu memang melihatku, kenapa kamu tertawa? Ada sesuatu yang lucu? Saat temanmu ketakutan, apa kamu hanya diam dan tertawa?" Lelaki itu memulai obrolan. Obrolan yang panjang, lebih seperti memastikan dan bertanya. Sekali bicara, dia langsung memberikan banyak pertanyaan.

Tiara hanya diam tanpa satu katapun. Bukannya dia tidak mau menjawab, tapi dia bingung pertanyaan mana yang harus dijawab.

"Kamu hanya perlu mengatakan padaku apa yang lucu." Lelaki itu bicara dengan sangat sopan, suaranya juga lembut, walaupun memang merasa ditertawai dia tetap tenang dan tidak marah-marah.

"Maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa hanya wajahmu lucu saat ketakutan." Tiara menatap laki-laki itu sementara dia hanya melihat ke arah depan atas menunggu hujan reda.

"Hm, ya." Lelaki itu bergeser ke arah samping lebih menjauh dari Tiara. Gak lama, hujan pun reda. Tiara, lelaki itu dan orang-orang lainnya langsung berhamburan pergi.

Belum terlalu jauh, Tiara berbalik dan melihat punggung lelaki itu. Badannya yang tegap terlihat berlalu pergi. Sudah banyak lelaki yang Tiara lihat, dia tatap, bahkan banyak juga lelaki yang dia lihat pergi. Tapi, anehnya, dia tidak rela badan itu hilang dari pandangannya.

Tanpa dia sadari, senyum kecil mulai merekah dari bibirnya. Apa yang dia kagumi? Wajahnya? Badannya? Atau cara bicaranya? Tiara tidak tahu. Sekarang, dia hanya berharap badan itu tidak menghilang.

Dan itu terjadi. Lelaki itu membalikkan badannya. Seketika senyuman Tiara luntur berubah menjadi muka panik, karena dia kepergok melihatnya.

"Apa kamu kembali menertawai ku?" Teriak lelaki itu dibalas gelengan kepala Tiara. Lalu, pergi meninggalkannya. Pada akhirnya, badan tegap itu hilang dari pandangannya.

***

"Aku mau ke pasar malam. Kamu mau ikut, Banyu?" Tiara turun dari tangga dan menghampiri adiknya yang sedang memakan mie instan.

"Loh? Bukannya akhir pekan nanti?"

"Dipercepat. Banyak orang yang pergi bergerombol tadi dan membahas pasar malam. Di daerah sana juga terasa lebih ramai dari biasanya." Jelas Tiara sembari terus menunggu jawaban Banyu.

"Hayu. Aku ikut, udah minta izin papa mama?" Tanya Banyu seraya membersihkan bekas makanannya. Tiara hanya mengangguk dan memutuskan menunggu di luar rumah.

Suasana pasar malam benar-benar ramai. Banyak keluarga maupun pasangan yang menghabiskan waktu mereka di sini.

Rasanya setelah hari dimana dia bertemu pria itu, dia selalu ingin keluar rumah. Dalam hatinya, ada rasa penasaran ingin berbicara dan bertemu dengan lelaki itu. Walaupun sebenarnya, alasan dia kesini adalah untuk menepati janjinya pada Ryder, anak Arsen, teman papahnya.

"Wah. Tempatnya benar-benar ramai, apa mungkin karena ini pasar malam yang pertama kali diadakan setelah bertahun-tahun lalu?" Banyu bertanya dengan melihat ke sekitar pasar malam.

"Ini juga untuk pertama kalinya kakak mau keluar rumah dengan lama. Jangan bilang kakak hanya keliling sebentar tanpa menaiki wahana."

Tiara tersenyum sambil menggeleng. "Aku ada janji disini. Aku akan cari orangnya, dan kamu cari wahana yang kamu suka. Dah. Akan aku kabari kalau sudah selesai." Tiara berjalan menjauh dari Banyu.

Janji? Di pasar malam? Atau kencan?

***

Tiara masih terus menengok ke kanan dan ke kiri. Matanya bekerja begitu jeli mencari Ryder dan otaknya juga bekerja mengingat wajah Ryder.

Tring...

+628583000511

Kita ketemu di depan wahana komedi putar

^^^Tiara^^^

^^^Iya. Aku kesana.^^^

+628583000511

Aku pakai baju biru langit. Aku tunggu.

Setelah mendapat pesan itu, Tiara langsung bergegas menuju tempat wahana komedi putar yang dimaksud. Lokasinya tidak jauh dari pintu masuk, tadi dia sudah melihatnya jadi dia tidak akan kebingungan mencarinya.

***

Tiara duduk di bangku sebrang wahana. Setiap ada lelaki yang lewat, dia langsung memperjelas penglihatannya. Namun, belum juga dia melihatnya.

"Permisi. Apa kamu Tiara?" terdengar suara seorang lelaki dari arah belakang. Tiara membalikkan badannya dan matanya terbelalak. Lelaki yang dia lihat saat hujan tadi pagi kembali dia lihat pada malam harinya.

"Maaf? Iya, saya maksudnya aku Tiara. Mungkin lebih akrab." Tiara menjulurkan tangannya. Perasaan aneh kembali dia rasakan, karena ini pertama kalinya dia yang memulai berinteraksi dengan menjabat tangan lawan jenis yang sedang berbicara padanya. Ya Tuhan, apa benar-benar aku terpikat? Setidaknya itu yang ada dibenaknya saat ini.

"Terserah padamu. Namaku Raefal Max Celeste. Kamu juga bisa memanggilku apapun, terserah padamu." Lelaki itu menjawab pertanyaan dan bersalaman dengan Tiara. Benar-benar cara bicara dan ucapannya membuat Tiara terpesona. Dan sekarang dalam pikirannya, benar, dia terpikat dengan cara lelaki itu berbicara.

"Tiara. Elina Tiara Cahya Pradipta." Tiara terus tersenyum. Lelaki itu juga, walaupun terkesan dingin, tapi dia tidak terlalu buruk. Dia juga terus tersenyum. Tidak hanya sok jual mahal dengan muka datar.

"Pradipta? Uh, aku kesini menggantikan Ryder. Dia tidak bisa kesini." Pernyataan Raefal sedikit membuat Tiara terkejut. Dia yang janji, tapi dia yang mengingkarinya.

Tiara membuka ponselnya untuk memeriksa pesan terakhir antaranya dengan Ryder.

Tring...

+628583000511

Kakakku akan kesana. Maaf.

Kurang ajar! Apa Ryder mempermainkanku? Hanya karena aku tidak sengaja melihat ke arahnya di acara?

"Apa dari Ryder? Maaf. Atas namanya. Akan aku temani kamu bermain di pasar malam. Tapi, tolong maafkan Ryder." Raefal sedikit membungkuk menatap Tiara dengan wajah memohon.

Raefal kembali menatap Tiara. "Ayo, aku temani kamu berkeliling."

"Tidak usah. Untuk apa kamu yang minta maaf. Katakan pada adikmu, aku ingin bertemu dengannya sekali, dia yang harus minta maaf. Aku permisi." Tiara yang terlanjur kesal pergi meninggalkan Raefal yang masih berdiri di dekat bangku.

Di satu sisi, dia kesal dengan perbuatan Ryder yang mengingkari janji dan malah mengirim Raefal kesini. Tapi, di satu sisi lain dia kembali merasa tidak ingin melihat badan tegap yang dia lihat waktu itu yang tak lain Raefal pergi menghilang. Perasaan itu ada lagi. Ada apa Tiara? Kamu baru mengenalnya. Bahkan hanya baru berbicara singkat, kenapa terasa begitu terikat?

Lagi dan terulang lagi, belum jauh dari tempat dia bicara dengan Raefal, dia membalikkan badannya. Tujuannya sangat simple, hanya ingin melihat Raefal.

Raefal juga memandang Tiara. Entah mengapa dia merasa tatapan Tiara seperti mengatakan bahwa dia tidak boleh pergi atau ikuti aku, jangan tinggalkan aku sendiri. Tapi, karena itu hanya perasaan, semua itu langsung dia tepis.

Berbeda dengan Tiara, yang pastinya dia pasti akan memikirkan penyebab dan alasan mengapa dia begitu merasa tertarik.

Kenapa dia terasa terus menarik. Hanya dalam hitungan menit dan bahkan hanya dengan tatapannya aku tertarik. Mengapa?

-Elina Tiara Cahya Pradipta

Dia menarik dan bisa menarik perhatianku. Tapi, itu masih dalam hitungan jam, bukan tahun.

-Raefal Max Celeste

Episodes
Episodes

Updated 75 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!