Terjerat Pesona Istri Paman

Terjerat Pesona Istri Paman

Tragedi.

Tik tik tik...

Jarum jam berdenting lebih pelan, seakan sedang menghitung mundur.

Nyawanya akan melayang jika Emilio tetap memutuskan untuk meloncat dari gedung bertingkat yang berdiri menjulang di bawah kakinya.

Dalam sekali hempasan saja, semua masalah dan kalut juga keributan yang ada di otaknya akan hilang.

Desas desus tentang pelecehan dan penggelapan yang di tuduhkan kepadanya akan sirna bersama jatuhnya tubuh Emilio dari atas gedung bertingkat yang saat ini di pijak olehnya.

Namun begitu pula dengan karier debutnya yang sempat naik daun akan hilang pula bersama nama besar dan seluruh pengorbanannya di panggung hiburan akan turut lenyap.

Namun Emilio seakan tidak perduli akan hal tersebut tekadnya untuk mengakhiri hidup sudah bulat, bahkan Emilio sudah memikirkan ini sejak sebulan lamanya, tepat setelah tragedi malam itu.

Flashback to tragedy Emilio.

"Ayolah, Mil! satu gelas saja ini untuk perayaan seluruh pencapaian lu berkarir selama ini. Nama lu sudah di kenal banyak orang. Banyak job di mana mana, bahkan tender kali ini sangat menguntungkan bukan?. Dan projek film Lu yang kemarin saja sangat berhasil masa lu nggak mau ngerayain kejayaan lu sebagai pemegang tetap piala Artis Top lima tahun berturut-turut?" bujuk seorang lelaki yang cukup dekat dengan Emilio, dia adalah Dicky.

Dicky adalah teman sesama Artis Elilio, namun Dicky kerap hanya menjadi pemain pengganti dari Emilio atau kadang hanya menjadi pemegang peran kedua, oleh sebab itu Dicky jarang muncul di permukaan walau mereka debut di waktu bersamaan.

Dicky dan Emilio sudah berteman sejak lama, sejak mereka belum menjadi Artis papan atas, bahkan mereka melakukan casting bersama namun keberuntungan lebih memihak kepada Emilio.

"Tapi, Dic. Besok gue ada syuting pagi. Gue takut kebablasan, dan mempengaruhi maksimalis gue dalam berperan." Tolak Emilio.

"Nggak mungkinlah, Mil. Lagian cuma beberapa gelas doang kok, lu juga bukan lelaki payah 'kan?. Satu dua gelas juga nggak bakalan berpengaruh buat lu" Dicky masih berusaha membujuk.

Emilio mengangguk-angguk saat menyetujui perkataan Dicky

"Jadi gimana?. Lu setuju?" Dicky ber_raut senang.

Meski Emilio sempat ragu ragu dalam mengiakan, akhirnya demi memenuhi permintaan teman lamanya Emilio menyetujui permintaan tersebut dan pergi ke satu bar yang sudah di tentukan oleh Dicky.

"Lu memang terbaik" puji Dicky saat Emilio mengangguk pelan walau penuh keraguan.

.

.

Dengan menggandeng pundak Emilio Dicky akhirnya menunjuk satu meja yang ternyata diam diam sudah di pesan olehnya, setelah Emilio duduk Dicky langsung memanggil Bartender untuk menuangkan beberapa gelas buat dirinya dan Emilio.

Satu teguk, dua teguk Emilio masih bisa menahan diri dan menikmati minumannya, namun setelah dua seloki Emilio mulai merasakan pusing yang sangat, bahkan kepalanya kini sangat berat bahkan Emilio tak mampu mengendalikan diri lagi, untuk sekedar bangkit pun Emilio harus di papah oleh Dicky.

"Mil. Lu kenapa?." Tanya Dicky sambil menepuk-nepuk wajah Emilio yang hampir kehilangan kesadaran.

Emilio terlihat berusaha tetap tenang dan terjaga, namun ia tidak mampu.

"Gue kenapa?" Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Emilio sebelum ia tertidur.

"Lu istirahat dulu, Mil. Mungkin lu kelelahan" pinta Dicky sambil bantu merebahkan tubuh Emilio di atas sofa yang sebelumnya mereka duduki.

Saat Dicky merebahkan tubuh Emilio di atas sofa, Emilio masih memiliki sedikit kesadarannya, namun semenit setelah itu Emilio benar benar sudah tidak bisa mengingat apapun lagi.

Dor dor dor dor..

Dalam setengah kesadaran yang tersisa nanar Emilio mendengar seseorang menggedor pintu dengan keras, sang penggedor juga berteriak.

"Kamar nomor 302 harap membuka pintu atau kami terpaksa mendobrak!" Teriakan tegas.

Namun Emilio yang tidak sadar dirinya sedang berada di mana sempat mengabaikan teriakan tersebut dan mengira kamar nomor 302 itu adalah kamar lain, dan Si Petugas sedang memanggil orang lain, untuk itu Emilio lanjut memejamkan matanya.

Namun semenit berselang, teriakan dan gedoran itu kembali mengganggu telinganya, namun lagi lagi Emilio mengabaikannya karena sangat mengantuk bahkan Emilio fikir waktu pun masih sangat pagi untuk bangun, setidaknya ia masih punya waktu 2-3 jam buat beristirahat sebelum melanjutkan Syuting besok pagi, Emilio kembali tidur untuk memulihkan semua energinya, dan menyimpan cadangan energi buat bekerja yang bisa sampai larut malam.

Lima menit berselang.

Managernya menelpon dan Emilio kembali terbangun, dengan malas menerima panggilan.

"Um" sahutnya sambil memejamkan mata.

"Lu dimana?" Terdengar suara penuh amarah di dalam panggilan membuat Emilio sempat mengernyit tidak suka pada nada bicara itu, sebab sebelumnya Sang Manager selalu memperlakukannya dengan baik dan sopan.

"Gue ketiduran di Bar" jawab Emilio dengan malas dan suara yang berat.

"Kenapa lu pergi nggak ngabarin gue?!. Bisa nggak sih jangan membuat onar?" Sang Manager kembali berteriak.

"Lu kenapa jadi nyolot sih?" Sergah Emilio mendadak melek lalu bangkit.

"Jangan banyak bicara, buka pintu sekarang juga atau orang orang di sini bakal dobrak kamar lu!" teriak Sang Manager, Emilio tidak paham pintu mana yang di maksud Managernya itu, lalu kemudian kondisi riuh di dalam panggilan semakin membuat Emilio bertanya tanya.

Telinganya mendengar seorang ibu menangis sambil memanggil nama putrinya.

"Suli, dia masih kecil kenapa dia tega melakukan itu?. Buka! Aku mohon buka, aku ingin melihat putriku" ucapnya. Lalu saat bersamaan Manager Emilio berteriak kepada Emilio.

"Buka pintunya sekarang juga!. Kau benar benar memalukan!"

"Tunggu! Apa maksudmu!"

Emilio dalam kebingungan mencari tau apa yang terjadi di sekelilingnya.

Alangkah terkejutnya Emilio disaat menyadari bahwa ternyata dirinya sedang berada di suatu kamar bersama seorang gadis dengan wajah masih belia.

"Tidak!" Emilio mencoba membantah keadaan dirinya dan gadis yang terlanjur tanpa busana tersebut.

"Bagai mana ini bisa terjadi?" Panik, itulah yang di alami Emilio sekarang.

Dalam kesadaran yang belum pulih Emilio mencoba mengingat ingat apa yang terjadi, sambil mencoba membangunkan gadis belia yang berbaring hanya di tutupi selimut di sampingnya.

Pakaian yang berserakan menjadi bukti, adegan terlarang telah terjadi di antara mereka.

Emilio terus berusaha mencari ingatannya, namun seterusnya mentok hanya sampai berbaring di atas sofa setelahnya Emilio benar benar tidak ingat lagi.

"Hei. Hei. Bangun!" Emilio mencoba membangunkan gadis itu untuk mencari tau apa yang terjadi di antara mereka.

Demi memastikan sesuatu yang ia fikirkan, tangan Emilio merayap untuk menyingkap pakaian gadis yang saat itu berbaring di dekatnya.

Seketika Emilio menangkup kepalanya yang di penuhi rasa tidak percaya, berjuta tanya dan penyesalan kini berhamburan di kepalanya.

Ini mimpi, ya ini hanyalah mimpi.

Ia seharusnya ini hanyalah mimpi, mana mungkin ini nyata, sebab Emilio tidak merasakan apapun apalagi sekarang otaknya tidak dapat memikirkan apapun.

"Hei bangunlah!" Emilio mencoba membangunkan gadis belia itu, "Aku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Bangunlah! Kau harus menjelaskan semuanya!" Emilio benar benar panik dan ketakutan, apalagi saat mendengar desakan di pintu masuk semakin kuat.

Setelah sekuat tenaga membangunkannya, gadis belia tersebut mulai membuka mata, namun tiba tiba ia berteriak histeris dan menangis membuat Emilio semakin dilanda panik.

"Hei kenapa kau menangis, aku tidak menyakitimu" ucap Emilio, jiwanya yang di landa panik masih harus menenangkan gadis kecil yang tampaknya ketakutan itu.

Di waktu yang kurang tepat itu pintu akhirnya berhasil di buka paksa.

Semua orang yang sempat merangsak tidak sabar untuk masuk kedalam kamar, berdesakkan masuk dan melihat penampilan Emilio dan gadis belia itu berada di atas tempat tidur yang sama dengan kondisi Emilio tanpa baju hanya berselimut begitupun gadis belia itu. Namun gadis itu kini sedang menangis tersedu sedu sepertinya ia ketakutan.

Manager, Dicky, orang tua Si Gadis dan beberapa repoter juga fans Emilio berhamburan masuk seiring pintu yang telah terbuka itu.

Meski sempat di hadang hadang, namun Reporter terus berusaha mengambil gambar Emilio untuk mereka terbitkan di media cetak mau pun media online.

"Tolong jangan mengambil gambar!" Ucap petugas keamanan hotel sambil mendorong keluar tubuh Reporter, Emilio di paksa memakai pakaiannya dan di seret ke kantor polisi.

Kilatan cahaya blit kamera menyilaukan mata Emilio seolah sedang menjadi dejavu yang memutari otaknya berulang ulang.

Emilio berhasil keluar setelah sebulan lebih menghadapi proses hukum, namun meski sudah dinyatakan bebas bersyarat Emilio sudah kehilangan banyak hal.

Sejak kejadian itu, kontrak kerjanya di putus dan semua Managment mengeluarkan dirinya, bahkan beberapa brand ambasador melayangkan berbagai surat gugatan. Sebab kerena kejadian ini mereka menanggung kerugian yang tidak sedikit, lalu selain melakukan putus kerja mereka juga meminta Emilio mengganti kerugian yang terhitung tidak sedikit, semuanya menjadi hancur berantakan dalam kurun waktu setengah malam saja.

Belum lagi kasus penggelapan yang menerpa dirinya, membuat Emilio semakin merasa sesak untuk bernafas bebas.

Kini satu bulan lebih setelah kejadian itu Emilio yang kian terpuruk sedang berdiri di atas gedung dan berniat mengubur semua masalah serta mengubur nama besarnya.

Air mata terakhir jatuh mengenai ujung kaki Emilio, dia sudah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dan pamit untuk dirinya sendiri.

Terlepas dari seberapa hancur tubuhnya saat mendarat di bawah sana Emilio hanya butuh waktu kurang dari 120 detik untuk merasakan sakit itu lalu setelahnya semua akan terlupakan.

4, 3, 2, 1. Emilio sudah pasrah dengan hidupnya, dengan apa yang akan terjadi dan akan ia tinggalkan.

Tiiittt

Deringan panjang menjadi akhir semuanya.

.

.

.

.

.

Di tempat yang sama.

Seorang perempuan sedang menumpahkan seluruh amarah dan kekecewaannya, tangis panjang yang sudah ia lewati, meski tak meredakan rasa sakit di hatinya namun cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tenang.

Dua jam yang lalu.

"Bu, aku memang belum berhasil memberi Mas Zian keturunan tetapi bukan berarti ibu bisa menghadirkan perempuan lain kedalam pernikahan kami!" Pekik Aliliana kepada ibu mertuanya.

Ini adalah kali pertama buat Aliliana berani berbicara lebih tinggi di banding mertuanya, sebab Aliliana merasa sikap mertuanya kali ini sudah sangat keterlaluan.

"Lihatlah istrimu Zian!" Sahut Mama Feronika (Ibu mertua Aliliana) memotong ucapan Aliliana "Apa dia pantas menjadi ibu anak anakmu? Sementara dia tidak tau bagai mana bersikap baik kepada orang lain, padahal aku ini mertuanya dia. Sudah sepantasnya dia patuh dan bersikap santun"

"Bagai mana aku bisa menghormati ibu, sementara ibu sendiri tidak pernah mempertimbangkan perasaan ku, ibu selalu semena-mena, dan ibu juga selalu memandang aku sebelah mata. Ibu mengatur semua aktivitas Mas Zian, ibu mengatur rumah tangga kami"

"Zian!" Feronika berisyarat dengan suaranya, dan Zian pun langsung mengerti akan isyarat tersebut.

"Aliliana, jaga gaya bicara mu. Dia ibu ku, kau sudah berkata kasar"

"Mas!.. Apa aku terdengar memaki Ibu, mengata-ngatai ibu dengan bahasa yang tidak pantas?. Aku hanya sedang mengatakan yang sebenarnya terjadi, apa kamu tidak menyadari itu, Mas!. Selama ini..."

"Sudah Aliliana!" Potong Feronika "Aku memang selalu terlihat buruk di mata mu. Dan sekarang kau berusaha menunjukkan itu di depan tamu ku (Perempuan yang di bawa Feronika buat di Zian) dan menunjukkan bahwa aku mertua buruk di depan anakku"

"Bu sudah bu, kita di sini buat makan malam bersama, bukan untuk berargumen" Zian menyelai.

"Bukan ibu yang membuat makan malam ini canggung, tapi istrimu" sorot mata Feronika memicing tak suka.

"Bu. Ibu yang sengaja mengacaukan makan malan kita, ibu sengaja membawa perempuan lain"

"Aliliana, cukup!" Zian membentak istrinya, meski dengan suara pelan namun cukup menyinggung perasaan Alililana "Bisakah kita membahas ini di rumah saja?. Ini tempat umum, orang orang akan terganggu dengan gaya bicara mu"

"Maaf Tante, sepertinya saya kurang tepat kalau bergabung sekarang, lebih baik saya pamit pulang saja, kalian bisa melanjutkan makan malam dengan tenang" kata Celia (Perempuan yang di bawa Feronika).

"Tidak Celia! Bukan kamu yang membuat makan malam ini menjadi canggung, tapi orang lain" sindir Feronika.

Meski yang di lakukan Feronika jelas sebuah kesalahan, tetapi tampaknya Feronika masih tidak sadar.

Aliliana menelan ludah dengan pahit saat Feronika berkata seperti itu, air matanya sudah menumpuk di ujung pelupuk mata. Aliliana berharap Zian akan membelanya dengan menyuruh Celia pergi dari acara makan malam itu, tetapi sayangnya yang di harapkan Aliliana terbalik dengan yang di ucapkan Zian.

"Tidak boleh ada yang pergi sebelum makan malam ini selesai, Celia kamu adalah tamu undangan ibu, sangat tidak pantas kalau kamu pergi sebelum makanannya di hidangkan" ucap Zian, spontan Aliliana membulatkan matanya, ia tidak mengira Zian lebih menghargai perempuan yang di bawa ibunya. Bukankah jelas jelas sang ibu berkehendak membuat Celia menggeser posisinya? Tapi kenapa Zian lebih malah menghargai dia.

Setitik air mata jatuh membasahi pipi Aliliana, namun Aliliana berusaha menyembunyikannya, hatinya sangat perih.

Sambil beranjak Aliliana berkata, "Mungkin yang ibu maksud adalah aku, aku yang sudah membuat makan malam ini menjadi canggung" Aliliana menyambar tasnya lalu keluar dari bundaran meja makan.

"Lili!" Panggil Zian.

"Zian" Feronika berusaha menghentikan Zian yang hendak menghentikan Aliliana.

Aliliana sudah tidak heran dengan Zian yang selalu tunduk dan tak pernah membela dirinya di depan sang Mama, namun meski begitu Aliliana berharap untuk kali ini saja, Zian bisa paham perasaanya sedikit saja.

.

.

.

Bruuukkkkk....

Aliliana terjatuh bersama seorang pemuda yang hampir mengakhiri hidupnya.

Aliliana memekik kesakitan saat tubuh pemuda itu menindihnya.

Aliliana membalikkan tubuh pemuda itu, sambil berkata "Kau sudah gila?."

Pemuda itu bangkit duduk lalu dengan sinisnya berkata "Kenapa kau menghentikan aku?. Aku hampir melupakan semuanya, tapi kau malah menghentikan aku dan membuat aku mengingat semuanya lagi!" Kemudian bangkit berdiri.

"Hei!! Dasar tidak tau terima kasih," rajuk Aliliana sambil meng_usapi tubuhnya setidaknya kalau mau mati jangan di depan ku!"

"Itu bukan urusan mu!" Emilio beranjak untuk pergi dari tempat itu.

"Hei!" Aliliana mencoba menghentikan langkah Emilio karena khawatir Emilio akan kembali berbuat nekad.

Namun Aliliana malah tersandung hig hilnya yang patah sehingga tidak sengaja jatuh menubruk Emilio, keduanya kembali ambruk namun kini posisi mereka terbalik, kini giliran Aliliana yang menindih Emilio.

Eeeekkkhhh..

Terdengar dengekan kecil dari dada Emilio saat tidak sengaja Lili jatuh di atas dada Emilio.

"Aww" Emilio meringis sakit, namun saat membuka mata, ia melihat paras cantik di atas dirinya, Emilio langsung terdiam terpesona oleh wajah itu.

Emilio terkagum oleh parasnya dan wajah itu pula yang sempat membuat dirinya lupa akan masalah yang sedang di hadapinya, bahkan Emilio juga lupa akan rencananya untuk mengakhiri hidup.

Aliliana masih mengaum kesakitan, sementara Emilio terus memandang lekat wajah perempuan yang kecantikannya dapat menggetarkan hatinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!