Tik tik tik...
Jarum jam berdenting lebih pelan, seakan sedang menghitung mundur.
Nyawanya akan melayang jika Emilio tetap memutuskan untuk meloncat dari gedung bertingkat yang berdiri menjulang di bawah kakinya.
Dalam sekali hempasan saja, semua masalah dan kalut juga keributan yang ada di otaknya akan hilang.
Desas desus tentang pelecehan dan penggelapan yang di tuduhkan kepadanya akan sirna bersama jatuhnya tubuh Emilio dari atas gedung bertingkat yang saat ini di pijak olehnya.
Namun begitu pula dengan karier debutnya yang sempat naik daun akan hilang pula bersama nama besar dan seluruh pengorbanannya di panggung hiburan akan turut lenyap.
Namun Emilio seakan tidak perduli akan hal tersebut tekadnya untuk mengakhiri hidup sudah bulat, bahkan Emilio sudah memikirkan ini sejak sebulan lamanya, tepat setelah tragedi malam itu.
Flashback to tragedy Emilio.
"Ayolah, Mil! satu gelas saja ini untuk perayaan seluruh pencapaian lu berkarir selama ini. Nama lu sudah di kenal banyak orang. Banyak job di mana mana, bahkan tender kali ini sangat menguntungkan bukan?. Dan projek film Lu yang kemarin saja sangat berhasil masa lu nggak mau ngerayain kejayaan lu sebagai pemegang tetap piala Artis Top lima tahun berturut-turut?" bujuk seorang lelaki yang cukup dekat dengan Emilio, dia adalah Dicky.
Dicky adalah teman sesama Artis Elilio, namun Dicky kerap hanya menjadi pemain pengganti dari Emilio atau kadang hanya menjadi pemegang peran kedua, oleh sebab itu Dicky jarang muncul di permukaan walau mereka debut di waktu bersamaan.
Dicky dan Emilio sudah berteman sejak lama, sejak mereka belum menjadi Artis papan atas, bahkan mereka melakukan casting bersama namun keberuntungan lebih memihak kepada Emilio.
"Tapi, Dic. Besok gue ada syuting pagi. Gue takut kebablasan, dan mempengaruhi maksimalis gue dalam berperan." Tolak Emilio.
"Nggak mungkinlah, Mil. Lagian cuma beberapa gelas doang kok, lu juga bukan lelaki payah 'kan?. Satu dua gelas juga nggak bakalan berpengaruh buat lu" Dicky masih berusaha membujuk.
Emilio mengangguk-angguk saat menyetujui perkataan Dicky
"Jadi gimana?. Lu setuju?" Dicky ber_raut senang.
Meski Emilio sempat ragu ragu dalam mengiakan, akhirnya demi memenuhi permintaan teman lamanya Emilio menyetujui permintaan tersebut dan pergi ke satu bar yang sudah di tentukan oleh Dicky.
"Lu memang terbaik" puji Dicky saat Emilio mengangguk pelan walau penuh keraguan.
.
.
Dengan menggandeng pundak Emilio Dicky akhirnya menunjuk satu meja yang ternyata diam diam sudah di pesan olehnya, setelah Emilio duduk Dicky langsung memanggil Bartender untuk menuangkan beberapa gelas buat dirinya dan Emilio.
Satu teguk, dua teguk Emilio masih bisa menahan diri dan menikmati minumannya, namun setelah dua seloki Emilio mulai merasakan pusing yang sangat, bahkan kepalanya kini sangat berat bahkan Emilio tak mampu mengendalikan diri lagi, untuk sekedar bangkit pun Emilio harus di papah oleh Dicky.
"Mil. Lu kenapa?." Tanya Dicky sambil menepuk-nepuk wajah Emilio yang hampir kehilangan kesadaran.
Emilio terlihat berusaha tetap tenang dan terjaga, namun ia tidak mampu.
"Gue kenapa?" Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Emilio sebelum ia tertidur.
"Lu istirahat dulu, Mil. Mungkin lu kelelahan" pinta Dicky sambil bantu merebahkan tubuh Emilio di atas sofa yang sebelumnya mereka duduki.
Saat Dicky merebahkan tubuh Emilio di atas sofa, Emilio masih memiliki sedikit kesadarannya, namun semenit setelah itu Emilio benar benar sudah tidak bisa mengingat apapun lagi.
Dor dor dor dor..
Dalam setengah kesadaran yang tersisa nanar Emilio mendengar seseorang menggedor pintu dengan keras, sang penggedor juga berteriak.
"Kamar nomor 302 harap membuka pintu atau kami terpaksa mendobrak!" Teriakan tegas.
Namun Emilio yang tidak sadar dirinya sedang berada di mana sempat mengabaikan teriakan tersebut dan mengira kamar nomor 302 itu adalah kamar lain, dan Si Petugas sedang memanggil orang lain, untuk itu Emilio lanjut memejamkan matanya.
Namun semenit berselang, teriakan dan gedoran itu kembali mengganggu telinganya, namun lagi lagi Emilio mengabaikannya karena sangat mengantuk bahkan Emilio fikir waktu pun masih sangat pagi untuk bangun, setidaknya ia masih punya waktu 2-3 jam buat beristirahat sebelum melanjutkan Syuting besok pagi, Emilio kembali tidur untuk memulihkan semua energinya, dan menyimpan cadangan energi buat bekerja yang bisa sampai larut malam.
Lima menit berselang.
Managernya menelpon dan Emilio kembali terbangun, dengan malas menerima panggilan.
"Um" sahutnya sambil memejamkan mata.
"Lu dimana?" Terdengar suara penuh amarah di dalam panggilan membuat Emilio sempat mengernyit tidak suka pada nada bicara itu, sebab sebelumnya Sang Manager selalu memperlakukannya dengan baik dan sopan.
"Gue ketiduran di Bar" jawab Emilio dengan malas dan suara yang berat.
"Kenapa lu pergi nggak ngabarin gue?!. Bisa nggak sih jangan membuat onar?" Sang Manager kembali berteriak.
"Lu kenapa jadi nyolot sih?" Sergah Emilio mendadak melek lalu bangkit.
"Jangan banyak bicara, buka pintu sekarang juga atau orang orang di sini bakal dobrak kamar lu!" teriak Sang Manager, Emilio tidak paham pintu mana yang di maksud Managernya itu, lalu kemudian kondisi riuh di dalam panggilan semakin membuat Emilio bertanya tanya.
Telinganya mendengar seorang ibu menangis sambil memanggil nama putrinya.
"Suli, dia masih kecil kenapa dia tega melakukan itu?. Buka! Aku mohon buka, aku ingin melihat putriku" ucapnya. Lalu saat bersamaan Manager Emilio berteriak kepada Emilio.
"Buka pintunya sekarang juga!. Kau benar benar memalukan!"
"Tunggu! Apa maksudmu!"
Emilio dalam kebingungan mencari tau apa yang terjadi di sekelilingnya.
Alangkah terkejutnya Emilio disaat menyadari bahwa ternyata dirinya sedang berada di suatu kamar bersama seorang gadis dengan wajah masih belia.
"Tidak!" Emilio mencoba membantah keadaan dirinya dan gadis yang terlanjur tanpa busana tersebut.
"Bagai mana ini bisa terjadi?" Panik, itulah yang di alami Emilio sekarang.
Dalam kesadaran yang belum pulih Emilio mencoba mengingat ingat apa yang terjadi, sambil mencoba membangunkan gadis belia yang berbaring hanya di tutupi selimut di sampingnya.
Pakaian yang berserakan menjadi bukti, adegan terlarang telah terjadi di antara mereka.
Emilio terus berusaha mencari ingatannya, namun seterusnya mentok hanya sampai berbaring di atas sofa setelahnya Emilio benar benar tidak ingat lagi.
"Hei. Hei. Bangun!" Emilio mencoba membangunkan gadis itu untuk mencari tau apa yang terjadi di antara mereka.
Demi memastikan sesuatu yang ia fikirkan, tangan Emilio merayap untuk menyingkap pakaian gadis yang saat itu berbaring di dekatnya.
Seketika Emilio menangkup kepalanya yang di penuhi rasa tidak percaya, berjuta tanya dan penyesalan kini berhamburan di kepalanya.
Ini mimpi, ya ini hanyalah mimpi.
Ia seharusnya ini hanyalah mimpi, mana mungkin ini nyata, sebab Emilio tidak merasakan apapun apalagi sekarang otaknya tidak dapat memikirkan apapun.
"Hei bangunlah!" Emilio mencoba membangunkan gadis belia itu, "Aku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Bangunlah! Kau harus menjelaskan semuanya!" Emilio benar benar panik dan ketakutan, apalagi saat mendengar desakan di pintu masuk semakin kuat.
Setelah sekuat tenaga membangunkannya, gadis belia tersebut mulai membuka mata, namun tiba tiba ia berteriak histeris dan menangis membuat Emilio semakin dilanda panik.
"Hei kenapa kau menangis, aku tidak menyakitimu" ucap Emilio, jiwanya yang di landa panik masih harus menenangkan gadis kecil yang tampaknya ketakutan itu.
Di waktu yang kurang tepat itu pintu akhirnya berhasil di buka paksa.
Semua orang yang sempat merangsak tidak sabar untuk masuk kedalam kamar, berdesakkan masuk dan melihat penampilan Emilio dan gadis belia itu berada di atas tempat tidur yang sama dengan kondisi Emilio tanpa baju hanya berselimut begitupun gadis belia itu. Namun gadis itu kini sedang menangis tersedu sedu sepertinya ia ketakutan.
Manager, Dicky, orang tua Si Gadis dan beberapa repoter juga fans Emilio berhamburan masuk seiring pintu yang telah terbuka itu.
Meski sempat di hadang hadang, namun Reporter terus berusaha mengambil gambar Emilio untuk mereka terbitkan di media cetak mau pun media online.
"Tolong jangan mengambil gambar!" Ucap petugas keamanan hotel sambil mendorong keluar tubuh Reporter, Emilio di paksa memakai pakaiannya dan di seret ke kantor polisi.
Kilatan cahaya blit kamera menyilaukan mata Emilio seolah sedang menjadi dejavu yang memutari otaknya berulang ulang.
Emilio berhasil keluar setelah sebulan lebih menghadapi proses hukum, namun meski sudah dinyatakan bebas bersyarat Emilio sudah kehilangan banyak hal.
Sejak kejadian itu, kontrak kerjanya di putus dan semua Managment mengeluarkan dirinya, bahkan beberapa brand ambasador melayangkan berbagai surat gugatan. Sebab kerena kejadian ini mereka menanggung kerugian yang tidak sedikit, lalu selain melakukan putus kerja mereka juga meminta Emilio mengganti kerugian yang terhitung tidak sedikit, semuanya menjadi hancur berantakan dalam kurun waktu setengah malam saja.
Belum lagi kasus penggelapan yang menerpa dirinya, membuat Emilio semakin merasa sesak untuk bernafas bebas.
Kini satu bulan lebih setelah kejadian itu Emilio yang kian terpuruk sedang berdiri di atas gedung dan berniat mengubur semua masalah serta mengubur nama besarnya.
Air mata terakhir jatuh mengenai ujung kaki Emilio, dia sudah mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dan pamit untuk dirinya sendiri.
Terlepas dari seberapa hancur tubuhnya saat mendarat di bawah sana Emilio hanya butuh waktu kurang dari 120 detik untuk merasakan sakit itu lalu setelahnya semua akan terlupakan.
4, 3, 2, 1. Emilio sudah pasrah dengan hidupnya, dengan apa yang akan terjadi dan akan ia tinggalkan.
Tiiittt
Deringan panjang menjadi akhir semuanya.
.
.
.
.
.
Di tempat yang sama.
Seorang perempuan sedang menumpahkan seluruh amarah dan kekecewaannya, tangis panjang yang sudah ia lewati, meski tak meredakan rasa sakit di hatinya namun cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Dua jam yang lalu.
"Bu, aku memang belum berhasil memberi Mas Zian keturunan tetapi bukan berarti ibu bisa menghadirkan perempuan lain kedalam pernikahan kami!" Pekik Aliliana kepada ibu mertuanya.
Ini adalah kali pertama buat Aliliana berani berbicara lebih tinggi di banding mertuanya, sebab Aliliana merasa sikap mertuanya kali ini sudah sangat keterlaluan.
"Lihatlah istrimu Zian!" Sahut Mama Feronika (Ibu mertua Aliliana) memotong ucapan Aliliana "Apa dia pantas menjadi ibu anak anakmu? Sementara dia tidak tau bagai mana bersikap baik kepada orang lain, padahal aku ini mertuanya dia. Sudah sepantasnya dia patuh dan bersikap santun"
"Bagai mana aku bisa menghormati ibu, sementara ibu sendiri tidak pernah mempertimbangkan perasaan ku, ibu selalu semena-mena, dan ibu juga selalu memandang aku sebelah mata. Ibu mengatur semua aktivitas Mas Zian, ibu mengatur rumah tangga kami"
"Zian!" Feronika berisyarat dengan suaranya, dan Zian pun langsung mengerti akan isyarat tersebut.
"Aliliana, jaga gaya bicara mu. Dia ibu ku, kau sudah berkata kasar"
"Mas!.. Apa aku terdengar memaki Ibu, mengata-ngatai ibu dengan bahasa yang tidak pantas?. Aku hanya sedang mengatakan yang sebenarnya terjadi, apa kamu tidak menyadari itu, Mas!. Selama ini..."
"Sudah Aliliana!" Potong Feronika "Aku memang selalu terlihat buruk di mata mu. Dan sekarang kau berusaha menunjukkan itu di depan tamu ku (Perempuan yang di bawa Feronika buat di Zian) dan menunjukkan bahwa aku mertua buruk di depan anakku"
"Bu sudah bu, kita di sini buat makan malam bersama, bukan untuk berargumen" Zian menyelai.
"Bukan ibu yang membuat makan malam ini canggung, tapi istrimu" sorot mata Feronika memicing tak suka.
"Bu. Ibu yang sengaja mengacaukan makan malan kita, ibu sengaja membawa perempuan lain"
"Aliliana, cukup!" Zian membentak istrinya, meski dengan suara pelan namun cukup menyinggung perasaan Alililana "Bisakah kita membahas ini di rumah saja?. Ini tempat umum, orang orang akan terganggu dengan gaya bicara mu"
"Maaf Tante, sepertinya saya kurang tepat kalau bergabung sekarang, lebih baik saya pamit pulang saja, kalian bisa melanjutkan makan malam dengan tenang" kata Celia (Perempuan yang di bawa Feronika).
"Tidak Celia! Bukan kamu yang membuat makan malam ini menjadi canggung, tapi orang lain" sindir Feronika.
Meski yang di lakukan Feronika jelas sebuah kesalahan, tetapi tampaknya Feronika masih tidak sadar.
Aliliana menelan ludah dengan pahit saat Feronika berkata seperti itu, air matanya sudah menumpuk di ujung pelupuk mata. Aliliana berharap Zian akan membelanya dengan menyuruh Celia pergi dari acara makan malam itu, tetapi sayangnya yang di harapkan Aliliana terbalik dengan yang di ucapkan Zian.
"Tidak boleh ada yang pergi sebelum makan malam ini selesai, Celia kamu adalah tamu undangan ibu, sangat tidak pantas kalau kamu pergi sebelum makanannya di hidangkan" ucap Zian, spontan Aliliana membulatkan matanya, ia tidak mengira Zian lebih menghargai perempuan yang di bawa ibunya. Bukankah jelas jelas sang ibu berkehendak membuat Celia menggeser posisinya? Tapi kenapa Zian lebih malah menghargai dia.
Setitik air mata jatuh membasahi pipi Aliliana, namun Aliliana berusaha menyembunyikannya, hatinya sangat perih.
Sambil beranjak Aliliana berkata, "Mungkin yang ibu maksud adalah aku, aku yang sudah membuat makan malam ini menjadi canggung" Aliliana menyambar tasnya lalu keluar dari bundaran meja makan.
"Lili!" Panggil Zian.
"Zian" Feronika berusaha menghentikan Zian yang hendak menghentikan Aliliana.
Aliliana sudah tidak heran dengan Zian yang selalu tunduk dan tak pernah membela dirinya di depan sang Mama, namun meski begitu Aliliana berharap untuk kali ini saja, Zian bisa paham perasaanya sedikit saja.
.
.
.
Bruuukkkkk....
Aliliana terjatuh bersama seorang pemuda yang hampir mengakhiri hidupnya.
Aliliana memekik kesakitan saat tubuh pemuda itu menindihnya.
Aliliana membalikkan tubuh pemuda itu, sambil berkata "Kau sudah gila?."
Pemuda itu bangkit duduk lalu dengan sinisnya berkata "Kenapa kau menghentikan aku?. Aku hampir melupakan semuanya, tapi kau malah menghentikan aku dan membuat aku mengingat semuanya lagi!" Kemudian bangkit berdiri.
"Hei!! Dasar tidak tau terima kasih," rajuk Aliliana sambil meng_usapi tubuhnya setidaknya kalau mau mati jangan di depan ku!"
"Itu bukan urusan mu!" Emilio beranjak untuk pergi dari tempat itu.
"Hei!" Aliliana mencoba menghentikan langkah Emilio karena khawatir Emilio akan kembali berbuat nekad.
Namun Aliliana malah tersandung hig hilnya yang patah sehingga tidak sengaja jatuh menubruk Emilio, keduanya kembali ambruk namun kini posisi mereka terbalik, kini giliran Aliliana yang menindih Emilio.
Eeeekkkhhh..
Terdengar dengekan kecil dari dada Emilio saat tidak sengaja Lili jatuh di atas dada Emilio.
"Aww" Emilio meringis sakit, namun saat membuka mata, ia melihat paras cantik di atas dirinya, Emilio langsung terdiam terpesona oleh wajah itu.
Emilio terkagum oleh parasnya dan wajah itu pula yang sempat membuat dirinya lupa akan masalah yang sedang di hadapinya, bahkan Emilio juga lupa akan rencananya untuk mengakhiri hidup.
Aliliana masih mengaum kesakitan, sementara Emilio terus memandang lekat wajah perempuan yang kecantikannya dapat menggetarkan hatinya.
"Aww" Aliliana bangkit dari dada Emilio sambil melepas sepatu highil nya "Memang benar sepatu rusak selalu membawamu ke tempat yang kacau."
Sedetik kemudian Aliliana menangis sambil memeluk lututnya saat teringat kejadian di meja makan malam tadi.
Namun sedetik berikutnya Aliliana berusaha menghapus air mata dan tegar menghadapi situasi hatinya yang berantakan.
Emilio pun bangkit dan sempat menangkap ada kesedihan yang mendalam di wajah Aliliana.
"Apa kau sungguh tidak bisa mengambil keputusan untuk masalah mu? Sehingga kau hanya bisa menangis saja?" Ucap Emilio saat bangkit dari duduknya.
"Ya aku memang hanya bisa menangis, tapi aku tidak pernah ber_rencana untuk mengakhiri hidup" sindir Aliliana sambil ikut bangkit.
Emilio berjalan ketepi gedung yang sempat ia pijak terakhir kali, "Kau tidak melakukan itu sebab dunia mu belum berakhir seperti dunia ku. Aku yakin, kau pasti akan melakukan hal yang sama bila berada di posisi ku sekarang" Emilio berbalik kearah Aliliana yang sedang menatapnya waspada.
"Huhhh" Aliliana mendengus, "Aku memang tidak tau masalah apa yang sedang kau bahas ini, tapi harus kau tau. Dunia belum berakhir, semua masih bisa diperbaiki" Aliliana berjalan kemudian berdiri tepat di samping Emilio.
Emilio hanya tersenyum putus asa.
Aliliana melihat ke bawah gedung kemudian meringis membayangkan akan jatuh dari tempat itu.
"Menurutmu bagai mana cara memperbaiki masalah yang sedang aku hadapi ini? Selain mengakhiri hidup aku rasa tidak ada jalan lain"
"Benarkah?" Tanya Aliliana enteng. "Apa menurutmu semua masalah akan berakhir setelah kau jatuh dari tempat ini?. Sangat mengerikan" Aliliana bergidik "Menurutku masalah mu tidak akan berakhir, hanya nyawamu yang selesai dan tubuhmu yang hancur berantak kan. Bayangkan, jika kakimu yang pertama kali menyentuh tanah setidaknya kau memerlukan 10-30 menit untuk mati terjatuh dari gedung bertingkat ini, dan kau memerlukan setidaknya 1-10 menit untuk mati bila kepala mu yang mendarat duluan. Dan selama itu kau masih bisa merasakan sakit yang dahsyat. Dan bayangkan bila kau mati dengan keadaan wajah hancur berantakan, mengenaskan"
"Apa kau sengaja menakut-nakuti ku agar aku berubah fikiran?"
"Aku tidak menakut nakuti mu. Karena itulah fakta yang akan terjadi. Setelah tragedi ini siapa yang berani membayangkan wajah mu yang hancur itu? Semua orang akan ketakutan dan enggan membayangkan wajahmu lagi"
Emilio tiba tiba membayangkan perkataan Aliliana, membayangkan semua fans perempuan yang menggilainya menjadi ketakutan untuk sekedar mengingatnya, karena wajahnya telah hancur.
"Tapi wajah ku tampan, siapa pun akan menangnya demikian" bantah Emilio penuh percaya diri.
Aliliana menoleh kewajah Emilio yang setengah wajahnya tertutupi ciput hudie berwarna hitam, di akhir Aliliana mencebik.
"Terserah kau saja. Cuma, kalau boleh memberi saran jangan mati sekarang!. Kau pasti tau masih banyak masalah yang harus kau selesaikan. Selesaikanlah dahulu, setidaknya saat kau mati kau tidak meninggalkan apapun di dunia ini termasuk masalah mu" saran Aliliana sambil berjalan menuju sepatunya di lepas.
"Ah buruk sekali sepatu ini." Dengus Aliliana, "Apa Mas Zian sudah mengeluarkan banyak uang barang jelek ini?"
"Dimana kau membeli sepatu replika itu?"
"Replika?" Aliliana seolah terkejut dan tampak tidak senang Emilio mengatakan sepatunya replika. "Hei jangan sembarangan, suamiku yang membeli sepatu mahal edisi terbatas ini. Dia rela mengantre lama demi aku"
"Ya, kau benar. Sepatu ini memang edisi terbatas, tapi entah kau bodoh atau memang tidak tau fashion. Tetapi sepatu ini memang replika"
"Replika itu artinya palsu?"
"Ya. Dengan hanya sekilas melihatnya saja aku sudah tau kalau sepatu mu itu palsu."
Aliliana terdiam sejenak, dia seperti tidak percaya pada Emilio yang secara tidak langsung sedang membuktikan kalau Zian sudah membohonginya.
"Berapa uang yang kau keluarkan untuk sepatu buruk ini?" Emilio berjalan kedekat Aliliana.
"50 juta, ya Mas Zian mengatakan kalau harga sepatu ini senilai 50 juta"
Emilio tersenyum kecil, "Jelas sekali kalau kau sudah di bohongi," Aliliana semakin terkejut. "Kau mau tau berapa harga sebenarnya?"
Aliliana diam namun raut wajahnya terlihat cukup penasaran.
"Sepatu ini setara mobil mewah kelas menengah"
"Seratus juta?" Tebak Aliliana.
"800 juta" jawab Emilio.
"800??"
Spontan Aliliana menjatuhkan sepatu dari tangannya ia juga sempat menganga tak percaya.
"Kau bercanda?"
"Kemarilah, ikuti aku! akan aku tunjukkan sepatu yang asli"
Tanpa fikir panjang Aliliana lantas mengikuti langkah lelaki tersebut, lelaki yang tidak ia tau siapa dan asal usulnya, selain keadaan temaram lelaki itu juga mengenakan topi yang menutupi sebagian wajahnya.
"Waahh" sejak pertama kali masuk kedalam Penthouse Aliliana sudah terpukau dengan interior yang mewah bergaya modern, menilik dari tempat tinggal yang di miliki lelaki yang ia selamatkan ini Aliliana yakin kalau lelaki yang ia selamatkan itu bukanlah orang sembarangan, tetapi kemudian timbul tanya mengapa tersirat niat untuk bunuh diri di tengah kehidupan yang dirasa cukup gemilang.
Aliliana tak bisa berhenti menilik semua perabot dan barang antik di dalam Penthouse tersebut, hingga kemudian Aliliana terpana pada satu lukisan lelaki yang cukup familiar buatnya, serta Aliliana juga merupakan fans lelaki yang ada di dalam lukisan tersebut.
Lukisan yang menggambarkan keagungan seorang pria beserta tanda tangan yang menyemai gagah di bawahnya. Bertulis Emilio
Tanpa menyadari siapa yang berdiri di belakangnya, Aliliana terus berbicara.
"Aku senang, ternyata masih ada orang yang menyimpan photonya. Aku berharap masalah Emilio segera tuntas dan dia segera muncul kembali ke publik. Aku tidak tau bagi mana kabarnya sekarang" gumam Aliliana sambil menatap wajah pada lukisan tersebut.
"Apa yang kau fikirkan tentang dia?" Tanya Emilio, Aliliana tak berbalik.
"Aku fikir kejadian ini hanyalah sebuah fitnah dan skandal yang sengaja di rancang seseorang untuk menjatuhkan Emilio demi perebutan peran"
"Apa kamu berfikir dia di fitnah?"
"Ya. Dia tidak mungkin melakukan hal serendah itu, aku tau dia bermoral dan tau aturan, selama ia berkarir tak pernah ada kabar buruk tentangnya, kecuali akhir akhir ini."
"Sampai saat ini cuma kau yang setuju aku di fitnah" kata Emilio.
Aliliana lalu berbalik dan melihat siapa yang berdiri di belakangnya, "Kau!" Tunjuk Aliliana dengan mimik tidak percaya. Yang semakin membuatnya tidak percaya adalah dirinya baru saja menyelamatkan sang Idola dari kematian "Jadi kau yang berniat mengakhiri hidup?"
Emilio mengangguk.
"Hampir tidak ada yang percaya dengan pengakuan ku, dan kaulah satu satunya" Emilio berjalan ke dekat lukisan berdiri tepat di samping Aliliana. "Lukisan ini. Semakin aku memperhatikannya, semakin aku merasa hancur sendiri. Aku juga kesepian, tidak ada yang menguatkan aku." Emilio menoleh kepada Aliliana "Sekarang apa kamu sudah tau sebesar apa masalah yang sedang aku hadapi, bukan?. Apa setelah ini kau akan mengizinkan aku untuk mengakhiri hidup?"
Aliliana menghela, kemudian menoleh, mereka berdua saling menatap dari samping "Aku tau masalahmu sangat besar, tapi mengakhiri hidup bukan sesuatu yang bisa di benarkan. Masalah mu memang sangat rumit tapi percayalah pasti akan ada jalan keluarnya."
"Dalam sebulan ini aku sudah memikirkan banyak cara untuk mencari jalan keluar, aku juga sudah mencari celah untuk menyelesaikan masalah ku. Namun, aku benar benar kesulitan dan terus putus asa. Menurutmu manusia mana yang bisa hidup sendiri dan menyelesaikan masalahnya sendiri, semua orang, termasuk manager yang pernah bekerja dengan ku seolah angkat tangan kemudian satu persatu meninggalkan aku, seperti harimau tak bertaring aku di tinggalkan mereka disaat aku kesulitan mencari bantuan mereka malah pura pura tuli dan menghilang"
"Lalu bagai mana dengan orang tua mu?"
Emilio tersenyum ketir, "Kau bertanya tentang orang tua ku?. Merekalah orang pertama yang pergi saat skandal itu terungkap. Tapi seharusnya aku tidak heran sebab sejak dulu hubungan kami tidak pernah akur, aku hampir lupa siapa ayah dan siapa ibu ku"
"Maaf, aku tidak bermaksud membuat mu sedih" kata Aliliana, menyesal karena sudah mengungkit tentang kedua orang tua Emilio.
"Tidak apa apa, kau tidak perlu menyesal. Oh ia berhenti berbicara tentang diriku, sekarang apa kau masih ingin melihat sepatu itu?" Emilio sengaja mengalihkan pembicaraan.
Aliliana mengangguk pelan.
"Di sini" Emilio menuntun Aliliana menuju ke ruang sepatu miliknya, dimana ter deret ratusan sepatu bermerek terkenal.
Aliliana sampai terpukau melihat deretan sepatu yang tertata rapi itu "Kau suka mengoleksi sepatu?"
"Ya." Jawab Emilio.
"Semuanya sepatu laki laki, bagai mana kau bisa menunjukkan sepatu yang sama dengan milikku?"
Emilio tersenyum kecil "Ah ia aku lupa, sepatu itu memang aku simpan di tempat khusus, di sini" Emilio menunjukkan satu kotak kaca yang di rancang khusus untuk menyimpan sepatu tersebut.
Aliliana melihat sendiri bagai mana sepatu yang di pegangnya mirip dengan sepatu milik Emilio, namun jika diperhatikan lebih dalam Aliliana merasa sepatu miliknya memiliki kualitas jauh sangat rendah di banding milik Emilio.
Aliliana merasa sangat tidak pantas membawa sepatu replika itu di hadapan Emilio.
Emilio mengenakkan sarung tangan lalu membuka kotak kaca tersebut dan mengambil sepatu koleksi miliknya.
"Kemarilah!" Emilio memanggil Aliliana, dengan patuh Aliliana mengikuti permintaan Emilio dan mengikuti Emilio yang telah terlebih dahulu duduk di kursi khusus untuk ruangan tersebut.
"Aku izinkan kau mencoba sepatu ini!" Sambil menepuk tempat kosong di dekatnya, meminta Aliliana duduk untuk mencoba sepatu itu. "Kau harus tau kalau sebenarnya sepatu ini aku beli khusus buat calon istriku nanti"
Spontan Aliliana menarik kakinya kembali.
"Aku bukan calon istrimu, bagai mana bisa kau memberi izin untuk mengenakan ini?" Kata Aliliana.
"Tidak apa apa, toh kalau sudah jodoh apapun bisa terjadi bukan?" Emilio menahan kaki Aliliana. "Aku akan memberikan ini kepada wanita spesial ku"
"Tapi aku bukan wanita mu, juga bukan orang spesial"
"Kalau begitu jadilah perempuan ku"
Aliliana tersenyum kecil "Tapi aku sudah menikah"
Emilio tertegun dan tampak sedikit kecewa atas pengakuan tersebut.
"Baiklah, anggap saja kau perempuan yang memiliki kedudukan khusus buat ku. Anggap ini hadiah karena kau lah satu satunya orang yang percaya kepadaku"
Maksud Emilio ialah karena hanya Aliliana yang berfikir bahwa kejadian yang menimpanya adalah sebuah fitnah.
Aliliana mengangguk, kemudian Emilio membantu memasangkan kedua sepatu itu di kaki Aliliana, yang tanpa di duga ternyata ukurannya sangat pas di kaki Aliliana.
Baik Aliliana maupun Emilio mereka sama sama tidak mengira jikalau sepatu itu akan seindah ini di pakai di kaki Aliliana.
"Sudah ku duga kaki mu akan sangat cantik mengenakan sepatu mewah ini" puji Emilio.
Paras cantik dengan rambut hitam tergerai dan gaun hitam yang di kena'kannya, penampilan Aliliana di perindah dengan sepatu mewah yang saat ini di pakainya.
"Ini adalah sepatu yang aku impikan" kata Aliliana sambil mematut bayangnya di cermin. "Tidak di sangka ternyata aku mendapat barang palsu," Sambil tersenyum hampa dan kecewa "Apa permintaan ku terlalu tinggi?" Aliliana menoleh ke arah Emilio yang duduk di belakangnya. "Atau aku tidak pantas mendapat hadiah barang mewah?" Aliliana sungguh sangat kecewa saat mengetahui barang yang di terimanya adalah barang palsu.
"Aku tidak tau" Emilio bangkit lalu mendekat kepada Aliliana yang sedang berdiri di depannya.
"Ini" Emilio membawakan Aliliana sertivikat sepatu dan data pembelian miliknya "Di indonesia hanya akan ada tiga orang yang memiliki sepatu ini dan aku adalah pemilik pertama dan setiap kali membeli barang mewah kamu akan mendapatkan ini." Aliliana tidak berani mengambil sertivikat itu sebab hatinya benar benar sudah hancur sekarang, lewat Emilio Aliliana akhirnya sadar kalau ternyata selama ini Zian sudah membohonginya.
Soal sepatu yang ia minta, sebenarnya Aliliana tidak mempermasalahkan berapa harga barang yang ia dapatkan, Aliliana selalu menganggap pemberian dari Zian adalah barang berharga.
Namun suatu hari Aliliana sempat mendapati Zian membelikan tas mewah untuk asisten pribadinya, yang Aliliana tau tas itu bukanlah tas yang bisa di dapat dengan harga puluhan juta saja, bukan hanya Asisten, ibu mertua dan adik iparnya pun kerap memamerkan barang mewah yang mereka dapat dari uang Zian. Aliliana merasa cemburu akan hal tersebut lalu mengajukan satu permintaan kecil yang baru kali ini ia ungkapkan, Aliliana meminta sepasang sepatu itu sebagai hadiah ulang tahunnya dan berharap mendapat harga yang lebih tinggi dari uang yang di berikan Zian kepada Asisten pribadinya, tidak di sangka ternyata Aliliana yang tidak tau banyak hal tentang fashion malah di tipu oleh suaminya sendiri yang mengatakan sepatu yang di belinya adalah sepatu asli yang susah payah ia dapatkan.
Semua itu seakan menunjukkan betapa tidak berharganya Aliliana buat Zian.
"Kalau kau mau, kau boleh membawa sepatu itu" kata Emilio tanpa ragu, Aliliana terkejut mendengar titah tersebut.
"Tidak" Aliliana tersenyum senang sekaligus tak yakin sebab harga sepatu itu terlalu fantastis untuk di berikan secara cuma cuma kepada dirinya. "Kau harus memberikan ini kepada orang yang istimewa"
"Dengan kondisiku yang sekarang, menurutmu apakah ada perempuan yang mau kepadaku?. Lagi pula akan sulit mendapatkan kaki yang pas buat sepatu itu"
Wajah Aliliana bersemu merah "Aku merasa seperti Cinderella yang mendapatkan kembali sepatu kaca ku yang hilang, terima kasih sudah memberi izin untuk mengenakkan sepatu impian ku, sekarang aku akan mengembalikannya kepadamu" Aliliana lalu melepaskan sepatu tersebut dan mengembalikannya kepada Emilio.
"Semoga kau segera menemukan Putri Cinderella mu" Kata Aliliana kepada sepatu.
"Kenapa bukan kau saja?" Kata Emilio.
Aliliana tersenyum kecil "Kaki ku tidak seindah itu untuk mengenakkan barang mewah ini, kaki ku hanya pantas memakai barang replika saja" sindir Aliliana sambil bersemu kecewa.
Emilio tersenyum kecewa saat kebaikannya di tolak Aliliana, "Aku akan menyimpan sepatu ini untuk mu. Kapan pun kau mau mengenak kannya maka ambil lah!"
"Terima kasih"
"Kalau begitu aku harus pergi dulu, mereka (keluarga Zian) mungkin sudah selesai menikmati makan malam mereka" lagi lagi Aliliana menunjukkan raut hampa.
Saat mengcek handphonenya, Aliliana tertegun sesaat dan raut kecewa itu bertambah banyak.
"Kenapa Mas Zian tidak mencari ku? Dia juga tidak menanyakan kabar tentang aku, apa aku benar benar tidak di perlukan di tempat itu?" Batin Aliliana.
"Kau kenapa?" Tanya Emilio.
"Tidak apa apa" jawan Aliliana sambil menghela kecewa.
"Aku harus pergi sekarang" Aliliana menyambar tas lalu pergi tanpa alas kaki.
"Hei tunggu!" Cegah Emilio, Aliliana berhenti lalu Emilio membawakan sepasang sepatu Vans buat Aliliana, bahkan dia sendiri yang memakai kannya. "Pakailah ini untuk melindungi kaki mu"
Saat Emilio bangkit sehabis memasangkan sepatu di kaki Aliliana, Aliliana berkata: "Emilio, terima kasih karena kamu sudah memperlakukan aku dengan baik" Aliliana terharu.
Emilio tersenyum kecil "Terima kasih juga karena kamu sudah menyelamatkan aku, tanpa kamu mungkin wajahku sudah hancur. Seperti yang kau bilang" mengingatkan Aliliana kalau Aliliana pernah mengatakan itu kepada Emilio. Mereka berdua tertawa kecil.
"Oh ia, ngomong-ngomong kita belum berkenalan, siapa namamu?" Emilio mengulurkan tangan.
"Ah ia walau aku sudah sangat mengenal mu tapi aku lupa kau tidak mengenal aku" Sambil menerima uluran tangan itu "Aku Aliliana, kau bisa memanggil ku Lili, atau apapun terserah kamu"
"Aliliana. Lili, nama yang indah sangat pas dengan wajah mu yang cantik"
"Berhentilah menyanjung, sanjungan mu tidak akan membuatku kenyang" Aliliana tertawa kecil saat mengatakan ini sementara Emilio hanya tersipu. "Baiklah aku pergi dulu" Aliliana pun pergi dan sempat melambaikan tangannya kepada Emilio.
Aliliana berjalan gontai dengan harapan anggota keluarganya sudah selesai dengan ritual makan malamnya.
Sempat berusaha mengirim Zian pesan singkat tetapi Aliliana tak juga mendapat balasan.
Aliliana masih berusaha berfikir positif, meski itu susah. Susah setengah mati saat harus meninggalkan suaminya dekat dengan perempuan lain.
Tetapi apa boleh buat, Aliliana melenggang dari meja makan tujuannya ingin melihat ke pekaan Zian dan berharap Zian menyusulnya, kemudian di tengah itu Aliliana ingin berbicara dua mata tanpa gangguan dari ibu mertuanya.
Namun amat di sayangkan, ternyata Zian tidak juga menyusulnya, dan hal itu membuat Aliliana menjadi frustasi.
Aliliana terdiam kaku sambil sedikit harus menahan malu ketika masuk ke pintu Vvip yang di pesan suaminya.
Saat Aliliana masuk seluruh tatapan orang orang yang berada di dalam ruangan tertuju padanya, seolah mereka sedang mempertanyakan kedatangan Aliliana ke ruangan tersebut. Aliliana pun hanya bisa berdiri melongo bak patung tak bernyawa, melihat suami dan mertuanya tidak ada lagi di dalam ruangan tersebut, ruangan Vvip tersebut ternyata sudah di gunakan oleh pengunjung lain.
"Oh Maaf, saya salah masuk ruangan" ucap Aliliana sambil tersenyum kikuk, kemudian merengkuh undur diri dan menutup pintu.
padahal jelas jelas Aliliana ingat betul kalau ruangan itu adalah ruangan Vvip yang di pesan oleh suaminya, dan Aliliana tidak mungkin keliru.
Tanpa Aliliana ketahui ternyata lebih dari setengah jam yang lalu.
"Mah, aku ke kamar mandi sebentar ya" Zian meminta Izin.
"Ia" Feronika mengiakan.
Sekembalinya dari kamar mandi.
"Kita pulang sekarang?" Ajak Feronika.
"Ia" Zian menyetujui "Kalau gitu aku telpon Lili dulu, barangkali dia masih berada di area ini"
Feronika mengangguk setuju, namun tidak di sangka ternyata dia menyembunyikan sesuatu yang busuk buat Zian.
"Lah handphone ku pake acara mati lagi" keluh Zian. "Mah boleh tolong hubungi Lili?!."
"Apa yang mau kamu tanyakan sama dia?" Feronika terlihat keberatan mengikuti permintaan Zian.
"Tolong tanya, dia sedang ada di mana sekarang?"
"Dimana dia, palingan dia sudah pulang duluan" ketus Feronika.
"Syukur-syukur kalau beneran udah pulang, gimana kalau ternyata dia masih di sekitar sini, Ma?. Coba deh Mama tanya di mana dia"
"Udah, tapi nggak di bales tuh" kata Feronika berbohong padahal dia sendiri tidak mengechat Aliliana.
"Lagian, jadi perempuan kok nggak tau diri, main pergi se enaknya aja, keliatan banget 'kan nggak punya etikanya"
"Mah, sudahlah. Jangan terus menyalahkan Lili"
"Ini, nih. Pembelaan yang seperti ini yang membuat perempuan itu makin tidak tau diri, makin semena-mena. Taunya nyusahin aja"
"Mah. Udah dong jangan terus menggerutu kayak gitu, gimana udah ada balasan belum?"
"Nggak ada. Lagian, mungkin dia malas membalas pesan Mama. Kamu tau sendiri 'kan kalau kami tidak akur"
Zian menghela bingung.
"Kalau begitu saya saja yang menghubungi Lili barangkali dia mau menerima panggilan saya" usul Celia.
Tetapi Feronika mencegah "Nggak usah Celia, kamu juga tadi lihat sendiri 'kan bagai mana dia bersikap? Dia pasti marah juga sama kamu, jangan sampai kamu jadi bulan bulanan kemarahan Aliliana" Celia pun mengurungkan niat untuk mengasongkan handphonenya kepada Zian.
Zian menjadi kalut saat memikirkan kemana Aliliana pergi.
"Lebih baik kita cek saja barangkali Aliliana sudah pulang terlebih dahulu, sepertinya dia marah dan Mama rasa pasti dia sudah pulang. Nggak mungkin 'kan dia rela nungguin kita makan?. Atau mungkin dia sudah pergi ke tempat lain dan makan sendiri di sana" ujar Feronika kecut, Zian hanya diam menimbang.
"Tante Feronika benar, lebih baik kita cek saja dulu, barangkali Mbak Lili sudah pulang"
"Baiklah, kita pulang saja dulu. Sekalian aku mau ngisi batrai handphone ku"
Mungkin Zian tidak menduga bahwa Feronika (Ibunya) sudah menonaktipkan handphonenya agar tidak bisa menghubungi Aliliana.
Zian pun tidak menyadari kalau Feronika terus berusaha mencari celah untuk menjauhkan Aliliana dari Zian.
Aliliana mematung hampa setelah mengetahui kalau dirinya sudah di tinggalkan suami dan mertuanya.
Sekarang Aliliana bingung harus melakukan apa, sebab di tasnya tidak ada uang sepeser pun, Aliliana bahkan lupa untuk membawa dompetnya.
Sempat melakukan panggilan kepada orang tuanya untuk mentransfer sejumlah uang Aliliana malah lupa kalau dia tidak membawa kartu ATMnya, dia juga tidak punya aplikasi pembayaran online.
Setengah jam bahkan sampai satu jam lebih Aliliana mematung kebingungan, berkali kali menghubungi Zian tetapi lelaki itu masih belum mengaktipkan handphonenya, demikian dengan handphone mertuanya.
"Mas, kenapa kamu tega ninggalin aku sih?" Gumam Aliliana, sedih. Sekarang Aliliana merasa sudah tidak di perhatikan lagi, Aliliana benar benar benar berusaha di buang dan di singkirkan.
Aliliana duduk sambil menangis di kursi pojok'kan yang temaram, berharap Zian datang menjemputnya.
Berkali kali Aliliana menoleh ke pengunjung yang datang, berharap yang datang kali ini dan kali seterusnya adalah Zian, namun sampai malam menjadi larut Zian tak juga sampai.
Dalam kondisi kedinginan, Aliliana bangkit untuk menyebrang mencari taxi. Karena sudah berkali kali Aliliana memesan taxi online tetapi entah kenapa permintaannya sebagai customer selalu di tolak.
Aliliana juga takut untuk naik ojek Online sebab pernah mengalami trauma kecil atas kendaraan tersebut.
"Lili! Awas!" tiba tiba Aliliana mendengar seseorang berteriak kepadanya, dan di saat bersamaan tubuhnya di tarik seseorang hingga terhempas ke sisi jalan, beruntung Aliliana tidak kenapa kenapa, hanya terkena luka goresan sedikit di tangannya.
Namun lelaki yang menolong Aliliana sempat mengalami benturan di kepala hingga kepalanya sedikit bocor, Aliliana tidak sempat melihat seberapa parah luka itu, karena sang penolong langsung lari saat kerumunan orang mendatangi Aliliana.
"Hei, kepalamu berdarah!" teriak Aliliana, namun lelaki tersebut terus lari.
Kerumunan orang kian mengerumuninya, bertanya apa yang terjadi dan bagian mana yang sakit, Aliliana tidak menghiraukan itu sebab yang terluka adalah lelaki yang menolongnya dan Aliliana berharap orang orang akan pergi untuk menyusul lelaki itu.
"Saya minta maaf! kita ke rumah sakit sekarang!" sang pengemudi yang menyerempet Aliliana telah datang dan menawarkan pertanggung jawaban.
"Bukan saya, yang memerlukan Dokter tetapi lelaki itu!" tunjuk Aliliana, tetapi orang orang tidak melihat lelaki yang Lili tunjuk, hingga hanya membawa Aliliana ke rumah sakit.
..
"Nyonya saya minta maaf! sekali lagi saya minta maaf!. Tolong jangan bawa urusan ini ke pihak yang berwajib. Saya sadar saya ceroboh tapi semua itu karena saya terburu buru. Saya harus mengantar majikan saya ke resto, dan tak lama kemudian saya mendapat kabar kalau istri saya dibawa ke rumah sakit untuk melakukan tindakan persalinan, ini untuk pertama kalinya buat saya, saya panik hingga saya tidak melihat sekitar, dan menyerempet Nyonya" kata lelaki dengan kisaran usia 37 tahun tersebut.
Setelah Dokter selesai memriksa Aliliana dan pergi dari ruangannya lelaki itu tak hentinya dan terus meminta maaf, sambil membujuk Aliliana agar tidak membawa masalah ini ke jalur hukum, tampaknya lelaki itu benar benar ketakutan.
Aliliana bukanlah perempuan yang angkuh dia perempuan yang mudah tersentuh hatinya, apalagi saat mendengar bahwa lelaki itu memiliki istri yang akan melahirkan, tentu Aliliana langsung mengampuninya tanpa pertimbangan.
"Baiklah, saya tidak akan membawa kejadian ini ke jalur hukum ini berkat istrimu yang sedang memperjuangkan kelahiran anak kalian, tapi saya minta tolong untuk lain kali Anda lebih berhati hati! jangan sampai kesalahan Anda membuat Anda harus menanggung resiko yang besar. Beruntung saya tidak kenapa kenapa, tapi bagai mana bila kejadiannya malah sebaliknya, selain saya Anda dan keluarga juga akan kelihalangan ketentraman, bahkan mungkin Anda juga akan kehilangan pekerjaan Anda"
Lelaki tersebut mengangguk-angguk sambil menangis, dia juga menggenggam erat tangan Aliliana sebagai ucapan terima kasih yang banyak.
"Saya akan mengingat kebaikan Anda selamanya." Sambil menangis haru menggenggam tangan Aliliana.
"Kalau begitu, apa istrimu sudah melahirkan?"
Lelaki itu melepaskan tangannya, kemudian mengecek handphone.
Lalu berkata "Anak ku sudah lahir" Dengan air mata berlinang haru bahagia.
Aliliana pun ikut bahagia.
"Kalau begitu apa saya boleh saya melihat anak mu?" tanya Aliliana.
Dengan senang hati lelaki tersebut mengiakan permintaan Aliliana, kemudian lelaki itu mengantar Aliliana ke ruangan bersalin milik istrinya yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!