......................
Shei terbangun, dengan tubuh yang terasa berat, dia sejak tadi tertidur dibalik pintu, segala fakta yang sejak pagi terjadi langsung menyeruak masuk ke dalam kepalanya, lagi.
Mengingat itu, membuat kepala Shei kembali sakit, hatinya juga perih, bibirnya getir.
Shei melihat ke arah jam dinding dikamarnya, sudah pukul 11 ternyata, sudah saatnya untuk menjemput Arthur pulang sekolah, sebentar lagi anak itu kembali.
Sialnya, Shei menyadari hal lainnya. Haren tau Shei sedang marah, sedih, dan terpukul hebat atas fakta yang ia terima. Kekasih tercinta suaminya kembali, apalagi mereka berciuman tepat di depan mata Shei.
Harusnya Haren tau kan? Kalau disini Shei begitu terluka, terluka sangat dalam sampai sulit dijelaskan.
Harusnya Haren juga tau kan? Kalau disini Shei rasanya menggigil, karna teramat sakit yang ia tahan.
Lantas kenapa Haren tidak menemuinya? Bukti Shei terbangun sendiri karna Haren tidak datang untuk menenangkannya, jika itu Haren yang biasanya sebelum kedatangan Kayna, bahkan luka kecil yang menggores tubuh Shei, mampu membuat Haren teramat sangat khawatir.
Kini semua berbeda.
Shei bangkit berdiri perlahan, ia menuju ke kamar mandi, membasuh wajahnya, setidaknya air bisa menghapus bekas air matanya yang sudah mengering, setidaknya Arthur bisa melihat wajah segar sang ibu nantinya, bukan wajah lesu penuh luka batin barusan.
"Apa yang aku harapkan? Toh mana mungkin juga Mas Haren datang menemui aku, sementara kekasih tercintanya ada disana, mana mungkin dia tinggalkan mereka hanya untuk sekedar menanyakan apakah aku baik-baik saja."
Shei menarik napasnya dalam-dalam, dia juga menghembuskannya secara perlahan.
Keluar dari kamar mandi menuju meja rias, dia merias wajahnya secukupnya, setidaknya agar wajahnya terlihat baik-baik saja, bukan seperti orang yang habis menangis hebat seperti separuh jiwanya di renggut.
Shei berjalan perlahan keluar dari kamarnya, langkah demi langkah ia menuruni tangga, dengan napas yang ia atur sedemikian, setidaknya untuk bisa tersenyum dan terlihat baik-baik saja di depan siapa saja yang berselisih pandang nantinya dengan dirinya.
Ah?
Sakit.
Ini terlalu sakit, bahkan sampai membuat langkah Shei terhenti di anak tangga terakhir.
Tubuhnya sedikit gemetar, suaranya tidak mau keluar, nafasnya tidak beraturan walau dia sudah berusaha mengaturnya.
Hanya air mata, satu-satunya yang bisa ia tahan agar tidak keluar saat ini juga, karna pemandangan yang baru ia saksikan.
Shei sudah mempersiapkan diri jikalau saat turun nanti dia bertemu dengan Kayna, Ayren, atau bahkan Haren. Sialnya saat itu benar-benar terjadi, persiapan keteguhan yang sudah Shei bangun tampaknya hancur lebur dengan sempurna, dia sulit mengendalikan diri sekarang.
....
Keteguhan itu runtuh seketika, sesaat Shei melihat tiga orang itu sedang makan dengan suasana hangat yang ceria. Seperti keluarga Cemara yang indah, benar, mereka adalah keluarga Cemara yang asli bukan?
Shei tak cukup tega untuk menghancurkan kebahagiaan suaminya itu. Jelas, karna satu-satunya kebahagiaan Haren adalah Kayna, ah dengan tambahan putri kecil mereka yang manis, Ayren.
Namun, ada beberapa kalimat yang ingin Shei sampaikan secara langsung kepada mereka, tidak ingin melalui perantara siapapun.
"Mas, tolong setelah aku sama Arthur pulang nanti, harap Kayna dan Ayren udah nggak ada di rumah ini, aku gak mau mental Arthur terganggu. Mungkin kami akan pulang malam, karena aku sama Arthur bakal jengukin mama aku sehabis ini. Kalau gitu aku pergi dulu." Ucap Shei pelan namun tegas, ah entah kekuatan apa yang menyertainya, hingga dia bisa berbicara setegas itu di depan suaminya tanpa air mata sedikitpun.
"Ah iya Shei, hati-hati ya." Kata Haren, setelahnya ia mengalihkan pandangannya, kembali memfokuskan diri kepada Kayna dan Ayren.
Detik itu juga Shei melanjutkan langkahnya, dengan hati yang lagi kembali getir, dengan sedikit perasaan marah tercampur di dalamnya, membuat langkahnya ia percepat.
Shei masuk ke dalam mobil, dia langsung melajukan mobilnya, kali ini Shei pergi sendiri tanpa supir, soalnya dia ingin menangis di dalam mobil ini sendirian.
Sebuah kekuatan yang luar biasa Shei mampu menahan air matanya sampai di mobil ini, setidaknya biarkan ia menangis hebat disini, bebaskan ia mengeluarkan air mata sebanyak apapun yang dia inginkan, bahkan jika air mata itu bisa habis, Shei mau itu habis hari ini, dia tidak ingin menangis lagi di depan siapapun.
Lima belas menit berlalu, Shei sudah lebih tenang, dia berusaha sekuat mungkin untuk berhenti menangis atau putranya yang cerdas itu akan menyadari dirinya baru saja menangis.
"Bahkan, setidaknya untuk menitip salam buat Arthur aja, Nggak ada terucap dari mulut kamu. Dulu kamu begitu sayang dan perhatian sama Arthur. Aku harap, perasaan sayang itu ga berubah sedikitpun saat kamu tau kamu punya anak lain, dari perempuan yang kamu cintai."
Itu adalah salah satu hal yang cukup Shei takutkan, bagaimana jika nantinya kasih sayang yang Haren berikan untuk Ayren putrinya, berbeda kepada Arthur putranya? Shei harap itu hanya pikiran jahatnya saja.
"Nggak, Mas Haren nggak gitu, mungkin antara aku sama Kayna dia bakal pilih Kayna tanpa ragu, karna dia sangat mencintai Kayna, tapi kalau soal anak, aku yakin Mas Haren akan adil, apalagi Arthur darah dagingnya selama ini, Mas Haren yang selalu ada buat Arthur sejak Arthur lahir, jadi aku yakin, untuk Arthur dan Ayren, Mas Haren pasti adil."
Pikiran itu Sheila perkuat dengan mengingat kepribadian suaminya sejak dulu, apalagi Haren sangat menyayangi Arthur, kan?
......................
Sheila sampai di sekolah sang putra, banyak anak sudah berpulangan, tepat di gerbang, disebuah tempat yang disediakan untuk anak-anak menunggu jemputan orang tuanya, tampak Arthur duduk dengan tenang disana, diantara murid-murid lainnya dengan di dampingi oleh seorang guru.
Shei turun perlahan, mengobrol dengan guru itu sebentar, lalu berpamitan dengan sopan, menggandeng Arthur masuk ke dalam mobil.
Mobil kembali melaju di jalanan, dengan Arthur yang duduk manis di sebelah Shei.
"Gimana sekolahnya hari ini sayang?" Tanya Shei ramah, ini adalah pertanyaan yang selalu Shei tanyakan pada Arthur ketika ia pulang sekolah.
Arthur tersenyum, dia menceritakan banyak hal dengan tawa yang ceria, bahkan sangking asyiknya bercerita tentang teman-temannya, dia juga ikut memperagakan ekspresi teman-temannya.
Shei tersenyum.
Untuk pertama kalinya selama hari ini berlangsung, Shei akhirnya bisa tersenyum lega dan tulus, perasaan bahagia dan tenang ia dapatkan setelah mendengar putranya bercerita dengan riang.
Shei bahagia.
Benar.
Arthur adalah sumber utama kebahagiaan Shei.
"Sekarang kita ke tempat Oma dulu yaa, Oma sakit, kita jengukin okay?"
"Loh? Papa mana Ma? Papa gak ikut jengukin Oma?" Tanya Arthur polos, tanpa tau badai apa yang menerpa rumahnya.
Shei sedikit getir, namun dia tidak ingin Arthur tau, kalau sudah begini, bolehkan untuk berbohong? ah atau tetap tidak boleh?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments