Asing

Kaki kanannya yang terlindungi docmart kulit coklat menginjak rem dengan pelan, berkoordinasi dengan matanya yang memindai jalanan sekitar yang terlihat lengang.

“Hanya sampai sini?”

Zalva segera menggendong tasnya lalu membuka pintu mobil tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

Dalam waktu sesingkat itu, ibunya memulai ceramah panjang tentang nilai matematikanya yang turun tiga biji. Penyebab paling utama adalah ponsel; barang yang sering menjadi kambing hitam seluruh ibu di dunia kala hal tidak diinginkan terjadi pada anaknya, yang sama sekali tidak relevan.

Zalva menutup pintu dengan lega, berpikir akan terbebas dari ceramah panjang lebar yang tidak akan terputus kalau tak terpotong paksa. Lalu kaca mobil depan yang perlahan turun kembali menampilkan ceramah sang ibu yang sempat terhenti sejenak menggugurkan kelegaannya.

Zalva menghela napas panjang.

Hanya turun tiga biji membuat ibunya bagaikan terpencet tombol otomatis tersembunyi di tubuhnya, hingga membuat wanita yang biasanya diam itu mengeluarkan banyak kata-kata emas dalam kurun waktu seminggu.

Sampai akhirnya kuda penyelamat Zalva yang tak ia kenal datang menyapa dan menyalami ibunya, mengubah wajah ibunya kembali ke default korporat dengan senyuman dan nada bicaranya.

Wali murid tempat les sang ibu menyapanya dengan senang, memberi celah pada Zalva untuk segera menjauh dan kabur.

Berbanding terbalik dengan mobil sejauh tiga meter di depannya, yang mengantarkan anak mereka dengan penuh kasih seperti suasana pertama kali sekolah. Sang anak yang merasa risih lalu mendorong kedua orangtuanya yang ia anggap berlebihan menunjukkan kasih sayang mereka masuk kembali ke dalam mobil.

Adalah Sena yang menutup pintu mobil lalu menjauh cepat sambil melambaikan tangan, membalas lambaian kedua orangtuanya yang tak kunjung usai hingga tikungan di depan.

Sena kemudian berjalan pelan menatap sinkronisasi sepasang sepatu hitam putih yang tak pernah ia gunakan lagi sejak masa orientasi dan upacara penerimaan murid baru.

Sepatu miliknya yang terasa asing karena ia terbiasa memakai sepatu lari yang bisa dipilih warnanya berdasarkan suasana hatinya pagi itu.

Juga seragam sekolah lengkap dengan jasnya, yang selama setahun lebih bersekolah SMA hanya bergantung rapi di pojok lemarinya.

Jalan setapak dari susunan batako di bawah pepohonan rindang ini mendadak terasa asing ketika dilewati dengan pakaian yang berbeda.

Cahaya matahari pagi yang terpisah menjadi berbagai bagian kecil dari sela-sela dedaunan dan gugurnya dedaunan yang terombang-ambing di udara membuat Sena merasa sendu hari ini.

Masih tercetak jelas ekspresi, susunan kata, dan nada bicara sang pelatih yang menjenguknya lima hari lalu, mengatakan sepotong kalimat yang terus terulang di ingatannya secara otomatis, siang dan malam.

Kalimat penangguhan latihan lari akibat cedera lututnya.

Kalimat yang pagi ini membuat dirinya berada di tengah kerumunan siswa yang saling berbagi kekhawatirannya akan ujian mendatang, menuju gedung bertingkat yang sangat asing meski dipandangnya setiap hari.

Gedung yang ia tatap dengan banyak pertanyaan ketika ia merasa lelah dengan omelan sang pelatih tentang makan pedas atau kurang tidur yang berakibat pada penurunan staminanya.

Kala itu Sena penasaran sebebas apa para siswa di gedung ini memilih makanannya, semalam apa mata mereka mampu terbuka untuk mengikuti keseruan yang terjadi di media sosial.

Setelah akhirnya masuk ke gedung ini, di tengah kumpulan siswa yang sempat membuatnya penasaran, ia malah merasa asing dan sendirian.

Sena tidak terbiasa mendengarkan tanya jawab soal essay nomor tiga dari tugas semalam, materi ujian mendatang yang agaknya akan berisi pertanyaan beranak, maupun terkaan perempuan beruntung mana yang mampu menggaet pangeran sekolah lewat story instagram mereka.

Semua perbincangan itu terasa ganjil bagi Sena yang terbiasa membahas berapa derajat bungkukan badan yang tepat untuk mempercepat langkah kakinya, tukang pijat paling mumpuni mengatasi kram tubuh, hingga teka-teki juara utama yang berpotensi memenangkan turnamen bulan depan.

Berbagai macam pikiran yang saling beradu di otaknya berakhir ketika tangannya membuka pintu ruang guru untuk menemui wali kelasnya.

“Adisa?”

Sena terkejut mendengarkan namanya sendiri yang terasa asing di telinga, diucapkan oleh seorang pria berkepala botak dengan kacamata yang bertengger sedikit lebih turun dari letak pada umumnya, menatap Sena dengan ujung mata atasnya seraya menundukkan sedikit kepalanya.

Sena tersenyum canggung membalas sapaan asing nama depan yang jarang sekali dikumandangkan. Senapati adalah nama beken dalam setiap turnamen yang diikutinya.

Ia mengikuti langkah kaki sang wali kelas menuju kelas barunya dengan perasaan campur aduk. Tidak ingin memikirkan seberapa besar intensitas keasingan di kelas itu; yang bahkan membuat identitasnya sendiri menjadi asing.

Sena hampir saja menabrak punggung sang wali kelas karena berhenti mendadak tepat di depan pintu geser berwarna coklat di hadapan mereka, berhias papan putih plastik timbul berukirkan II-III.

“Sudah siap?”

Pertanyaan basa-basi itu dijawab Sena dengan meneguk ludahnya dan menggenggam erat-erat strap bahu tas birunya.

Sang wali kelas yang menatap kegugupan Sena tersenyum dengan lembut, mengatakan sesuatu yang paling sulit dilalui adalah saat pertama kali.

Untuk sedikit memperjelas isi kelas yang nampak buram di mata Sena, sang wali kelas membocorkan nama teman sebangkunya, Zalva. Juga memberitahu betapa pintarnya sang teman sebangku.

Sena mengangkat sedikit ujung bibirnya, membuang napas lega mendengar nama cantik si perempuan teman sebangkunya. Dari namanya, perempuan ini terdengar ramah, mudah bergaul, dan punya banyak teman.

Perkenalan di depan kelas ia lalui dengan memindai setiap siswa perempuan di kelas ini; mana kira-kira yang akan menjadi teman sebangkunya.

Apakah gadis bercepol dua yang duduk di bangku paling depan dan menatapnya dengan pandangan antusias?

Atau perempuan kuncir kuda yang duduk di bangku belakang, tengah menatapnya dengan enggan? Sena membaca banyak webtoon persahabatan yang diawali dengan adegan semacam ini; cuek dan tidak peduli yang kemudian berubah menjadi mau berkorban apapun. Sena menyukai tipe cerita seperti ini.

Atau bisa jadi seorang diantara dua perempuan yang saling berbisik, menatapnya dari ujung sepatu hingga ujung rambutnya.

Ketika sang wali kelas menunjuk bangku kosong paling belakang sebelah jendela, air muka Sena berubah kecewa.

Nama feminin yang sudah diperkirakan sifat sekaligus tampangnya sekian detik yang lalu itu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspektasinya.

Laki-laki, tidak ramah, dan penyendiri.

Laki-laki berambut panjang sampai menutupi sebagian matanya itu menatapnya sejenak ketika namanya dipanggil wali kelas, lalu kembali sibuk memandang bukunya seiring sorak sorai riuh teman-temannya.

Sorakan yang mirip dengan sorakan penonton ketika Sena berhasil memotong garis finish dengan tubuhnya. Bedanya, mata para pendukungnya nampak gembira sedangkan mata mereka terlihat sinis dan merendahkan.

Kesimpulannya, teman sebangkunya adalah laki-laki culun penyendiri yang gemar belajar meski diasingkan teman-temannya.

Entah mengapa kesimpulan tidak akurat Sena membawa tubuh gugupnya lega; jauh lebih lega dibanding ucapan lembut sang wali kelas di depan pintu kelas untuk menenangkannya.

Kenyataan bahwa mereka berdua adalah orang asing di kelas yang nampak harmonis ini membuatnya senang.

Berjalanlah Sena tanpa memperdulikan sorak sorai menggoda dari teman-temannya, menuju Zalva yang terdiam menatapnya.

Sena kemudian menyadari ini bukan kali pertama mereka bertemu kala otaknya tiba-tiba menampilkan kilasan masa lalu dimana ia memberikan selembar kertas yang terbang terbawa angin pada seorang laki-laki yang berjalan di belakangnya.

Laki-laki itu adalah Zalva.

Sedangkan Zalva terkejut menatap tas biru muda familiar milik perempuan yang duduk disampingnya.

Ia mempertanyakan reaksi lambat otaknya ketika sang wali kelas dengan jelas menyebut nama Adisa; nama yang ia tulis dengan huruf kapital di kertas pasien seminggu yang lalu.

Nama yang entah mengapa terasa asing di benaknya.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

ihhhh lucuk

2023-09-18

0

Zia Hilmi

Zia Hilmi

tengkyuuuu semuanya🥺

2023-07-14

0

Ahmad Fahri

Ahmad Fahri

Mesti dibaca ulang!

2023-07-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!