Garis

Pupilnya kembali berpijar ketika bunyi bel istirahat bergema di gendang telinganya.

Dibukanya totebag serut kecil berisi kotak makan dengan pandangan antusias.

Ini adalah momen paling ditunggu-tunggu di hari paling tidak diharapkannya; makan siang dengan bento berbentuk kelinci kesukaannya.

Selama seminggu lebih mengasingkan diri di rumah, Sena menutrisi kebosanannya dengan memutar video di youtube.

Semua yang muncul di beranda ia buka.

Mulanya konten berandanya berisi video berlari dan segala macam ***** bengeknya; mulai dari wawancara pelatih tim profesional hingga rekaman pertandingan tingkat dunia.

Setelah itu berandanya mulai menyesuaikan kehidupannya kala itu; video mukbang, vlog jajanan pinggir jalan, vlog pegawai cafe yang berisi pembuatan berbagai menu, sampai video tutorial masak yang biasa ditonton sang ibu.

Kala itu ia diharuskan makan sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan kondisi tubuhnya.

Selama lima hari penuh ibu dan ayahnya pulang membawa berbagai jenis makanan; mulai dari makanan bersantan, rebus maupun bakar, laut maupun darat, hingga jajanan pinggir jalan.

Semuanya dibeli dalam porsi kecil untuk menghindari makanan sisa; yang adalah pantangan bagi keluarga Sena.

Semua makanan sisa wajib dimasukkan kulkas dan dihangatkan untuk kembali dimakan keesokan harinya.

Setelah lima hari penuh kenyang dengan berbagai video makanan, Sena lalu penasaran pada salah satu video kartun kelinci yang muncul di berandanya.

Sejak saat itulah ia tergila-gila pada karakter rabbid's invasion itu.

Persis seperti bentuk nasinya hari ini, bentuk kelinci dengan mata bulat yang dibentuk sang ibu dengan irisan telur dadar.

Sena menyamankan posisi sendok di tangannya sembari menatap bekal itu dengan mata berbinar.

Kemudian percakapan lirih masuk ke telinga Sena, membuatnya mengatupkan bibir yang tersenyum dan mengurangi binar matanya.

"Kamu lihat tidak nasi bekal si anak baru?"

"Apa? Bekal? Ribet sekali..."

Sena menggeser sedikit pupilnya, penasaran akan mulut mana yang tengah membicarakannya.

"Aneh, kan? Kamu bakalan lebih kaget kalau lihat bentuknya.."

Dua mulut itu berjalan keluar tanpa sedikitpun menoleh pada Sena.

Sangat berbeda dengan perilaku yang terbiasa ditemuinya; mengejeknya terang-terangan tepat di depan mata.

Salah satu dari dua mulut itu terbuka lebar dengan dibuat-buat, kemudian mengangkat kedua tangan untuk menutupinya.

"Serius? Bekal karakter?"

Kekehan mengejek terdengar seiring menghilangnya dua pasang kaki itu dari jendela kelas.

Kalau saja Sena mendengarnya di lapangan indoor tempat para atlit beristirahat, ia akan membalasnya lantang dengan nada sedikit bercanda:

Bilang saja kamu iri karena ibumu tak punya waktu membuat bekal selucu ini!

Lalu mereka akan tertawa bersama. Sena menertawakan bekal lucunya dan sang pengejek menertawakan ibunya yang jarang punya waktu untuknya.

Sepraktis itu.

Well, mereka memang menjalani hidup dengan interpretasi dan sudut pandang yang berbeda dengannya.

Bekal nasi yang nampak lucu di mata Sena, tidak serta merta terlihat lucu di mata mereka.

Sena kemudian menyendok telinga nasi kelincinya sembari mengangkat bibirnya, berusaha memaklumi anomali kesekian kalinya di hari pertamanya bersekolah.

Memang benar wejangan sang wali kelas yang hampir dilupakannya karena seharian mentalnya terkuras menghadapi anomali lain bernama matematika.

Saat yang paling sulit adalah pertama kali.

Nama sang wali kelas yang juga hampir dilupakannya itu kembali muncul kala Sena tengah memilih antara pipi kanan atau pipi kiri yang hendak diambil sendoknya dalam kunyahan berikutnya.

Adisa Senapati kelas dua-tiga, ditunggu Bapak Pras di ruang seni sepulang sekolah.

Prasmono, nama sang wali kelas yang kembali muncul lewat pengumuman speaker kelasnya.

Sena lumayan kesulitan menerjemahkannya meskipun diumumkan sebanyak tiga kali akibat kebisingan sekitar dan mic sekolah yang entah mengapa selalu membuat kalimat sederhana terdengar rumit.

Apakah semua speaker sekolah memang terdengar sekacau ini?

Sena lalu menghabiskan bagian mata kiri bekal kelinci yang sengaja disisakan untuk  mengakhiri makan siangnya, sambil mengingat kembali rute yang ia gunakan tadi pagi.

Entah bagaimana ia sampai di ruang guru tanpa tersesat dengan hanya berjalan mengikuti mayoritas kerumunan.

Sebentar.

Gerakan telapak tangan yang hendak menekan tutup bekalnya mendadak berhenti demi mengingat kembali isi pengumuman tadi.

...di ruang seni sepulang sekolah.

Pak pras guru seni?

Pertanyaan yang Sena kira hanya bergaung di pikirannya ternyata diucapkan secara langsung oleh bibirnya.

Cukup lantang untuk membuat Zalva yang sedang memakan sepotong roti menoleh dan memperlambat kunyahannya.

Dilihat dari kenyaringan suara yang hanya menjangkau telinga terdekat dan posisi wajah yang menoleh sedikit ke arahnya, membuat Zalva merasa pertanyaan itu ditujukan padanya.

Ia memutar pupilnya, melihat teman sebangku barunya ini lewat celah rambutnya, bertanya-tanya apakah ia harus sungguhan menjawab.

"Iya."

Sena mengernyit, mendengar reaksi aneh dari pertanyaannya yang lebih aneh.

Ia memang sering berdebat dengan dirinya sendiri di linimasa otaknya, mengajukan pertanyaan kemudian menjawabnya sendiri.

Namun mengapa jawabannya barusan terdengar dengan nada yang...sedikit lebih rendah?

Sendok yang terlepas tiba-tiba dari tangannya menyadarkan Sena kembali ke dunia nyata.

Dan menyadarkan Sena bahwa jawaban yang ia dengar memang bukan berasal dari pikirannya.

Melainkan dari Zalva.

Sena menatap Zalva canggung; memikirkan cara mustahil untuk menghapus ingatan Zalva akan pertanyaan biasa yang entah mengapa terdengar memalukan bagi Sena.

"Oh begitu, ya? Hahaha... "

Sena lalu meringis kecil sembari melanjutkan kegiatannya membereskan alat makan.

Keheningan yang selanjutnya terjadi hanya di area tempat mereka berdua duduk membuat Sena semakin canggung.

Berbanding terbalik dengan Zalva yang nampak menikmati waktu mengunyahnya yang damai dan tenang, sambil menatap pepohonan di kejauhan dari jendela.

Setidaknya begitulah kelihatannya.

Kenyataannya Zalva harap-harap cemas ucapan kecilnya tadi tidak mengingatkan Sena pada pertemuan mereka saat itu.

Semoga teman sebangkunya ini bukan orang yang mudah curiga maupun mudah mengingat sesuatu.

Gumaman bernada tanya dari Sena membuat Zalva kembali panik, bingung hendak bereaksi atau pura-pura tidak mendengarnya.

Kala ia memutuskan untuk memilih opsi kedua, Sena memanjangkan pertanyaannya.

"Ruang seni di mana?"

Zalva melirik Sena sekilas, lalu bergerak pelan mengambil pena dan menyobek selembar kertas.

Digambarnya denah lantai tiga tempat kelas mereka dan lantai empat tempat ruang seni berada.

Sebenarnya tidak begitu sulit menemukan ruang seni. Yang dibutuhkan hanya jalan lurus dari tangga lalu belok ke kanan.

Namun interior ruangan yang nampak seperti kelas pada umumnya membuat para pencarinya sering terkecoh.

Entah apa yang ada di pikiran Pak Pras ketika membuat ruangan itu nampak seperti kelas biasa, dengan pintu rahasia menuju aula yang penuh alat kesenian.

Tanpa papan kayu maupun penanda apapun yang menunjukkan itu adalah ruang seni.

Zalva menggambar setiap ruang dengan bentuk persegi, lalu menulisi nama ruangan tepat di tengah persegi itu.

Semuanya ia gambar pelan dalam diam, hasil dari pemikiran cepat bagaimana cara menunjukkan jalan ke Sena tanpa perlu memperdengarkan suaranya.

Sena menatap setiap kumpulan persegi itu dengan seksama, memproyeksikan bentuk nyatanya dalam imajinasi.

Zalva menggambarnya dengan cukup detil; dibuktikan dengan dua persegi panjang kecil di lorong bertuliskan lemari dan sesuatu mirip bunga tanpa kelopak bertuliskan pohon.

Ia bahkan melengkapi denahnya dengan jendela dan pintu.

Sena menyaksikan proses menggambar di depannya dengan antusias meski air mukanya tetap datar tanpa ekspresi.

Zalva tampak cekatan mengatur tebal tipisnya goresan bolpoin, menggabungkan berbagai garis lurus dan garis lengkung untuk menggambar bentuk yang diinginkan.

Sena mengagumi kelihaian jari Zalva memainkan bolpoinnya; tidak seperti dirinya  yang tidak bisa menggambar lingkaran dengan bulat sempurna.

Terlalu melengkung, garis yang tidak saling bertemu jika tanpa paksaan, sampai garis akhir yang lebih besar atau lebih kecil dari garis awal; semua kesulitan itu pernah dilaluinya ketika menggambar sesuatu sesimpel lingkaran.

Mata Sena kemudian terhenti pada garis lain yang letaknya sedikit berbeda dari teman-temannya.

Garis merah tua keunguan yang berada di atas kulit tangan Zalva, menyembul dari balik lengan seragam yang dilepas kancingnya.

Garis yang nampak seperti luka terseret.

Garis yang membangkitkan kenangan Sena yang hampir terkubur tertutup debu.

Garis yang membuatnya kembali ke kejadian yang hampir meremukkan lutut dan betisnya.

Dalam gambar buram sisa ingatan Sena yang berada di ambang batas sadar, ia melihat seseorang mendekatinya dengan lengan berdarah setelah tersayat oleh salah seorang dari gerombolan anak nakal itu.

Tangan yang mengecek aliran napas di hidungnya dengan darah mengalir dari segaris kulit koyak.

Bau darah segar makin mengaburkan pandangan Sena, dan itulah ingatan terakhirnya sebelum pingsan.

Zalva membenarkan garis lengkungnya yang nampak kurang melengkung dengan menebalinya, melihatnya sekilas, kemudian menaruhnya di meja Sena.

Lengan yang terjulur hampir lurus membuat luka di bawah pergelangan tangan Zalva muncul separuh.

Segera ditarik tangannya cepat lalu menyatukan manset pergelangan tangannya yang terbuka dengan mengancingkannya.

Zalva membuang napas pelan, meyakinkan pikirannya yang menebak Sena tak akan menatapnya karena fokus dengan denah.

Di saat genting seperti ini kenapa lubang kancingnya tampak menciut hingga kancingnya kesulitan melewatinya?

Zalva bolak balik menatap kertas denah dan kancing bandelnya dengan panik.

Ketika kancingnya berhasil masuk, Zalva mendongak menatap Sena.

Jantungnya mencelos begitu melihat pupil Sena menatap tangan canggungnya.

Tepatnya, pergelangan tangan yang cepat-cepat ditutupinya tadi, dimana luka yang berusaha ditutupi masih terlihat dari balik belahan lengannya.

Zalva ikut membeku seperti Sena.

Mereka memikirkan kenangan yang sama dengan proyeksi yang berbeda.

Terpopuler

Comments

Ken ZO

Ken ZO

Gemesinnya minta ampun!

2023-07-23

0

Blue Persona

Blue Persona

Tolong, aku tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutan cerita.

2023-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!