CULUN X SUHU

CULUN X SUHU

Tali Sepatu

Hiruk pikuk kegaduhan kelas yang bersorak sorai karena kabar gembira mengenai jam kosong mendadak terdiam demi mendengar kalimat yang terucap dari sang wali kelas.

“Tugas bahasa inggris, soal buku paket halaman dua puluh satu. Sekretaris, jangan lupa dicatat-“

Sang sekretaris yang masih fokus menatap bulu mata palsunya di cermin kecil disenggol oleh teman sebangkunya.

“Oke, pak!”

Sekretaris bernama Sari itu mengedipkan matanya manja, hendak memamerkan kelentikan bulu matanya.

“Dan tugas dikumpulkan ke ruang bahasa.”

Terdengar berbagai macam lenguhan dari para siswa demi mendengar ruang keramat itu disebutkan.

Ruang bahasa yang terletak di sudut sekolah jauh dari akses manapun. Gerbang sekolah, UKS, kantin, dan tempat kesukaan siswa lainnya berada di jalan yang berlawanan arah dengan ruang bahasa.

Apalagi bagian menyeberang gedung olahraga indoor maupun outdoor yang lebih melelahkan dibanding naik turun tangga dari kantin di lantai satu ke kelas mereka di lantai tiga.

“Ketua kelas silakan mengatur teman-temannya agar mengumpulkan tugas tepat waktu. Ada pertanyaan?”

Keheningan menyeruak membuat sang wali kelas menganggukkan kepalanya, menganggap kewajibannya menyampaikan tugas telah terpenuhi, kemudian menutup pintu kelas.

Berjalanlah ketua kelas berambut klimis dengan seragam yang dikancing penuh sampai atas untuk menaruh bukunya di meja paling belakang.

Meja tempat sang peringkat pertama sekolah duduk.

“Tugasnya dikumpulkan ke Zalva, seperti biasa.”

Murid berprestasi yang tadinya menunduk diam mengerjakan tugasnya itu mendongak. Matanya menatap sang ketua meski sebagian besar pandangannya tertutup oleh rambut panjangnya.

“Kenapa aku?”

Dua patah kata yang mampu membuat dua orang siswa yang sedang bermain lempar tangkap bola kertas di belakang berhenti.

Juga membuat seluruh kelas yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing berbalik menatap laki-laki bertanda nama Zalva Wimala itu.

Keheningan beberapa detik setelahnya terpecahkan oleh suara buku yang tertutup keras milik seorang perempuan berambut kuncir kuda yang berdiri menghampiri Zalva.

“Ke-na-pa?”

Datanglah perempuan lain berambut cepol yang ikut menimbrung percakapan searah mereka.

“Oh, sudah berani membalas rupanya...”

Ia condongkan tubuhnya mendekati mata tersembunyi Zalva sambil tersenyum miring, lalu mendorong kening Zalva dengan telunjuknya sambil mengeluarkan kata-kata mutiara.

Zalva hanya membalas mereka dengan mengalihkan pandangannya ke bolpoin yang ia pegang, sebab reaksi sekecil apapun yang tertangkap mata mereka akan membuatnya menjadi kriminal dan memperumit keadaannya.

Kekehan kecil dan bisik-bisik yang keluar dari mulut para manusia di sekitarnya bergulir meriuhkan suasana. Membuat Zalva mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap lapangan luas yang mau tidak mau kurang dari dua jam lagi akan ia lalui.

Pasti panas sekali.

Ketika akhirnya membawa tumpukan buku tugas dan kertas itu keluar dari kelas, Zalva tidak merasa panas sama sekali meski matahari bersinar terik. Semilir angin berhembus menyertai langkah kakinya, mengacaukan rasa panas sang mentari yang hendak menerpa kulitnya.

Menerbangkan salah satu kertas tanpa disadari sang pembawa.

Kertas itu menari pelan di udara, sebelum mendarat dengan anggun di dekat tali sepatu yang tengah diikat kencang.

Sang pemilik sepatu biru itu mengurungkan niatnya yang hendak berdiri begitu melihat selembar kertas teronggok di hadapannya. Ia julurkan tangan kanannya untuk meraih lembaran yang salah satu sudutnya tersepak kelembutan angin.

Kemudian mengedarkan pupil coklatnya mencari sang pemilik kertas.

Nampaklah seorang siswa yang melintas tak jauh di depannya, sedang memindahkan beberapa buku keatas tumpukan kertas.

Zalva berhasil menenangkan kertas-kertas yang memberontak tersapu angin dengan menumpukan beban di atasnya.

Ia hendak melanjutkan langkahnya sebelum sebuah kertas diberikan kepadanya.

Kertas berisi tugas membuat quotes berbahasa inggris dengan kalimat pertama bertuliskan namanya, yang tadi ditulis asal tanpa pemikiran apapun.

Hanya persis mencontek tulisan kecil yang tercetak di sudut bawah buku tulisnya.

Ketika dibaca lagi, kalimat itu membuatnya tertegun.

Zalva baru tahu jika waktu, tempat, dan suasana bisa menambah sebuah kalimat yang tadinya biasa saja menjadi kalimat yang menggelitik hatinya.

It’s just a bad day, not a bad life.

Hembusan angin membuka sedikit rambut yang menutupi wajah Zalva, membuat netranya mengikuti pergerakan perempuan pemberi kertas yang sedang berlari mengitari lapangan. Rambut sebahunya bergerak mengikuti irama tubuhnya, sedangkan beberapa helai lain bergerak leluasa mengikuti angin.

Membuat bibir Zalva mengukir senyum seraya berbalik melanjutkan langkahnya.

Perempuan itu kemudian berhenti tepat di depan tribun, menatap kesal pada tali sepatunya yang kembali terurai. Sepatu pemberian sang sahabat di hari ulang tahunnya kemarin.

Dirundukkan badannya sambil menghela napas untuk membenarkan tali, lalu terkejut dengan sensasi dingin yang menyentuh pipinya.

“Kerja bagus, Sena.”

Adalah sang sahabat yang menempelkan sebotol pocari sweat dingin di pipinya. Sena menerimanya dengan senyum cerah lalu menyatukan kembali sensasi dingin itu ke kulitnya.

“Terimakasih, Tina.”

Tina duduk berselonjor di lapangan berumput, diikuti oleh Sena yang telah selesai mengikat kencang tali sepatunya.

“Hari ini, ya? Festival itu?”

Tina mengangguk sambil mengusap keringat yang menetes di dahinya. Bibirnya kemudian mengerucut membicarakan ketidaksukaannya pada sifat para gadis yang nanti akan pergi bersamanya.

Fani si genit dan ahlinya senyum palsu, Nira yang tak bisa lepas dari ponsel, Tiara yang terkenal pelit dan kikir, juga Hani dengan ketidakberaniannya yang menyusahkan.

Meski tidak pernah bertemu langsung, Sena hapal kelakuan mereka dari cerita-cerita Tina. Mereka adalah sahabat sejak sekolah dasar, rumah mereka berdekatan dan sering berkumpul bersama.

“Ah, pasti si cengeng Hani berulah lagi, menyebalkan. Kamu tahu tidak-”

Sena hanya tersenyum mengangguk mengiyakan, meski tidak menyukai mulut pencela Tina yang terus mengatakan keburukan teman-temannya.

Ia mengalihkan fokus pikirannya pada pilihan jajan apa yang hendak ia beli di perjalanan pulang nanti. Maklor dekat sekolah atau seblak di sebelahnya.

Ternyata setelah betulan pulang, dua jajan gerobak itu sama-sama tutup.

Sena membuang napas, mulai mempercayai rumor yang mengatakan bahwa dua penjual itu adalah saudara beda ibu; karena mereka selalu tutup di waktu yang sama.

Lalu memutuskan untuk berjalan sedikit lebih jauh ke perempatan, tempat batagor langganan Tina melapak. Meski ia ragu gerobak itu belum tutup, sebab jingga sang langit mulai menyebar dan matahari hampir terbenam separuhnya.

Kegiatannya mengagumi langit terhenti akibat tali sepatu yang lagi-lagi terlepas dari lilitan kuat jemari Sena.

Membuatnya berdecak kecal dan kembali mengikat kedua ujung tali itu kuat-kuat. Ia mulai berpikir untuk membeli tali sepatu baru yang lebih kuat akhir pekan nanti.

Pada tarikan simpul terakhir, tubuh Sena oleng ke depan akibat tabrakan yang cukup keras dari belakang oleh seseorang berjaket biru tua yang kemudian membungkukkan badannya meminta maaf.

Sena yang hampir mengumpat kemudian menundukkan kepalanya cepat untuk membalas permintaan maafnya.

Umpatan yang sempat ditahannya itu meluncur begitu saja ketika benda kotak berwarna krem terlihat berada di genggaman sang penabrak.

Dompetnya.

Laki-laki yang sebagian wajahnya tertutup topi itu berlari kencang begitu Sena meneriakinya untuk berhenti.

Ia panik saat melihat bayangan Sena di kaca toko yang berhasil mempersempit jarak meski berlari sambil berteriak.

Pikirnya ia berhasil mendapat target yang tepat berdasarkan pengalaman mencopetnya; yaitu anak sekolah, perempuan, dan nampak lemah.

Kali ini ia salah besar menilai perempuan ini nampak lemah hanya dari paras lembutnya. Postur tubuh dan caranya melangkah mengindikasikan bahwa perempuan itu terbiasa berlari.

Ia kemudian memutar otak untuk menemukan solusi agar tidak tertangkap dalam beberapa detik lagi.

Hampir saja tudung jaketnya tertarik sang pengejar jika tubuhnya tidak segera berbelok ke kiri. Ia menoleh dan tersenyum senang menemukan perempuan itu hampir terjerembab di belakangnya.

Akibat napasnya yang memburu dan dadanya yang nyeri, otaknya memberi perintah untuk memelankan laju larinya. Sebelum perintah itu dijalankan dengan sempurna, sarafnya kembali mempercepat langkah kakinya demi mendengar teriakan menggelegar dari sang korban yang ia kira tidak lagi mengejar.

Dua kotak kayu didepannya ditarik sampai ambruk menggelinding guna memperlambat sang pengejar.

Ia menyemangati tungkainya yang mulai linu. Ayolah, dua puluh meter lagi mereka bisa mendapatkan bantuan!

Dipacunya kedua kaki sampai meraih sang bantuan dan bersembunyi di balik punggungnya.

“Tolong, Bang!” ucapnya dengan suara tercekat karena kehabisan napas sambil menunjuk sang pengejar yang masih bernapas dengan normal.

Sang bantuan berwujud manusia itu menghentikan kegiatan menendangnya demi melihat perempuan cantik yang dibawa si anak buah ke markas mereka.

Sena menarik napas panjang menatap nyalang lima empat di depannya begitu melihat ada manusia di tengah-tengah mereka yang tergeletak lemah tak berdaya dengan mulut berdarah.

Tatapan yang membuat sang bantuan berupa pemimpin komplotan itu tertawa keras.

“Ada perlu apa, Nona Manis?”

Dari penampilan dan bahasa tubuh yang dipindai cepat oleh mata Sena, mereka tampaknya komplotan yang suka melakukan kegiatan tercela. Dari mencopet, menggoda perempuan, hingga menganiaya sesama manusia. Tipe manusia yang melakukan kegiatan keji hanya untuk menutup ketimpangan ego mereka.

Untuk mengalahkan jenis manusia tipe ini, kalian hanya perlu memutar otak memainkan ego mereka.

“Dompet saya terbawa bocah di belakangmu, dik. Dengan sengaja.”

Sena tersenyum setenang mungkin, untuk mendapatkan reaksi berlebihan sang lawan bicara.

“Dik?”

Tawa menggelegar dari manusia-manusia berseragam sekolah khusus laki-laki di daerahnya itu membelah kesunyian dan kegelapan malam.

“Atas dasar apa perempuan berseragam SMA memanggil kami ‘dik’?”

“Oh, kukira kalian masih SD karena hanya anak SD yang bisa melakukan perbuatan tidak baik seperti itu tanpa berpikir.”

Tatapan congak pemimpin komplotan itu bertambah buas seiring langkah pelannya mendekati Sena. Suara kayu diseret pelan dan beradu dengan kontur tanah yang tidak rata membuat bulu kuduknya merinding.

Ujung mata Sena menangkap gerakan kecil dari orang yang dikira telah pingsan. Ia menganggukkan kepalanya guna memberi tanda pada Sena, lalu berdiri pelan tanpa suara.

Meskipun tidak mengerti dengan maksud tandanya, Sena mengedipkan kedua matanya dan mendesak otaknya berpikir keras mengenai langkah yang tepat untuk mengatasi situasi ini.

Sang korban menendang cepat tungkai dua orang di depannya, membuat sang pemimpin yang hanya berjarak dua meter dari tubuh Sena berbalik. Ia tersenyum senang dengan kebangkitan korbannya, yang masih sanggup menumbangkan dua orang anak buahnya meski darah segar menetes dari mulutnya.

Kayu yang tadinya hendak dipukulkan pada Sena ia angkat tinggi-tinggi hendak menghujankannya keras pada punggung si korban.

Kecepatan turunnya sang kayu menjadi terganggu akibat jeritan Sena yang mengancam hendak menghubungi polisi seraya mengangkat ponselnya. Layar redup ponsel itu menjadi sangat cerah karena berpendar di kegelapan.

Sang pemimpin yang menyaksikan tangan Sena bergetar memegang layar ponsel yang menampilkan lock screen itu terkekeh pelan, mengangkat dagunya dan memiringkan kepala, tengah menantang Sena.

“Silakan, kalau berani."

Terdengarlah bunyi sirine polisi bersama suara kendaraan bermotor melaju mendekat.

Kebingungan semua orang dimanfaatkan Sena untuk mengambil dompetnya yang tergeletak di dekat korban. Namun sebelum dompetnya tertangkap, lututnya dipukul keras oleh sebuah benda tumpul dari belakang.

Sena pingsan.

Datanglah sebuah motor dengan penunggang yang memakai helm full face hitam legam, meringsek masuk memaksa komplotan itu mundur. Debu dan tanah bercampur menjadi satu terbang ke segala arah akibat manuver ban motor yang berputar dan berbalik arah dengan cepat, mengaburkan pandangan siapapun yang ada di dekatnya.

Sebuah cahaya berpendar remang-remang di tengah polusi udara itu, menampilkan layar ponsel dengan tampilan pemutar musik. Suara sirine polisi kemudian berhenti setelah tombol pause di ponsel itu tersentuh.

Sang pimpinan komplotan merasa sangat marah menyaksikan ritme permainannya terganggu akibat permainan lain.

Ia lalu meraih benda apapun yang ditemukan tangannya, kemudian memukulkannya keras menyamping. Suara rintihan pelan yang menandakan senjatanya berhasil melukai seseorang membuatnya tersenyum miring, sebelum akhirnya bergabung bersama anak buahnya yang telah kabur duluan.

Sang pengendara motor itu menaikkan kaca helmnya dan membantu si korban yang kesusahan memindahkan tubuh yang tergeletak melintang di atas kakinya.

“Zalva, dia pingsan!”

Terpopuler

Comments

kozumei

kozumei

Terkesan!

2023-07-13

1

Axelle Farandzio

Axelle Farandzio

Terima kasih author, sudah memberikan hiburan dan inspirasi baru dengan ceritamu 🤗

2023-07-13

1

jingjing531

jingjing531

Jangan takut untuk bereksperimen, selalu mengagumkan apa yang sudah dicapai sejauh ini!

2023-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!