Mimpi

Dua lembar uang limaribuan dan empat lembar duaribuan di pinggir meja ditatap tiga perempuan di sekitarnya dengan bimbang.

"Segini cukup?"

Salah seorang diantara mereka yang memakai kacamata merogoh saku baju dan mengeluarkan uang selembar limaribuan.

"Cukup-cukupin, lah. "

Terdengar lenguhan keraguan dari dua orang lainnya.

Mereka berdua kemudian sama-sama mengambil tas mereka; yang satu mengambil ponsel sedangkan yang lain mengambil suatu kartu di dompetnya.

"Tapi bener, kok, diskonnya hari ini!"

Tiga pasang mata itu kemudian menyaksikan postingan instagram dengan pandangan menganalisa.

Postingan berbentuk gambar berlatar kuning polos dengan angka 25% yang tercetak sangat besar dibawah tulisan diskon yang tercetak dengan mode capslock.

Sang kacamata mengernyitkan matanya untuk meneliti setiap kalimat yang tertulis di bawahnya.

Lalu memundurkan kepala dan mengangguk pelan pada dua teman yang menunggu hasil penilaiannya.

Ponsel itu kemudian masuk lagi ke tas hitam berbahan kulit imitasi bebarengan dengan sang pengambil keputusan utama diantara mereka, si kacamata, yang bersiap memakai jaket tanpa tudungnya.

Sang pemegang kartu menyelipkan kartunya ke saku seragam, berjaga-jaga apabila uang iuran itu dirasa kurang.

Gemerincing gantungan kunci berbagai bentuk yang terkait di resleting tas kulit hitam itu menjadi pemimpin jalannya dua manusia di belakangnya.

Suaranya makin berisik ketika sang pemilik tiba-tiba menghentikan langkahnya demi melihat wajah tidak asing yang melintas di depan pintu.

Dua perempuan di belakangnya yang saling bertabrakan mengaduh pelan sambil menanyakan hal mengejutkan apa yang membuatnya berhenti seketika.

"Hei, bukankah dia cewek berotot yang kita lihat di festival akhir tahun itu?"

Sang kacamata membenarkan kacamatanya dengan kesal sambil menolehkan kepalanya ke arah teman-temannya memiringkan kepala.

Terlihatlah perempuan berambut pendek sebahu yang melangkah canggung. Kepalanya menunduk dan menoleh berulang kali, terlihat kebingungan mencari sesuatu.

Sang pembawa kartu manggut-manggut menyetujui kalimat pertanyaan temannya.

"Ada apa dengan seragamnya? Bukankah dia masuk bagian khusus atlit?"

Sang kacamata yang terlihat paling pintar diantara mereka menimpali dengan analisa cerdasnya.

"Jalannya terlihat aneh... Mungkin dia masih cedera?"

Dua pasang mata itu kemudian memperhatikan gerakan kaki panjang itu dengan seksama.

"Benar juga."

Jalan aneh perempuan itu terlihat jelas meski tertutup rok panjang setelah teman pintar mereka menunjukkannya.

"Aku lupa namanya. Siapa, sih? Si.. Si-"

"Sita?"

"Bukan. Aku juga lupa, tapi yang pasti bukan Sita."

"Sila, bukan?"

"Sena? Sudah lama di sini?"

Sena yang sedang kebingungan menentukan tengah mengetuk pintu atau langsung membukanya kaget mendengar namanya disebut.

Pak Pras berdiri di samping kanannya membawa tumpukan kertas beragam ukuran.

"Panggilanmu ternyata Sena, ya? Bapak barusan ketemu pelatihmu yang menanyakan kabar murid baru di kelas bernama Sena-"

Tangan kiri sang wali kelas yang senggang menggeser pintu kayu yang tadi direnungkan Sena.

"-lalu kupikir, memangnya ada anak bernama Sena di kelasku? Hampir saja bapak berkata pelatihmu mungkin salah kelas-"

Sena mengikuti langkah Pak Pras melewati barisan kursi dan meja kosong menuju ke belakang.

Ia tidak tahu wali kelasnya adalah orang yang gemar berbicara.

Pintu selanjutnya yang terbuka membuat Sena melebarkan matanya demi melihat pemandangan di depannya.

Di atas meja persegi besar yang mengisi hampir seperempat ruangan, terdapat berbagai kertas dan alat menggambar yang berjejer tak beraturan.

Di belakangnya terdapat papan lebar sepanjang dinding ruangan yang ditempelkan ke tembok dengan beberapa siku besi berisi kardus-kardus berbagai ukuran.

Mata Sena kemudian beralih pada pahatan patung setengah jadi berbentuk entah wajah manusia atau makhluk lain; yang jelas rambutnya panjang bergelombang.

Sebelahan dengan jajaran lukisan dengan ukuran, bentuk, dan tema yang berbeda-beda.

Sena kemudian duduk di kursi rotan berwarna kuning cerah yang ditarik sang wali kelas untuk mempersilakannya duduk.

Ketika matanya bertemu dengan mata Pak Pras tanpa kacamata, Sena menyadari ia sama sekali tidak mendengarkan perkataan beliau sejak masuk ke ruangan ini.

Ia bahkan tidak sadar Pak Pras telah menghentikan ocehannya.

"Pertama kali masuk kemari, ya?"

Sena mengangguk pelan dan tersenyum kaku. Ia bertekad akan mendengarkan perkataan Pak Pras dengan seksama.

Selembar kertas diletakkan di depan Sena.

Sena menatap kertas tanpa judul itu ketika sang wali kelas sedikit heboh mencari bolpoin.

Tangannya cekatan menelusuri meja panjang penuh barang itu. Barangkali bolpoin yang seingatnya dibawa sang tangan tadi terselip diantaranya.

Padahal bolpoinnya bertengger manis di sebelah pot bunga berbentuk aneh dari kaca bening, tempatnya meletakkan tumpukan kertas hasil karya siswa yang harus dinilai.

"Sudah berapa lama kamu berlari?"

Sena menegakkan mata yang tadinya kebingungan menatap kertas kosong pada sang wali kelas yang duduk sedikit merunduk guna meraih bolpoin yang berada di sebelah kanannya.

"Sejak... kelas 5 SD, pak."

Pak Pras manggut-manggut mengerti sambil menaruh bolpoinnya di samping kertas.

"Cukup lama juga."

Sena menjawabnya dengan senyuman tipis, menyetujui kalimat Pak Pras yang sekilas mengantar ingatannya kembali ke masa pertama kali ia mendapat medali kemenangannya.

Cukup lama yang terasa sebentar.

"Apakah mimpimu berarti sudah terwujud?"

Kenangan masa kecilnya terpotong oleh pertanyaan sang wali kelas yang membuat Sena terhenyak.

Terwujud?

Sebagian pikirannya menyetujui frasa terwujud jika menilik dari medali dan piala yang terpajang rapi dalam lemari khusus di rumahnya.

Sebagian yang lain masih loading, tengah mencocokkan pikiran dengan hatinya.

Selama ini Sena hanya berharap memenangkan setiap pertandingan yang diikutkan sang pelatih untuknya.

Jika belum menang, ia terus berlatih memperbaiki postur dan mempercepat langkah kakinya untuk bisa menang.

Ketika berhasil menang, sang pelatih mendaftarkan Sena pada pertandingan di tingkat selanjutnya.

Hidupnya terus berputar seperti itu.

Jadi, apakah mimpinya sudah terwujud?

"Oh, bagaimana dengan cederamu?"

Sena mengakhiri debat antar pikirannya dan menatap lutut yang tertutup rok panjangnya.

Ia sengaja memilih rok panjang untuk menutupi perban di lututnya dan menghindari perhatian yang tidak diperlukan.

Seketika perdebatan pikiran yang sudah diakhirinya tadi muncul kembali ke permukaan.

Membawa topik perwujudan mimpi ke permukaan ketika menyadari rintangan terbesar mimpinya selama ini tengah berlangsung.

Sang kaki, investasi paling penting dalam perwujudan harapannya kini tengah berada di kondisi terburuk.

Apakah itu artinya... mimpinya telah tumbang?

Pak Prasmono yang tak lekas mendengar jawaban kemudian mengarahkan pupil matanya pada Sena yang nampak memandangi lututnya dengan mata meredup.

Ups, mulut ini memang!

Harusnya ia cermati betul perkataan guru bahasa indonesia waktu itu; bahwa ia harus memperbaiki mulutnya yang beraksi mendahului otaknya.

Ia tidak berkehendak memunculkan luka sang anak didik baru dengan pertanyaan yang tidak dimaksudkan untuk bermakna sedalam itu.

"Maaf- pertanyaan jelek ini membawa kenangan buruk ya?"

Pikiran kacau Sena berhasil dihentikan sebelum terlanjur terlalu dalam.

Sena menggelengkan kepalanya cepat, tidak setuju dengan lontaran kalimat sang wali kelas.

Bukan pertanyaan beliau yang salah, melainkan dirinya yang seharian ini merasa sendu.

"Lutut saya baik-baik saja, Pak. Hanya perlu sedikit pemulihan."

Kalimat yang diucapkan oleh sang ibu ketika pelatihnya berkunjung ke rumahnya beberapa hari lalu.

Ia baru tahu fungsi kalimat itu pada hari ini ketika ia mengatakannya dengan mulutnya sendiri.

Sena kira sang ibu mengatakan itu karena takut pelatihnya akan berpaling, tak mau lagi melatihnya.

Padahal makna sebenarnya adalah agar dirinya tak kehilangan semangat untuk kembali bangkit dan berlari.

Agar percaya bahwa harapannya untuk memenangkan kompetisi belum terhenti.

"Kamu lihat bekas sayatan di lengan bapak ini?"

Sena menatap lengan Pak Pras dengan bekas luka memanjang yang berwarna lebih gelap dari kulit di sekitarnya.

"Sayatan yang Bapak dapatkan ketika jatuh terjerembab ke dalam jurang. Lukanya sangat lebar sampai harus dijahit lima belas jahitan."

Sena mengedipkan matanya, menepati janji untuk mendengarkan ocehan sang wali kelas dengan seksama.

"Salah satu saraf bapak sempat lumpuh sampai susah untuk menggerakkan kelima jari. Padahal jari-jari inilah perantara impian Bapak."

Sena terhenyak, menatap bekas luka yang ceritanya mirip kisah pribadinya.

"Tapi lihat Bapak sekarang. Masih melakukan impian yang dulu hampir sirna; melukis dan memahat."

Wow. Jadi semua pahatan dan lukisan yang terpajang di ruangan ini adalah karya beliau?

Sang wali kelas tersenyum memperhatikan keredupan mata Sena perlahan menghilang.

"Inti dari perkataan Bapak adalah, kamu tidak perlu risau dan terpuruk dengan keadaan. Barangkali, dengan memilih jalan berbeda seperti masuk kelas reguler ini, kamu mungkin bertemu mimpimu yang lain."

Kalimat panjang itu terus terngiang di pikiran Sena sepanjang langkah kakinya menelusuri koridor yang lengang.

Ia tak menyangka momen pulang yang paling dinantikan seharian ini menjadi waktu yang paling membuat otaknya berpikir.

Berjam-jam mata pelajaran membosankan yang dilaluinya seharian tadi hanya menumpang masuk ke telinganya sebentar.

Sementara perbincangan sepanjang lima belas menit bersama sang wali kelas meninggalkan kenangan yang berakar kuat di otak sekaligus hatinya.

Meninggalkan api semangat dalam dirinya yang sempat meredup tanpa disadari.

Dan meninggalkan pertanyaan tak terjawab tentang mimpinya.

Koridor yang lengang dan sepi membuat Sena menikmati pikiran berkecamuknya.

Sebagian besar ruang kelas di lantai dua dan satu yang dilewatinya barusan telah kosong.

Hanya satu dua orang yang masih berada di kelas.

Sena menatap kaca koridor ketika cahaya yang terpancar dari luar gedung meredup tiba-tiba.

Terpampanglah mendung yang bergerak pelan menghalangi cahaya sang matahari.

Ucapan sang wali kelas sebelum berpisah yang sempat tidak dipercayainya tadi kembali muncul di pikirannya.

"Sepertinya akan turun hujan."

Sena menatap sang wali kelas dengan penuh keraguan, dan dibalas dengan tawa pelan beliau.

"Kamu bisa menebaknya juga kalau sudah seusia Bapak," ucap sang wali kelas sambil menyerahkan payung kuning ke tangan Sena.

Di sinilah dia, menatap kebenaran prediksi beliau dengan menggenggam erat payung kuning yang sempat hendak dikembalikannya tadi.

Sena tersenyum menatap rintik hujan yang turun dengan cepat, membasahi setiap benda yang dijamahnya.

Ia bersyukur wali kelasnya adalah orang yang baik.

Suara rintik hujan dan aroma tanah basah membuat pikiran kalutnya tenang.

Cukup lama Sena memperhatikan perubahan warna batako yang terkena rintik hujan lewat kaca koridor.

Kemudian bersiap melangkahkan kakinya ketika dirasa pikiran kalutnya telah luntur terbawa air hujan.

Sena melangkah menuju pintu gedung dan menangkap wajah yang nampak tidak asing.

Ia masih memikirkan kapan dan di mana ia bertemu dengan wajah laki-laki setinggi badannya ini.

Sampai saat laki-laki yang nampak kebingungan itu menengok ke kiri, menatap wajah Sena yang juga familiar di ingatannya.

"Ah! Kamu yang menolongku waktu itu!"

Sena teringat anak malang yang dirisak dan ditendang hingga mulutnya dipenuhi darah di harinya kehilangan dompet.

Anak itu menjelma menjadi manusia yang lebih sehat dengan wajah berbinar menatapnya.

"Ah! Benar! Kamu baik? Lukamu bagaimana?"

Laki-laki itu meringis menampilkan rentetan giginya, lalu menekuk tangan untuk berpura-pura menampilkan otot lengannya.

"Tentu saja baik! Tubuhku sembuh dengan cepat karena masih muda!"

Mereka tertawa bersama.

"Lututmu bagaimana?"

Percakapan hangat mereka mengalir dengan penuh canda tawa.

Laki-laki yang ditolongnya ini bernama Tera, kelas satu-empat, sang adik kelas. Ia nampaknya punya sisi humoris yang membuat percakapan mereka bergulir dengan asyik.

Sampai seseorang meraih tangan Tera dan menyerahkan payung biru.

"Pakai ini. Kamu belum sembuh, jangan berlari kehujanan seperti sebelumnya."

Sena terhenyak menatap laki-laki tinggi yang sedang berbincang dengan Tera itu.

"Dia yang menolongku saat dikeroyok oreo waktu itu-"

Tera yang hendak mengenalkan mereka berdua menghentikan niatnya ketika dua orang yang sama-sama menolongnya waktu itu nampak saling mengenal.

Tanpa sadar Sena membuka mulutnya, mengatakan pertanyaan di pikirannya dengan keras.

"Zalva?"

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

ckup sih klo beli seblakk

2023-09-18

0

Valito.C

Valito.C

Thor, gimana sih? Kok blm update lagi? 😩

2023-07-23

0

Setsuna F. Seiei

Setsuna F. Seiei

Thooor...kamu merindukan narasi ku kan? Cepet update yukkk~

2023-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!