Hangat

Empat kaleng kopi instan ditempatkan di meja lobi oleh seorang pemagang yag terburu-buru membawanya, menarik perhatian semua suster yang tengah kebagian jaga malam di ruangan itu.

“Terimakasih.”

Salah seorang suster dengan rambut digelung tak beraturan meraih sekaleng kopi yang hampir jatuh menggelinding. Matanya yang merah melanjutkan kegiatannya membaca setumpuk laporan yang masih berkurang tiga perempat.

Dua suster yang duduk di lobi mengedipkan matanya pada sang pemagang yang berusaha menahan bibirnya yang hendak melengkung. Siapa yang tidak senang mendapatkan ucapan terimakasih dari suster yang terkenal paling irit bicara, jutek, sekaligus paling cantik itu.

Bulu mata lentiknya tercetak sempurna menghiasi iris coklatnya yang berkilauan memantulkan cahaya lampu. Sekali tatapan sayu mampu membuat semua pria tunduk padanya. Sang pemagang pria itu juga berencana akan mengincarnya kalau saja tidak melihat kilauan cincin emas yang melingkar di jari kelingkingnya.

Namun perkataan simpang siur yang ia dengar dari suster penjaga lobi membuatnya sedikit memberanikan diri. Sayup-sayup ia mendengar mereka membicarakan Sania, suster cantik itu, memasang cincin emas di jarinya untuk menghindari pasien rawat inap yang terus mendesak untuk menikahinya.

Ya, menjadi cantik memang bukan segalanya.

Ia lalu duduk menjejeri dua suster ramah itu sembari curi-curi pandang pada Suster Sania, sesekali menyauti pembicaraan mereka.

Kalau jaga malam berarti bisa memandang semua gerak-gerik Suster Sania secara langsung sepanjang malam, ia tak masalah berjaga seminggu penuh. Apalagi di malam hari yang lengang ini.

“Ah, syukurlah malam hari ini sepi.”

Pembicaraan seru mengenai dua kandidat presiden terkuat oleh dua suster di sebelahnya mendadak berhenti, demi mendengar kalimat keramat yang terucap dari pemagang tampan ini.

Mereka berdua saling bertatapan, lalu menggerakkan bola mata mereka dengan canggung.

Sang pemagang yang masih belum sadar dengan dampak ucapannya kaget melihat Suster Sania balik memandangnya, kemudian berjalan mendekatinya.

Sedikit demi sedikit irama jantungnya naik seiring jarak antara mereka menyempit dan tatapan tajam Suster Sania yang menggetarkan matanya.

Yang baru saja ia sadari bahwa itu adalah tatapan kemarahan.

“Apa katamu?”

Sikutan sang suster yang mengenai lengannya membuatnya sadar dan mengalihkan bola matanya yang bergetar ke arah manapun selain tatapan kemarahan Suster Sania.

“Itu mantra sakti terlarang yang ampuh meramaikan UGD-“

Sang suster penunggu meja lobi tak sempat menyelesaikan kalimatnya demi melihat pintu otomatis berbahan kaca tembus pandang itu terbuka, menampilkan seseorang yang tergopoh-gopoh menggendong seorang perempuan yang pingsan di punggungnya.

Zalva menatap semua orang berbaju biru muda yang anehnya menatapnya dengan membeku, satu persatu secara bergantian untuk meminta bantuan.

Ia tidak masalah dengan punggungnya yang menggendong gadis pingsan ini sekitar dua menitan; satu menit di tempat kejadian perkara tempatnya pingsan, satu menit lagi menggendongnya dari parkiran menuju UGD.

Suster Sania bergerak mendekati Zalva, diikuti oleh petugas lain yang mulai sadar dari kebekuan mereka.

Sang pemagang yang mendadak merasa bersalah membantu memindahkan korban ke bangsal dengan aman, kemudian berdiri menjauh memberi tempat untuk para senior.

Zalva menyaksikan mata gadis itu yang dibuka dan disinari senter, dicek napasnya yang nampak teratur, juga dicari detak jantungnya di pergelangan tangan, bersamaan dengan sang pemagang yang kebetulan berdiri di samping Zalva melakukan hal yang sama persis dengannya.

Ketika Suster Sania melepas kancing paling atas seragam Sena guna melonggarkan saluran pernapasannya, mereka berdua berbalik bersama, lalu kaget serentak dengan cara yang berbeda begitu melihat suster penjaga meja lobi berdiri tepat di depan mereka.

Ia meminta Zalva mengisi data diri korban yang ia bawa, yang membuat air muka Zalva berubah bingung. Mulutnya yang ingin berkata bahwa mereka tidak saling kenal ia tutup rapat-rapat, lalu menganggukkan kepala dan mengikuti suster menuju meja lobi.

Meninggalkan sang pemagang yang panik mendapati pintu UGD yang kembali terbuka menampilkan orang tua yang dipapah oleh satpam, juga sirine mobil ambulans yang bergaung setelahnya.

Ia menepuk tangannya dengan keras berkali-kali sembari berjalan cepat menuju ambulans di depan.

Zalva menemukan kartu identitas siswa yang tidak asing di dalam resleting depan tas biru muda yang ia gantungkan ke depan tubuhnya. Kartu glossy berbahan PVC berwarna hijau itu sempat sejenak menghentikan napasnya, menyadari gadis itu berada di sekolah yang sama dengannya.

Ia raih bolpoin dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa ia tidak mengenali siswa dari sekolahnya sendiri? Meskipun gadis itu memang tidak memakai seragam yang sama dengan teman-temannya yang lain, foto yang terpampang dalam kartu identitasnya memakai dasi khas motif sekolahnya; garis miring emas di atas warna dasar ungu tua.

Selama ini, Zalva berhasil menyembunyikan identitas malamnya rapat-rapat, tanpa ada teman maupun guru di sekolahnya yang tahu.

Dan ia meyakini; meskipun penuh keraguan, kali ini juga akan begitu.

Gadis itu tidak sekelas dengannya, maka kemungkinan mereka bertemu akan sangat kecil.

Adisa Senapati.

Nama yang ditulisnya juga terdengar asing di otak Zalva yang terkenal dengan ingatan kuatnya; yang ia latih keras untuk misi menyembunyikan dirinya sebagai anggota geng motor. Lebih tepatnya, pimpinan.

Sampai di kolom tinggi dan berat badan, bolpoinnya direm oleh jemarinya. Gadis itu terlihat tinggi. Kalau dikira-kira mungkin sekitar seratus enam puluh lima-an, kurang lebih setinggi telinganya.

Ia putuskan mengosongkan bagian itu untuk diisi oleh kedua orangtuanya yang berkata akan segera datang. Zalva menelepon mereka menggunakan ponsel sang korban dengan mudah tanpa harus kesulitan memikirkan kata sandi yang tepat, karena ponselnya tidak dikunci sama sekali.

Zalva terheran-heran ketika pertama kali menemukannya.

Selagi berbincang dengan suster penjaga lobi, sepasang suami istri paruh baya masuk membawa tas carrier dengan terburu-buru. Mereka membuka setiap tirai tertutup dengan kalang kabut dan wajah hampir menangis, kemudian meminta maaf dengan sopan jika orang yang terbaring di bangsal bukan yang mereka cari.

Zalva merasa mereka adalah orangtua yang ditelponnya tadi, melihat dari wajah sang istri yang mirip dengan sang korban dan perawakan tinggi suami.

Sebanyak total sembilan tirai yang mereka buka semuanya zonk. Wajah mereka yang terlihat makin panik ketika membuka tirai kesepuluh, berubah ceria dalam sekejap kala menemukan sang anak terbaring di ranjang.

Zalva menatap reuni kecil mereka dalam diam.

Sang ayah kemudian berjalan menuju ke arah Zalva dengan pandangan mata tertuju pada suster penjaga.

“Bagaimana keadaan Sena, suster?”

Ah, ternyata panggilannya Sena.

Terjadilah percakapan dua arah yang disimak Zalva dengan penuh khidmat. Dari cara bicara dan raut wajah sang Ayah, Sena pastilah anak yang amat disayang. Sampai pada kalimat yang membuat Zalva membeku saat mendengarnya.

“Sena itu atlit lari di sekolahnya-“

Sepotong kalimat yang cukup menjelaskan mengapa Zalva tidak pernah mendengar namanya maupun bertemu dengannya. Sekaligus memunculkan perasaan iba saat mengingat ucapan Tera tentang pukulan keras di lutut dan punggungnya.

Yang mungkin akan membuat Sena beristirahat dari kegiatan larinya, atau bahkan pensiun selamanya.

Kebekuan pikiran Zalva mencair ketika suami istri itu menyalaminya dan mengucapkan terimakasih seraya membungkukkan badan. Zalva membalasnya dengan canggung; merasa asing dengan kehangatan yang mereka pancarkan.

Ditariknya tangan Zalva mendekati gelaran tikar di bawah bangsal Sena yang berisi berbagai macam lauk pauk dan buah-buahan. Mereka mendudukkan Zalva sebelum ia sempat menolak.

Pembicaraan kecil mengenai kehidupan sehari-hari mengalir begitu saja. Zalva yang awalnya canggung perlahan-lahan mulai menunjukkan senyumnya, ikut membalas mereka dengan kalimat-kalimat panjang.

Zalva tidak tahu pembicaraan dengan orang tua bisa seasyik ini; membicarakan mata pelajaran paling menyenangkan, guru tergalak di sekolahnya, juga cerita menyeramkan tentang ruangan sekolah yang bahkan tidak pernah Zalva bicarakan dengan teman sebayanya.

Selama ini, percakapan paling panjang antara Zalva dan ibunya adalah mengenai kenaikan peringkatnya. Topik obrolannya tidak jauh dari pelajaran, nilai, dan peringkat.

Zalva baru tahu pembicaraan dengan ibunya begitu membosankan, sesudah merasakan pembicaraan acak yang ternyata jauh lebih menyenangkan.

Membuatnya mendadak merindukan sang ibu.

Zalva kemudian pamit pulang, dengan keinginan kuat hendak membicarakan peristiwa acak semacam ini bersama ibunya. Sepanjang jalan ia memikirkan reaksi ibunya yang mungkin akan sama dengannya; tersenyum canggung dan mengangguk kaku, sedikit demi sedikit mampu mengikuti jalannya komunikasi seiring mengalirnya obrolan.

Begitu membuka pintu, Zalva tersenyum senang melihat sang ibu yang duduk di meja makan, menunggunya pulang.

Ia berjalan cepat hendak mengeluarkan kalimat yang sudah bersiap di ujung lidahnya.

Akan tetapi, kalimat yang berada di ujung lidah sang ibu mendesak keluar lebih cepat.

Kalimat panjang yang dinginnya mampu membentuk stalaktit dan menghujani tubuh Zalva dengan keras.

Percakapan membosankan yang membuktikan kesalahan Zalva yang meyakini bisa mengubahnya.

Percakapan pahit tentang nilai matematikanya yang hanya sembilan puluh dua.

Terpopuler

Comments

Yusuo Yusup

Yusuo Yusup

Makin ketagihan.

2023-07-13

0

Desi Oktafiani

Desi Oktafiani

Buat merenungkan hidup.

2023-07-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!