"Haura, bangun sayang. Udah jam tujuh loh ini, nanti kamu terlambat." Ucap Silvi yang sedang membuka gorden jendela kamar Haura.
Haura yang mendengar itu pun langsung bangun. "Mama kok gak bangunin aku dari tadi sih. Ini udah mau telat tau."
"Kamu udah mama bangunin dari tadi, kamu aja yang kebo."
Langsung saja Haura bangkit dan berlari ke kamar mandi. Kata yang awalnya satu karena mengantuk langsung segar seketika.
Silvi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. Padahal Silvi hanya mengerjai anaknya. Silvi cekikikan dan keluar dari kamar anaknya.
Haura sudah selesai berpakaian. Penampilannya terlihat berantakan karena mengejar waktu. Saat melewati samping tempat tidur ia melihat jam weker yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Mama ngerjain gue ternyata," gumamnya. Ia berlari menuruni tangga.
"Mama."
"Apa sih, Dek? Masih pagi udah kaya orang utan aja lu."
"Ih mama kenapa bohong? Liat karena aku buru-buru jadi acak-acakan nih seragamnya," Haura memberengut. Ia pun duduk di meja makan dan mulai sarapan.
"Makanya lo kalo dibangunin jangan kebo." Ucap Jean kepada sang adik.
"Kalo aja elo gak ganggu kemaren, gue juga gak bakalan begadang," protes Haura kepada kakaknya karena menurut Haura ini adalah salah Jean.
Axel Jovan Lionard, papa dari kedua anak itu dari tadi hanya menyimak pertengkaran anak-anaknya. Baginya ini sudah biasa, kalau tidak si bungsu yang berulah, berarti si sulung yang buat masalah.
Axel berdehem. "Sudah, jangan berisik. Habiskan dulu sarapan kalian."
Jika sudah sang papa yang berkata, maka mereka berdua tidak bisa lagi membantah. Silvi tersenyum geli melihat kedua anaknya. Dua anak ini hanya akan berhenti bicara ketika papanya yang menegurnya.
Tin!
Tin!
Merasa terusik, Haura berdecak sebal. "Siapa sih pagi-pagi nyalain klakson di depan rumah orang?"
"Siapa lagi kalau bukan tetangga," balas Jean santai.
"Jio udah jemput itu. Gih, samperin anaknya." Ucap Silvi.
Setelah berpamitan kepada orang tuanya, Haura berjalan ke luar rumah.
"Lama amat, Neng."
"Klakson lo berisik banget."
"Oh, itu. Ini emang sengaja biar lo denger."
Haura memasang wajah tak terima. "Lo pikir gue tuli, hah?"
"Gue mikirnya lo belum bangun. Biasanya lo kan kebo."
Haura semakin memberengut. Sontak Jio meloloskan tawanya yang dari tadi sudah ditahan.
Sedangkan Haura kesal karena mamanya, abangnya, bahkan Jio mengatainya kebo. Padahal Haura yakin bahwa ia tak sesusah itu untuk dibangunkan.
'Mereka aja yang lebay.' ucap Haura dalam hati.
* * *
Jam pelajaran pertama sudah selesai. Banyak siswa yang berdesak-desakan ingin segera ke kantin. Haura dan Ela juga tak ingin ketinggalan, mereka bahkan sudah mengantri di kantin karena perut yang berbunyi minta diisi.
Begitu pesanannya sudah jadi, mereka mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Itu meja yang paling ujung kosong. Duduk sana aja, yuk."
"Okay."
Haura membuang napas lega. Akhirnya ia tak perlu lagi berdesak-desakan seperti tadi.
"Ra, pr dari Bu Fitri udah lo kerjain belum?" Tanya Ela sebelum menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.
"Udah lah. Gue kan anak rajin," balas Haura menyombongkan diri.
"Halah, gitu aja lo banggain. Contoh nih gue, setiap pelajaran seni selalu dapet nilai tinggi." Ela pun ikut-ikutan menyombongkan dirinya.
"Iya deh maniak seni, gue mah remahan rengginang bisa apa?"
Ela tertawa, "sialan lo!"
"Eh, btw tumben lo udah ngerjain tugas dari Bu Fitri. Biasanya kan elo paling males sama itu pelajaran." Lanjut Ela yang penasaran.
Haura mendengus kasar. "Lo kaya baru kenal gue sehari aja. Pasti lo tau lah kenapa gue selesai duluan."
"Oh gue tau, pasti episode drakor lu udah numpuk 'kan?" Tebak Ela tepat sasaran.
"Yes, bener banget. Udah gitu gue digangguin lagi sama duo biang rusuh itu."
"Terima nasib aja, Ra. Mereka kan demen banget bikin lo naik darah."
"Capek gue ngadepin kelakuan dua makhluk astral itu. Kek tiap hari ada aja tingkahnya," keluh Haura yang sudah lelah dengan kelakuan kakak dan tetangganya itu.
Ela menanggapinya dengan tertawa.
Sedang asik-asiknya bercerita, mereka berdua tidak menyadari kehadiran Larissa dkk.
Larissa menggebrak meja. Haura dan Ela kaget, mereka menoleh untuk melihat siapa orang yang mengganggu. Setelah melihat Larissa, Haura berdecak sebal.
"Lo!" Tunjuknya kepada Haura. "Udah berapa kali gue bilang sama lo buat jauhin Jio, hah!"
"Dan udah berapa kali juga gue bilang sama lo kalo Jio itu tetangga gue?" Jawab Haura dengan malas.
"Tetangga tapi tiap hari kok pulang pergi bareng," sahut Rina, salah satu teman Larissa yang menambah bumbu suasana.
"Masalahnya buat lo apa?"
"Bener, mau tiap hari kek ya terserah mereka. Kok ngurusin orang banget." Ucap Ela.
"Mending lo diem. Kita gak punya urusan sama lo," ujar teman Larissa satu lagi, Indah namanya.
Ela yang hendak menjawab dihentikan oleh Haura.
"Udah deh, La. Orang kaya gini emang susah dibilangin, cabut aja kuy!"
"Ayo."
Larissa mencekal pergelangan tangan Haura. "Gue belum selesai ngomong sama lo."
"Gue yang gak mau ngomong sama lo."
Larissa menggeram, "lo beneran nyari mati berani nantangin gue!"
Haura memberikan sorot malas. "Lo dari dulu selalu nyari gara-gara sama gue. Gak tau apa hubungannya Jio sama gue, selalu aja lo ngehalangin semua jalan gue. Sebenernya di sini lo yang nyari mati."
"Sialan." Larissa menampar pipi Haura. Hal itu membuat terkejut semua penghuni kantin.
Larissa dan kedua temannya memang dikenal dengan ratu bullying. Tapi dari dulu beberapa orang sadar, Larissa memang menaruh kebencian yang dalam kepada Haura, entah apa sebabnya.
Sedari tadi Jio menyaksikan semuanya. Ia duduk tak jauh dari tempat kejadian. Namun, ia tertutupi beberapa siswa sehingga tidak terlihat dari meja yang ditempati Haura.
Melihat Haura ditampar, Jio langsung bangkit dan menghampiri Haura.
"Ra, lo gak pa-pa?" Tanya Jio.
"Menurut lo kalo pipi gue ditampar gue baik-baik aja?"
Jio mengelus pipi Haura yang terkena tamparan. "Lo mau gue bales mereka kaya apa?"
Haura menepis tangan Jio, "gak usah."
Kali ini Haura menatap Larissa tajam. "Dari kelas sepuluh lo selalu ganggu gue cuma karena gue deket sama Jio. Kalo emang lo sesuka itu sama dia, perjuangin. Pake akal yang sehat buat dapet perhatiannya. Lo kira Jio bakal suka sama cewek trouble kaya lo?" Cewek itu berdecih, "gue harap ini terakhir kali lo ganggu gue."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Haura pergi bersama Ela.
Kini giliran Jio yang menatap Larissa. Ia menyorot dengan tatapan yang ... merendahkan mungkin?
"Jio," lirih Larissa. Jantungnya berdetak kencang. Ia selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Jio.
"Lo denger 'kan apa yang dibilang Haura?"
Jio mendekatkan wajahnya ke telinga Larissa. "Gue gak suka sama cewek pembuat onar," bisiknya.
Jio kembali menjauhkan wajahnya dan tersenyum lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments