Bab 3 Dibilang Tidak Berguna

Jio menyusul Haura yang kembali ke kelas. Terlihat Haura yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja.

"Woy, Ra!"

"Hm."

Jio menaikkan sebelah alisnya. "Lo nangis?"

"Gak," jawab Haura tak acuh.

"Terus kenapa gak mau nunjukin muka lo?"

"Males aja."

"Jangan nangis dong, Ra."

Haura mengangkat kepalanya, "gue gak nangis, Jio Jelek." Ucap Haura ngegas.

"Dih sensi amat jadi cewek." Jio duduk di samping Haura. "Pipi lo sakit banget pasti ya? Tuh cabe gak kira-kira nampar lo."

"Au ah. Padahal gue ngantuk banget dari tadi, sekali ditampar langsung seger mata gue."

Jio berbinar-binar, "apa perlu gue tambahin lagi biar lo gak ngantuk terus?"

Haura menatap Jio seperti siap menelannya hidup-hidup.

"Bangsat!"

* * *

Jio memasukkan motornya ke garasi. Ia baru saja pulang sekolah. Atensi cowok itu teralihkan saat melihat mobil hitam yang terparkir di garasi juga. Jio menghela napas.

'Dia udah pulang,' batin Jio.

Jio memantapkan langkahnya memasuki rumah. Saat masuk keadaan di dalam sangat hening. Jio bahkan bisa mendengar suara langkah kakinya sendiri.

"Baru pulang?"

Jio terkesiap. Ia menoleh, dapat dilihat seorang pria paruh baya duduk di sofa sambil membaca koran.

"Hm."

"Bukannya belajar yang bener, kamu malah keluyuran gak jelas. Pasti basket lagi kan?" Tebak Denis Dirgantara, papi Jio.

Tepat sasaran. Seharusnya Jio sudah pulang dua jam yang lalu. Tapi cowok itu memilih untuk main basket karena itu hobinya.

"Papi udah cek nilai kamu. Harus berapa kali papi bilang untuk gak main-main lagi?" Denis meletakkan koran. Lalu melanjutkan, "kamu itu satu-satunya penerus Dirgantara Group, harusnya kamu belajar lebih rajin, bukan malah main basket!"

Selalu seperti ini. Setiap kali papinya pulang, bukan sambutan hangat atau pun ungkapan kerinduan. Yang Jio dapatkan hanyalah kemurkaan sang ayah.

Jio mengepalkan tangannya. Ia mati-matian meredam amarahnya.

"Jio bakal usahain lagi buat dapet nilai tinggi." Ucapnya pelan.

"Kamu udah kelas dua belas, sebentar lagi ujian. Selalu kamu janji buat dapet nilai tinggi, tapi mana? Gak ada. Mulai sekarang jangan berani-beraninya main basket lagi." Itu adalah perintah mutlak.

Jio jelas saja tidak terima. Apa-apaan papinya ini, pikir Jio.

"Papi gak bisa gitu. Aku selama ini selalu berusaha buat nurutin kemauan papi. Papi nyuruh ikut les, oke. Papi nyuruh aku berhenti ikut band, aku gak masalah. Papi bilang aku harus ikut olimpiade, udah diturutin. Apapun bakal aku turutin asal jangan berhenti basket, Pi." Jio berkata dengan putus asa. Cowok itu sangat menyukai basket.

Padahal selama ini Jio selalu jadi penurut. Apapun yang papi inginkan selalu Jio lakukan. Bahkan untuk kesukaannya, ia relakan agar sang ayah tidak kecewa. Tapi jangan basket, Jio benar-benar tidak bisa.

"Papi yang paling tau untuk kebaikan kamu. Turuti saja perintah papi." Setelah mengatakan itu, Denis beranjak dari tempat duduknya.

"Selama ini aku dapet juara apa gak cukup? Nilai yang gimana yang papi mau?"

Denis tak jadi menaiki tangga saat mendengar ucapan anaknya. Ia marah mendengarnya.

"Kamu bangga sama nilaimu itu, hah? Cuma juara dua selama empat semester berturut-turut dan kamu bangga? Dua tahun kamu bahkan gak bisa sekalipun menggeser posisi juara satu."

"Kamu itu ... kalau tidak berguna setidaknya turuti setiap perintah papi, karena nama kamu Dirgantara!" Denis pergi, meninggalkan Jio dan harapannya yang hampir pudar.

Jio merosot. Marah, kecewa, lelah bercampur menjadi satu. Selama ini walau sudah banyak hal yang ia korbankan, ternyata tak ada artinya dimana papinya. Bagaimana prosesnya, seberapa besar usahanya, ternyata papinya tak membutuhkan itu.

Jio menjambak rambutnya sendiri. Dibilang tidak berguna oleh ayah kandung sendiri, entah mengapa rasanya lebih menyakitkan dibanding saat ia direndahkan kakeknya sendiri.

Jio mendengar bunyi bel. Cowok itu menyorot ke arah pintu. Siapa orang yang berani mengganggu waktunya saat sedang begini.

Dia bangkit dan membukakan pintu. Jio menatap tamunya, ternyata Haura. Haura berdiri di hadapannya dengan tangan yang menenteng paper bag. Cewek itu tersenyum dengan riang.

Seketika perkataan papinya terngiang di kepalanya.

"Kamu bangga sama nilaimu itu, hah? Cuma juara dua selama empat semester berturut-turut dan kamu bangga? Dua tahun kamu bahkan gak bisa sekalipun menggeser posisi juara satu."

Selama dua tahun, empat kali pengumuman juara umum, tak pernah sekalipun Jio mendapat peringkat satu. Karena Jio tahu, sekalipun ia tak mampu menggeser posisi Haura ... dari peringkat satu.

"Oy," Haura melambaikan tangan di depan wajah Jio.

Jio yang tanpa sadar melamun terkaget.

"Napa bengong lo? Kesambet baru tau."

Hening.

Merasa tak ada tanggapan dari lawan bicaranya, Haura mulai parno.

"Apa jangan-jangan si Jio kesambet beneran ya? Mana matanya merah lagi, penampilannya juga acak-acakan." Haura bergumam yang masih dapat di dengar Jio. Haura bergidik ngeri, ia merinding.

Buru-buru cewek itu memberikan paper bag yang ia bawa kepada Jio. "Cookies buatan mama, bye."

Setelah mengatakan itu, Haura lari terbirit-birit sambil berteriak, "Jean, temen main PS lo kesurupan. Tolongin gue!"

Jio tertawa. Ia merasa geli dengan tingkah Haura yang penakut itu.

Cowok itu menunduk, menatap paper bag yang ada di tangannya. Ia tersenyum kecil.

Lucu.

Haura selalu murni dengan tingkah lakunya. Tidak ada yang ditutup-tutupi, semua apa adanya. Ia akan mengatakan sakit jika merasa sakit. Ia akan tertawa ketika ia bahagia. Cewek itu juga akan menangis sesenggukan saat pemeran utama pria selingkuh dengan sahabat pemeran utama wanita.

Jio ingin seperti Haura. Bisa mengekspresikan perasaannya dengan jelas. Tidak ada yang harus disembunyikan. Jio juga lelah harus pura-pura suka pada hal yang jelas tidak disukainya.

Karenanya, Jio senang saat ia berhasil menjahili Haura. Jio suka melihat beragam ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.

* * *

"Lo kenapa dah lari-lari gitu? Kaya abis liat setan aja." Jean sedang mencuci motor kesayangannya. Walaupun orang kaya, tapi ia tak mau membiarkan sembarang orang menyentuh motor kesayangannya.

Haura ngos-ngosan. Ia menumpu tangannya di lutut. "Emang gue abis liat setan," jawabnya dengan napas yang putus-putus.

"Halah boong lu."

"Serius gue, si Jio tuh. Gue ajak ngomong diem aja, mana pandangannya kosong gitu. Belum lagi matanya merah, penampilannya juga acak-acakan. Serem ih." Haura bergidik, ia benar-benar tak ingin membayangkannya.

"Lo kali yang nyeremin, makanya si Jio diem aja saking kagetnya dia liat lo," ejek Jean kepada adiknya.

"Terserah lo deh. Kalo gak percaya datengin aja orangnya. Gue mau mandi." Setelah mengatakan itu, Haura berjalan menuju pintu masuk. Belum sampai pintu, Haura menjerit karena disiram oleh Jean menggunakan selang cuci motor.

Jean terbahak. "Itu udah gue mandiin lu."

Haura menutup matanya, ia menghirup napas dalam-dalam. Lalu ....

"JEAN KAMBING!"

Terpopuler

Comments

Silvi Aulia

Silvi Aulia

kasian banget jio nya 😭

2023-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!