3 : Kabur

Warning : violence, mention of blood!!!

...{Bad X Crazy}...

Jovan sampai di rumahnya sekitar pukul setengah 2 pagi. Ia memarkirkan motornya di halaman depan, lalu membuka pintu rumah perlahan-lahan dan berusaha untuk berjalan masuk tanpa suara.

'Semoga semua orang udah pada tidur,' doa Jovan di dalam hati.

Ia terus berjalan mengendap-endap menuju tangga. Tapi, tiba-tiba saja...

Buagh!!

Prangg!!

"Aaaaaa!!!"

Tapi sayang sekali, keberuntungan tidak berpihak kepada Jovan, Tuhan sedang tidak berkenan untuk mengabulkan doanya. Karena tiba-tiba saja, dahi sebelah kanannya dihantam oleh sebuah pot bunga yang menyebabkan pot itu jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

Tubuh Jovan pun ambruk, ia terduduk di lantai sambil memegangi kepalanya yang terasa perih, nyeri, dan pusing.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriak sang ibu histeris.

Ibunda Jovan yang bernama Rena itu langsung bersimpuh dan memeluk anaknya yang sedang kesakitan.

"Astaga! Jovan, kepala kamu berdarah, Nak," panik Rena sambil menangis.

"Ugh! Jovan gak apa-apa, Ma," kata Jovan semata-mata untuk menenangkan ibunya.

"Dari mana saja kamu, hah?!"

Suara teriakan berat pria pelaku pelemparan pot bunga itu terdengar menggelegar di seluruh isi rumah.

"Dasar anak gak tau diuntung! Setiap hari kerjaan kamu kelayapan terus! Pasti kamu baru aja ikutan balap liar gak jelas itu lagi, kan?!" bentak pria yang tak lain adalah Galang, ayahnya Jovan.

Jovan yang sudah kesakitan akibat kepalanya yang berdarah, ditambah ayahnya yang terus menerus berteriak membuat telinganya sakit pun tersulut emosi. Ia langsung berdiri menghadap ayahnya dan menatap pria tua itu dengan tatapan nyalang.

"Papa bisa gak sih sehari aja gak usah marah-marah?!" teriak Jovan.

"Dan kamu bisa gak sih sehari aja gak bikin papa kecewa?!" balas Galang dengan suara yang tak kalah keras.

Jovan mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Kenapa ayahnya itu tidak mengerti kalau penyebab ia melakukan kenakalan-kenakalan itu karena ayahnya sendiri yang selalu bersikap kasar kepadanya.

"Papa bener-bener jahat," geram Jovan, "Papa macam apa yang ngelempar kepala anaknya pake pot kayak gini?!

Galang semakin emosi mendengarnya, "kurang ajar kamu! Anak gak tau diri!"

Bugh!!

Galang meninju wajah Jovan hingga lelaki muda itu terhuyung ke belakang. Rena langsung bangkit dan memegangi tubuh putranya.

"Udah, cukup! Jangan pukul anak kita lagi!" teriak Rena dengan isak tangis yang semakin kencang.

"Ini semua gara-gara kamu yang manjain anak kamu terus!" bentak Galang kepada Rena, "bukannya belajar buat nerusin bisnis keluarga, malah jadi berandalan gak berguna!"

Rahang Jovan mengeras mendengar hinaan dari ayahnya. Setiap hari selalu seperti ini, Galang tidak pernah memperlakukan dirinya sebgai seorang anak. Tidak pernah sekalipun ayahnya itu merasa bangga kepadanya.

Jovan langsung meraih kunci motornya yang tedi terjatuh di lantai, lalu berjalan dengan tergesa menuju pintu rumah.

"Mau kemana lagi kamu, Jovan?!" bentak Galang.

Rena berusaha menarik tangan anaknya, "kamu mau kemana, Jovan?"

"Aku mau pergi ke rumah Lexi, Ma," ucap Jovan kepada ibunya.

"Cih, malam-malam ke rumah temen cewekmu itu, mau ngapain?! Dia udah bawa banyak pengaruh buruk ke kamu, pasti dia juga udah ngasih tubuhnya buat kamu," ucap Galang.

"Papa jangan ngomong sembarangan ya!" teriak Jovan tidak terima, "aku udah berusaha sabar ngadepin papa, tapi aku gak akan diem aja kalau papa ngehina sahabat aku."

Setelah itu, Jovan kembali melangkahkan kakinya menuju pintu.

"Jovan! Papa belum selesai ngomong! Jovan!" teriak Galang yang tidak digubris oleh Jovan.

"Jovan, setidaknya obati lukamu dulu, Nak," ucap Rena.

Jovan sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Ia membuka pintu rumah dengan kasar dan membantingnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Galang sudah akan mengejar anaknya dan ingin menghajarnya lagi, tapi Rena memohon-mohon kepada suaminya agar melepaskan anaknya untuk saat ini.

Jovan mengendarai motornya menuju rumah Lexi dengan kecepatan tinggi. Pelan tapi pasti, air matanya menetes begitu saja. Ia sakit hati dengan perlakuan ayahnya. Selama ini, ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya itu. Sejak kecil, ayahnya selalu melakukan kekerasan kepada dirinya dan ibunya. Ia tidak paham kenapa ibunya masih bertahan dengan perilaku ayahnya yang sangat keterlaluan. Rena memiliki hati yang sangat lembut, sehingga wanita itu hanya diam saja walaupun selalu ditindas oleh suaminya sendiri.

Hanya butuh waktu 10 menit saja, Jovan sudah sampai di rumah Lexi. Satpam yang berjaga di rumah gadis itu langsung membukakan gerbang untuk Jovan. Satpam dan para pembantu di rumah Lexi sudah mengenal Jovan dengan baik, Lexi sendiri yang memerintahkan mereka untuk memperlakukan Jovan seperti pemilik rumah ini juga.

Lexi yang kebetulan belum tidur dan baru saja mengambil air minum di dapur terkejut saat melihat Jovan yang memasuki rumahnya dalam keadaan kepala berdarah.

"Astaga! Jovan!" teriak Lexi histeris sambil menghampiri Jovan, "lo kenapa, Jo?! jatuh dari motor?!"

Jovan menggeleng pelan, "bukan, Lex. Papa gue..."

Lexi terdiam dan menatap miris Jovan. Ia tahu bahwa ayah Jovan itu suka sekali melakukan KDRT, tapi ia tidak menyangka kalau pria tua itu tega melakukan hal sejauh ini.

"Sini, gue obatin dulu luka lo," ajak Lexi.

Gadis itu menarik pelan tangan Jovan agar duduk di sofa ruang tamu. Lalu, ia berlari kecil ke kamar mandi untuk mengambil kotak obat yang memang ia simpan di sana. Tak lama kemudian, Lexi kembali menghampiri Jovan dengan kotak obat dan handuk kecil di tangannya.

Ia mulai membersihkan darah di kepala Jovan menggunakan handuk yang ia bawa. Lexi meringis melihat luka Jovan yang mengeluarkan banyak darah.

"Ini harus dijahit gak sih, Jo?" kata Lexi.

Jovan terkekeh pelan, "cuma luka kecil kayak gitu, ngapain harus dijahit sih? Udah lah, lo obatin aja, ntar juga sembuh sendiri."

"Tapi nanti lukanya bisa infeksi, Jo. Abis ini gue antar ke rumah sakit, ya?" ajak Lexi dengan suara cemas.

"Gak apa-apa, Lex. Lo tutup aja lukanya udah cukup kok. Udah gue cek tadi, lukanya gak terlalu lebar, cuma emang banyak darah yang keluar aja," jelas Jovan berusaha menenangkan Lexi.

Lexi hanya diam menuruti ucapan Jovan. Setelah ia amati, memang luka itu tidak robek terlalu parah dan tidak memerlukan jahitan. Ia pun melanjutkan untuk mengobati luka di kepala Jovan.

"Lo diapain sih sebenarnya, kok bisa sampai kayak gini?" tanya Lexi.

Jovan mengedikkan bahunya, "itu orang emang gak jelas banget tau gak, gue baru pulang, main ngelempar pot aja."

Lexi membelalakkan matanya terkejut, "kepala lo dilempar pot?! Papa lo tuh beneran gila, Jo! Sumpah, benci banget gue sama dia. Kirim aja dia ke rumah sakit jiwa!"

Jovan tertawa kecil, "heh! Seenaknya aja mau ngirim dia ke rumah sakit jiwa. Gila-gila gitu, dia tetep papa gue."

Lexi mendengus kesal, "dia gak pantes buat jadi papa lo."

Jovan hanya diam dan tersenyum masam. Benar kata Lexi, ayahnya itu memang tidak pantas untuk menjadi seorang ayah jika selalu menyakiti anaknya. Tapi bagaimanapun juga, Jovan tetap berusaha menghormatu pria itu sebagai ayahnya. Itu yang selalu diminta oleh ibunya.

"Dah beres!" seru Lexi sambil merapikan kotak obatnya.

"Semoga lukanya cepet sembuh. Fyuh~ Fyuh~" gumam Lexi, lalu meniup luka di kepala Jovan yang sudah ia perban.

Jovan tertawa gemas, "bisa aja sih lo, Lex. Niupin luka gue udah kayak anak kecil aja."

Lexi hanya tersenyum, "udah ah, gue mau tidur. Baju lo ada di kamar, kan? Cepet ganti baju dulu, abis itu lo juga tidur."

"Siap, Bos!" seru Jovan sambil berpose hormat.

Kemudian, mereka berdua pun berjalan menuju lift untuk naik ke kamar Lexi yang berada di lantai 4 rumah tersebut. Kalau kalian mengira mereka akan tidur bersama, maka jawabannya adalah TIDAK. Mereka tidak pernah sekalipun tidur bersama. Jovan memiliki kamar sendiri di rumah Lexi yang berada tepat di samping kamar gadis itu. Hal ini karena Jovan memang sering kabur dari amukan ayahnya dan berakhir tidur di rumah Lexi.

Lexi pun tidak keberatan untuk menjadikan salah satu kamar di rumahnya sebagai kamar pribadi Jovan. Lagipula, di rumah sebesar ini, ia hanya tinggal sendiri. Para pembantunya tinggal di rumah kecil yang berada terpisah di belakang rumah utama. Sayang sekali jika ada banyak kamar kosong.

...----------------...

Kenalan sama papa dan mamanya Jovan yukk...

Galang Arya Priyanto

45 tahun

Ayah kandung Jovan. CEO GA Group, perusahaan yang bergerak di bidang otomotif. Orang kaya, sebelas-dua belas lah sama keluarganya Lexi. Di hadapan publik, Galang tampak seperti pria yang bijaksana dan berwibawa. Tapi beda lagi kalau udah di rumah.

Kekurangannya adalah dia terlalu serakah, gila kerja, gak pernah merasa cukup sama apa yang dia punya. Dia juga suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Anak tunggalnya, yaitu Jovan, selalu menjadi korban amukannya. Dia juga toxic sama istrinya. Suka mukul istrinya, tapi abis itu dirayu-rayu lagi supaya luluh.

Rena Sekar Galuh Priyanto

42 tahun

Ibu kandung Jovan. Ibu rumah tangga yang selalu berbakti kepada suami, tapi gak pernah dihargai sama suaminya. Orangnya lemah lembut, gak pernah marah, paling cuma teriak-teriak pas Galang mulai ngamuk. Sering nangis kalau lihat anaknya dihajar sama suaminya. Gak mau cerai sama suaminya karena khawatir dengan masa depan Jovan, padahal mereka berdua sudah sangat tersiksa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!