"Aslan?"
"Ya ini gue, Aslan. Lo anak IPS 1 'kan?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk ragu. Bukan karena apa, aku hanya tak menyangka ia bisa ingat dan mengenaliku.
"Lo ngapain di halte malam-malam begini? Lo diusir dari rumah?" tanyanya seakan mengejekku saat ia melirik barang yang ada di sisiku. Apalagi aku masih mengenakan seragam sekolah yang tak sempat untuk ku ganti.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Sepertinya percuma cerita pada cowok yang terlihat angkuh ini.
"Ck." Dia berdecak dan menstandartkan motornya, lalu turun dan duduk bersisian denganku dibangku halte. "Lo bisa cerita sama gue," ucapnya saat sudah mendudukan tubuhnya disamping tasku yang berisi pakaian.
Aku bergeming, berfikir apakah aku harus menceritakan semua masalahku pada cowok ini? Apakah dia bisa membantuku keluar dari masalahku?
"Ya udah kalau lo gak mau cerita." Aslan berdiri dan hendak melangkah meninggalkanku.
"Kamu bisa bantu aku?" tanyaku sebelum ia pergi menjauh.
Setelah mendengar permintaan ku, cowok itu kembali mendudukan tubuhnya. "Gimana gue bisa bantu lo? Lo aja gak cerita masalah lo," Ucapnya sambil bersedekap dada.
Ya, aku memang harus menceritakan masalahku bila ingin mendapat bantuan cowok ini. Dan aku melakukan itu, menceritakan tentang masalah beasiswaku yang dicabut pihak sekolah, dipecat tanpa diberi gaji dari tempat kerja, ibu yang sudah meninggal dan yang terakhir aku terusir dari rumah karena ulah paman dan bibi.
"Gue bisa bantu lo, tapi itu gak geratis." Ucapnya sambil memutar- mutar kunci motor dijari telunjuknya.
Ya, aku paham perkataannya. Segala sesuatu pasti ada yang membutuhkan sebuah imbalan bukan? "Kamu mau minta imbalan apa?" tanyaku dengan polosnya.
"Gue akan biayain hidup lo dan sekolah lo, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Asal lo---" ucapannya terkesan, sehingga membuatku sungguh penasaran.
"Asal?" aku menanti kelanjutan kalimatnya.
"Asal lo mau jadi teman tidur gue kapanpun gue mau dan gue butuhin," ucapnya tanpa rasa beban.
"A- a- pa? Te- teman tidur?" tanyaku dengan terbata. Aku sungguh tak menyangka akan mendapatkan persyaratan itu.
"Iya. Cukup jadi teman tidur gue dan jadi partner gue diranjang. Selama apa lo jadi partner ranjang gue, sepanjang itu juga gue akan biayai kebutuhan hidup lo, tanpa harus lo susah-susah buat kerja banting tulang yang belum tentu tenaga lo benar-benar dihargai orang lain,"
"Kamu sadar dengan apa yang kamu omongin itu?" tanyaku masih tak percaya dengan perkataan cowok bermata tajam ini.
"Ya. Sadar seratus persen malahan,"
Nafasku mulai memburu, tak secara langsung ia sudah menginjak harga diriku. Ingin rasanya aku memaki cowok ini. "Kamu anggap aku perempuan murahan?" sentakku.
Ku lihat dia hanya mengedipkan bahunya, seakan tak perduli dengan kemarahan ku. "Itu terserah lo, mau terima persyaratan dari gue atau enggak?"
"Kamu gak niat bantu aku. Kalau kamu niat bantu aku, kamu bisa kasih aku kerajaan 'kan?" aku berusaha bernegosiasi padanya.
"Sayangnya gue bukan agensi ketenaga kerjaan," Aslan mengedikan kedua bahunya. "Ck, harus lo ingat sebentar lagi ujian akhir, lo rela berhenti sekolah gitu aja? Satu lagi, ini hampir tengah malam, dan lo masih diluar kayak gini. Lo gak takut kalau ada orang jahat beniat buruk ke lo? Dan gue yakin lo lagi nahan lapar 'kan?"
Aslan berdiri hendak berlalu, "Gue balik. Hati-hati lo disini." Aslan menghampiri motornya dan bersiap meninggalkanku sendiri disini yang sedang dalam kekalutan.
"Aku setuju sama syarat kamu," ucapku cepat sambil memejamkan mata. Aku tahu ini keputusan yang salah. Tapi aku bisa apa dalam keadaan terdesak seperti ini? Sekolah terancam putus, tidak punya tempat tinggal hingga terancam kelaparan. Maafkan Anisa, Bu.
"Buruan naik," titah Aslan padaku.
Dengan langkah yang ragu, aku melangkah dan meletakan tas berisikan pakaian dijok penumpang yang cukup tinggi.
"Lo mau duduk diatas tuh tas?" tanya Aslan.
"Kan gak mungkin aku tinggal?" sahutku.
Aslan menarik tas pakaianku dan menjinjingnya. "Naik," titahnya. Tanpa membantah, aku langsung melaksanakan perintahnya. "Lo pangku nih. Bisa nabrak kita kalau gue nyetir sambil bawa tas lo,"
Kami menyusuri jalanan yang cukup sepi, karena memang saat ini hampir menuju tengah malam. Hingga Aslan membelokan motornya kearah bangunan lumayan tinggi yang ku yakini ini adalah sebuah apartemen.
Aku melangkah dengan terseok-seok berusaha mengimbangi langkah kakinya yang panjang. Aku bisa bernafas dengan lega saat Aslan berhenti didepan sebuah pintu dan menekan tombolnya beberapa digit.
"Masuk dan istirahatlah. Besok kita lanjut tentang pembahasan kesepakatan kita," setelah berucap seperti itu, Aslan pergi meninggalkanku kekamarnya.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Meski tak terlalu luas, nyatanya tempat ini cukup rapi untuk seorang laki-laki yang menempatinya.
Aku bergegas mengambil baju dalam tas dan langsung membersihkan diri agar bisa cepat istirahat.
Krruuukkkk krruuukkkk
Perutku berbunyi lagi saat aku sudah merebahkan tubuhku di sofa yang tak bisa menampung panjang tubuhku. "Lapar,"
Aku memberanikan diri membuka kulkas, mencari apakah ada makanan yang tersimpan disana. "Roti? Mudah-mudahan ini bisa mengurangi rasa lapar ku." Aku mengambil beberapa potong dan langsung menyantapnya.
"Lo ngapain?"
Aku terkejut sampai membentur pintu kulkas yang masih terbuka. Aku menelan kasar roti yang masih tersisa dimulutku, saat ku dapati Aslan berdiri dengan tatapan menyelidik padaku. "Ma- maaf, aku memakan rotimu beberapa lembar. Aku lapar," ucapku dengan kepala tertunduk.
"Sekarang sudah selesai?" tanyanya dengan tatapan datarnya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kulihat dia mendekatiku dan membungkukkan badannya dengan wajah yang sejajar dengan wajahku.
Dengan gerakan cepat, Aslan meraup ujung bibirku menggunakan bibirnya. "Sudah sebesar ini, makan saja masih belepotan." Setelah berkata seperti itu, Aslan pergi meninggalkanku yang masih terpaku ditempat.
Apa itu tadi? Aslan menciumku?
"Anisa!" teriak Aslan dari ruang TV.
Aku langsung tersadar dari lamunanku dan segera menghampirinya. "I- iya?"
"Apa kau mau tidur di dapur?" tanyanya dengan menatapku tajam.
"Hah?"
"Masuk kamar dan tidurlah," titah Aslan.
Kamar? Yang mana? Bukankah disini hanya ada satu kamar saja? Ah, mungkin saja Aslan mengalah dan lebih memilih tidur di sofa. Kulangkahkan kakiku menuju kamar yang tadi ditunjuk Aslan untuk dimasuki. Tapi?
"Kamu mau kemana?" tanyaku dengan tak tahu dirinya.
"Tidur." Aslan menunjuk kamar yang ada didepan kami dengan dagunya.
"Dikamar itu?" tanyaku lagi dengan hati-hati.
"Iya. Kenapa? Keberatan?"
Aku gugup seketika. "Bukannya tadi kamu suruh aku tidur dikamar itu? Sekarang kenapa kamu mau tidur disana juga?"
Aslan mendengus kasar membuat nyaliku seketika menciut. Apakah ia marah dan akan mengusirku dari tempat tinggalnya?
"Lo lupa kesepakatan kita di halte tadi?" tanyanya mengingatmu tentang kesepakatan sialan itu.
Aku hanya menggeleng dengan kepala yang tertunduk sebagai jawaban. Aku bukanlah nenek-nenek yang sudah pikun sehingga melupakan pembicaraan kami beberapa jam yang lalu.
Tanpa aba-aba, Aslan menarik ku masuk kedalam kamar dan melemparku keatas ranjangnya yang empuk.
"A- a- Aslan," aku gugup. Apa aku akan kehilangan yang berharga dalam hidupku malam ini juga?
Aslan merangkak naik keatas ranjang dan mengambil posisi telentang di sampingku, lalu ia menarik ku agar mendekat padanya dengan posisi merangkul ku dari samping. "Tidurlah. Malam ini gue masih berbaik hati untuk enggak nyerang lo,"
Aku membeku dalam dekapannya. Ingin tidur pun aku merasa sangat sulit. Ini adalah pertama kalinya aku bisa sein tim ini dengan seorang laki-laki. Sedangkan cowok yang berada di sampingku saat ini sudah mengeluarkan dengkuran halusnya, tanpa memperdulikan ku yang sulit untuk memejamkan mata.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Aminah Adam
kasihan hidupmu niS🥲
2023-07-21
0
cassiopeia ☾
This bastard acts like a devil. Enteng banget mulutnya
2023-07-17
0
Ana_Mar
aslan...sat set muuu ringan banget, ga tahu si nisa gugup setengah matiii tuuu...
2023-07-14
0