Episode 03

Aku memejamkan mata sejenak untuk mencari sedikit ketenangan akibat masalah yang tengah menghampiriku. "Sebentar lagi akan bakal ujian akhir, pasti bakal ada try out yang butuh biaya, belum lagi uang ujian dan uang sekolah yang nilainya fantastis buat orang kecil macam aku. Apa aku sanggup menjalani sisa waktu sekolah selama enam bulan ini? Ya Allah, permudahkan langkahku," gumamku sambil berdoa.

Aku melanjutkan langkahku dan mengikuti pelajaran yang sempat tertunda tadi karena dipanggil kepala sekolah.

*

*

*

"Hei?" Pinkan menepuk pundak ku. "Lo kenapa? Ada masalah? Dari tadi gue perhatiin lo gak fokus," tanyanya menyelidik.

Aku menggeleng dan langsung mengubah mimik wajahku seakan aku baik-baik saja. "Aku gak apa-apa. Lagi kepikiran ibu dirumah aja,"

"Ibu pasti baik-baik aja. Lo 'kan tahu kalau ibu itu wonder woman." Pinkan menarik turunkan alisnya. "Yuk ah, kantin." Pinkan langsung menarik tanganku.

Dengan langkah yang ogah-ogahan aku mengikuti Pinkan untuk mengisi perutnya di kantin.

Kali ini aku tak memiliki selera makan, bahkan aku tak merasa lapar sama sekali saat ini. Entahlah. Memikirkan ibu dirumah ditambah lagi dengan kabar dicabutnya beasiswa yang selama ini kudapat, membuatku benar-benar ingin menangis. Tapi aku berusaha untuk menahannya.

Suasana kantin yang tadinya cukup kondusif, kini berubah menjadi riuh ketika tiga most wanted sekolah ini memasuki area kantin dan duduk disalah satu bangku kosong yang masih tersisa.

"Ck," kulihat Pinkan merotasikan matanya. "Ganteng sih ganteng, apalagi sampai tajir melintir. Tapi sayang gak ada akhlak," sindirnya pada tiga cowok yang sudah duduk dengan anteng.

"Siapa?" tanya ku pura-pura tidak tahu siapa yang sedang Pinkan bahas.

Pinkan menunjuk dengan dagunya, "Noh. Tiga curut yang sok Ok,"

Aku melihat kearah yang ditunjuk Pinkan, ia sih ganteng, tajir lagi. Tapi sayang seperti yang Pinkan katakan, minim akhlak. Siapa sih yang gak kenal tiga cowok tampan tapi berandalan itu? Bahkan banyak cewek-cewek disekolah ini yang antri untuk bisa bersama mereka, apalagi berada didekat Aslan; ketua geng yang Pinkan juluki sebagai geng curut, padahal mereka tak sama sekali memberi nama perkumpulan mereka.

"Lo gak makan?" tanya Pinkan yang melihatku hanya meminum air mineral dalam kemasan botol.

"Enggak. Aku gak lapar." Aku menggelengkan kepalaku. Lain dibibir lain diperut. Nyatanya setelah mengucapkan empat kata itu, tiba-tiba perutku berbunyi khas perut lapar.

Krruuukkkk krruuukkkk...

Duuuuh, nih perut gak bisa diajak kompromi sih? Gerutuku dalam hati. Kulirik Pinkan yang malah mengulum senyumnya seakan sedang mengejekku.

"Ya udah sih pesan aja. Jangan dzolim sama diri sendiri. Perut lo butuh diisi bahan bakar buat mikir pelajaran yang bakal lo serap hari ini,"

Sebenarnya aku ingin memesan makanan. Tapi mengingat keadaan keuanganku yang mulai gawat, aku mengurungkan niatku untuk memesan makanan. Aku bertekad harus bisa lebih hemat lagi agar uangku terkumpul untuk kebutuhan sekolah yang sepenuhnya menjadi tambahan bebanku.

"Udah pesan gih. Gue yang bayar," ucap Pinkan, seakan-akan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Pinkan menyodorkan uang berwarna hijau kepadaku.

Sebenarnya aku ingin menolak, tapi sungguh perut ini tak bisa diajak kompromi.

Krruuukkkk krruuukkkk...

Aku meringis dan menggaruk bagian belakang telingaku. Dan dengan keraguan, aku beranjak dari duduku dan pergi memesan makanan yang kuinginkan.

*

*

*

"Anisa!" seru Ci Meiling; pemilik grosir sembako tempatku bekerja memanggilku.

"Ya Ci?" aku menyudahi kegiatanku membungkus stok minyak goreng curah kedalam plastik berkapasitas satu liter.

"Cepat ambil tisu-tisu yang ada di rak atas dekat kamu itu." Tunjuk Ci Meiling pada bungkusan besar tisu yang ada diatasku.

Tanpa membantah dan menunggu diperintah dua kali, aku menarik kursi pelastik yang lumayan tinggi sebagai pijakanku agar sampai menjangkau rak paling atas.

Haap,

Bungkusan besar itu sudah ku dapatkan. Namun sial mungkin sedang menimpaku, aku terpeleset diujung bangku pelastik yang membuatku limbung dan dwngan refleks menarik tiang rak, tapu sayangnya rak tersebut tidak cukup kuat menjadi peganganku sehingga tak hanya aku yang terjatuh, melainkan rak yang berukuran tinggi itu ikut menimpaku.

Braaak...

Praaanngggg...

"Anisa....! Apa yang kamu lakuin? Astaga! Dagangan saya hancur semua?" pekik Ci Meiling, ia terlihat histeris mendapati keadaan grosirnya menjadi berantakan tanpa berniat menolong ku yang tertimpa rak itu.

"Ada apa, Ci?" tanya pegawai laki-laki yang bekerja digrosir itu juga. "Astaga! Anisa?" Pegawai itu bergegas menolong ku dari tindihan rak yang lumayan berat bagiku.

Bang Puput; pegawai laki-laki itu membantuku berdiri. Tubuhku rasanya sakit sekali dan bahuku juga terasa begitu ngilu.

"Kamu lihat semua ini." Ci Meiling menunjuk-nunjuk barang dagangannya porak poranda dan hancur.

"Maaf, Ci. Saya tidak sengaja menarik raknya. Tadi saya terpeleset di kursi, jadi saya berpegangan pada tiang rak. Tapi raknya malah ikut terjatuh," ucapku sambil meringis menahan sakit si sekujur tubuhku.

"Saya gak mau tahu. Kamu saya pecat! Dan gaji kamu tidak akan saya beri sebagai ganti kerugian yang telah kamu perbuat," ucap Ci Meiling dengan wajah yang benar-benar terlihat marah.

Apa? Dipecat? Uang gajiku...,

Padahal aku sungguh berharap uang hasilku bekerja digrosir Ci Meiling ini bisa membantuku untuk membayar semua kebutuhan sekolahku.

"Sekarang pergi kamu dari sini!" Ci Meiling mengusir dan memecatku denagn cara yang tidak hormat.

"Tapi, Ci?"

"Tidak ada tapi tapi. Pergi kamu!" sentaknya begitu emosi.

Ya Allah, apa ini? Tadi pagi beasiswaku dicabut, dan sekarang pekerjaanku hilang karena ketidak sengajaanku. Darimana aku mencari biaya sekolah ku yang mahal itu? Ditambah lagi ibu saat ini sedang sakit. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak saat ini juga untuk meluapkan ketidak berdayakanku.

"Nis! Nisa?" seseorang pemuda menghampiriku dengan wajah khawatirnya. Dia adalah Bang Joko, tetangga samping rumahku.

"Ada apa, Bang?" tanyaku.

"Ayo cepat pulang Nis. Ibu kamu-

ibu kamu sudah tidak ada, Nis," ucap bang Joko dengan wajah penuh sesal.

Aku tak langsung bereaksi, aku masih mencerna apa yang disampaikan tetanggaku ini. Ibu? Ibuku sudah tidak ada?

"Abang jangan bercanda dong, Bang," aku masih menyangkal kabar yang diberikan bang Joko padaku.

"Nis?" Bang Joko memegang kedua pundakku dan menatapku dengan lekat. "Kita pulang ya? Ibu kamu udah nunggu," ucapnya dengan suara yang pelan.

Aku mulai melangkah dengan gontai dengan tatapan kosong. Aku tidak percaya dengan yang kualami satu harian ini. Apa ini? Kenapa Tuhan tidak berpihak kepadaku?

Sampailah aku didepan rumah dimana aku meninggalkan ibuku sendiri tadi pagi dalam keadaan sakit. Disana sudah berkumpul para tetanggaku untuk melayat.

Aku masih terpaku ditempatku berdiri, menatap nanar kumpulan orang-orang yang tengah membacakan doa untuk mengantar kepergian ibu.

Bruuuk...

Bersambung

Terpopuler

Comments

Aminah Adam

Aminah Adam

waduh nisa banyak kali cobaan mu🥲

2023-07-15

0

Yunia Afida

Yunia Afida

yang sabar nya nis

2023-07-13

0

Aprisya

Aprisya

anisa sial sekali nasib kamu, udah jatuh tertimpa tangga lagi😭😭

2023-07-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!