Tepat dihari ketiga kepergian ibu, aku memutuskan untuk masuk sekolah agar aku tak terlalu larut dalam kesedihan. Haaaah..., Entah bagaimana aku akan menjalani hari-hari ku selanjutnya.
"Kamu mau berangkat sekolah?" tanya Bibi Santi; istri dari adik ibuku, ia berbicara dengan nada yang sedikit ketus.
"Iya, Bi,"
Setelah bertanya, Bibi Santi langsung beranjak meninggalkanku diruang makan sendiri.
Aku mengedikkan kedua bahuku, tak mau ambil pusing dengan sikapnya padaku. Aku dan mendiang ibu sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu darinya.
Kutarik kursi dan langsung mendudukan tubuhku sambil membuka tudung saji yang ada di hadapanku. "Kosong?" tanyaku pada siri sendiri. Padahal saat aku kekamar mandi, paman dan bibi sedang sarapan bersama. Ah, mungkin saja makanannya diletakan Bibi di lemari, pikirku. Tapi apa yang kulihat disana? Sudah tidak ada apapun yang tersimpan dalam lemari.
Bibi datang dengan setumpuk cucian ditangannya. "Bi? Apa sudah tidak ada sarapan lagi?" tanyaku dengan hati-hati.
"Habis," jawabnya dengan ketus.
"Habis? Tapi tadi Nisa lihat Paman sama Bibi sarapan bareng?"
"Heh! Kamu pikir aku ini pembantumu, yang harus nyediain makanan buatmu?" ucap Bibi dengan wajah garangnya.
"Ma- maaf, Bi. Kalau gitu Nisa berangkat dulu." Aku maju mendekati Bibi Santi untuk menyalim tangannya.
Namun Bibi menepis tanganku dengan sangat kasar. "Gak perlu salam-salam segala, saya bukan ibu kamu. Ibu kamu sudah mati,"
Astaghfirullah! Kenapa wanita ini kasar sekali?
Aku tak ingin lebih berlama-lama ada dirumah. Aku bergegas pergi ke sekolah dan berharap ketikan bertemu dengan Pinkan dan curhat padanya akan bisa mengurangi sedikit beban pikiranku.
Aku menyusuri lorong sekolah dengan kepala yang tertunduk. Aku mulai kehilangan semangat. Masalah ini begitu bertubi-tubi datang menghampiriku. Aku bingung harus berbuat apa?
"Hai, Kan?" sapaku pada Pinkan yang sedang asik dengan ponselnya. Kepalanya terdongak melihat kearahku.
Aku terhenyak saat mendapati mata sembab Pinkan yang sangat kentara pagi ini. "Kamu kenapa, Kan?" Aku langsung duduk tepat disampingnya.
Pinkan hanya menggeleng lemah. Sepertinya ia masih enggan bercerita. Aku tak ingin memaksanya, biarlah Pinkan bercerita masalahnya padaku nanti jika ia sudah ingin menceritakannya.
Aku dan Pinkan sama-sama terdiam dengan pikiran kami masing-masing, hingga akhirnya guru muncul dan memulai kegiatan belajar mengajar kami.
Sampai jam istirahat tiba, kami berdua sama-sama tak banyak bicara. Bahkan Pinkan enggan untuk keluar kelas dijam istirahat seperti ini. Aku mulai penasaran pada sahabatku ini, masalah apa yang sedang dihadapinya? "Are you Ok?"
Pinkan menoleh padaku dengan gerakan yang cukup lambat bak adegan slowmosen. "Bokap sama nyokap gue udah cerai, Nis." Pinkan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis senggugukan tanpa peduli teman sekelas yang sedang memperhatikan kami berdua.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku menelan kasar ludahku, lalu kubawa dia dalam pelukanku. Kutepuk punggungnya perlahan, berharap bisa memberinya sedikit ketenangan. "Sssstt... yang sabar," hanya itu yang bisa ku ucapkan padanya.
Huuuuffft...! Niat hati ingin sedikit bercerita tentang masalahku, tapi tempat curhatku juga lagi butuh dukungan dariku. Aku urungkan niatku itu, kini giliran aku yang akan jadi tempat bersandar bagi sahabatku.
Jam pulang sekolah,
Aku berdiri termangu di trotoar depan sekolah. Menatap lurus pada langit yang menaungi ku saat ini. "Hari ini aku harus mencari pekerjaan baru untuk biaya hidup dan sekolahku," tekatku dengan penuh semangat.
Tapi apa yang ku dapat disisa hari ini? Aku hanya mendapatkan penolakan disetiap tempat yang kusinggahi untuk mendapatkan pekerjaan.
"Maaf, kami tidak membutuhkan tenaga kerja lagi,"
"Maaf, lowongan sudah diisi,"
"Kami tidak menerima pegawai yang berstatus pelajar,"
"Memang masih ada satu tempat yang belum terisi. Tapi maaf, kami tidak bisa mengambil resiko menerima tenaga kerja dibawah umur. Kami tidak ingin tersangkut masalah hukum, karena mempekerjakan kamu disini,"
Lagi-lagi aku gagal. Aku tertunduk dengan menatap ujung sepatuku yang tampak usang.
Aku baru tersadar kalau saat ini sudah beranjak malam. Lampu-lampu dari rumah, ruko serta lampu jalan sudah sepenuhnya menyala semua.
Krruuukkkk krruuukkkk
"Lapar." Aku menekan sedikit pelan perutku yang hanya terisi nasi soto yang tadi siang kupesan dikantin.
Aku merogoh saku bajuku dan mengeluarkan lembaran uangku yang tersisa. "Tinggal dua puluh ribu,"
Bila uang ini kubelikan makanan, sudah kupastikan besok tidak ada ongkos untuk bayar angkot. "Haaahhh... Semoga Bibi berbaik hati memberikan ku makan,"
Sampai didepan rumah, sudah ada Bibi yang berkacak pinggang dengan mata yang melotot padaku. "Hebat kamu ya, pulang sekolah langsung keluyuran gak jelas? Masih ingat pulang kamu?"
"Maaf, Bi. Tadi pulang sekolah Nisa mampir cari kerjaan dulu," ucapku dengan menatapnya.
"Gak usah bohong kamu!" tudingnya padaku.
"Nisa gak bohong, Bi," aku membela diri.
"Halah. Kamu pikir saya percaya?" ucapnya dengan suara yang lumayan keras.
"Nisa?" panggil paman padaku.
Aku melangkah mendekati pamanku, "Ya?"
"Kamu kemasi semua barang-barangmu, dan cepat tinggalkan rumah ini. Mulai sekarang Paman yang akan tinggal disini bersama keluarga Paman," perintah yang diberikannya padaku membuat aku terhenyak.
"Paman mengusir Nisa dari rumah Nisa sendiri?" tanyaku tak percaya dengan keputusan yang diambil paman.
"Ini bukan rumah kamu lagi," sarkas Bi Santi yang sudah berada disisi suaminya. "Ini rumah peninggalan dari orang tua Mas Hendra dan ibu mu. Berhubung ibumu sudah meninggal, jadi Mas Hendra adalah ahli waris satu-satunya. Jadi kami berhak tinggal disini,"
"Terus Nisa tinggal dimana?" tanyaku dengan pikiran yang bingung.
"Terserah kamu mau tinggal dimana. Sekarang kamu kemasi barang-barang kamu," ucap Bibi.
Dengan enggan aku membungkus pakaianku yang tak terlalu banyak dan buku-buku kedalam tas ransel ku. Setelah selesai aku menuju kamar ibuku, namun langkahku langsung dihentikan oleh Bibi Santi. "Heh! Mau kemana kamu?"
"Mau kekamar ibu, Bi,"
"Mau apa? Mau ambil barang ibumu?" aku mengangguk cepat. "Barang-barang ibumu sudah Bibi jual untuk bayar hutang. Orang miskin, tapi gayanya selangit, sekolah ditempat orang kaya. Kelilit hutang 'kan jadinya?" cerocos Bibi Santi.
Hutang? Apa Ibu berhutang untuk memenuhi kebutuhan ku yang lain? Aku terpundur selangkah. Tak menyangka ibu sampai berhutang demi masa depanku.
"Tunggu apa lagi? Sekarang kamu keluar dari rumah ini," Bibi mengusirku dengan teganya, padahal ini sudah malam. Bahkan aku tak sempat berganti baju maupun pengisi perut barang sejenak.
"Paman?" aku berharap adik ibuku itu akan menghentikan langkahku. Tapi sayang, pria itu hanya melengos disaat aku yang notabennya ponakan kandung terusir dari rumahku sendiri.
Saat langkahku mulai menjauh, aku berbalik menatap rumah dimana aku dibesarkan selama ini. Ada rasa tak rela dihatiku untuk pergi dari sini. Ku lanjutkan langkahku hingga aku tiba di halte tempat biasa aku menunggu angkot. Cukup jauh dari rumah. Dan saat ini suasana cukup sunyi, karena memang sore tadi turun hujan yang lumayan deras, sehingga membuat orang-orang malas untuk keluar.
Aku merapatkan kardigan yang ku kenakan, mencoba menghalau rasa dingin yang mulai menusuk ke tubuhku. Hingga sebuah motor ber-CC besar yang melaju cepat kini mulai perlahan melambat dan berhenti tepat di hadapanku.
Si pengendara membuka helmnya dengan gaya yang keren menurutku. Aku terhenyak saat mendapati siapa orang itu, yang tengah mengerenyit kearahku.
"Aslan?"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Aminah Adam
lanjut
2023-07-15
0
Arif Muzakki
kisah aslan sama Nisa di mulai
2023-07-13
0
Ana_Mar
suatuuu kelak balas perbuatan paman dan bibimu...kamu berhak atas rumah itu.
2023-07-13
0