My Lovely Brother
Kata Mama, cinta sejati itu ada.
Tapi dia sendiri juga yang mengkhianati kata-katanya dengan jatuh cinta kepada pria lain dan memutuskan untuk menikah lagi.
Ternyata benar apa yang Papa katakan. Kalau kita sudah tidak ada di bumi, orang-orang hanya sedih beberapa saat. Lalu lupa, kembali melanjutkan kehidupan dan berhenti mencintai kita.
Maka mulai hari ini aku sudah memutuskan akan membenci Mama, suami barunya, dan calon adik tiriku yang bernama Sagara Daevan.
Mereka bertiga terlihat menyebalkan di mataku.
****
Tidur cantik Reya terusik ketika suara musik yang disetel lumayan keras berasal dari kamar sampingnya. Seingatnya kamar tersebut tidak pernah ada penghuni, lalu mengapa ada suara musik yang begitu keras dari sana di pagi hari seperti sekarang?
Berusaha abai, tapi tidak bisa. Sebab seolah memang ada seseorang yang sengaja mengusik tidur tenangnya di hari Minggu seperti sekarang.
Reya duduk di atas tempat tidur dan mengumpulkan nyawanya, sebelum dia keluar dari kamar. Dia teringat bahwa mulai hari ini memang akan ada seseorang yang akan tinggal di samping kamarnya.
"Sial, awas aja karena gue bakalan bunuh lo sekarang juga!"
Rasa mengantuk Reya langsung menghilang, di jam 6 pagi dia sudah siap berperang dengan penghuni kamar sebelah.
Reya keluar dari kamar dan mengetuk pintu dengan kuat. Bahkan dia juga menendang pintu agar si pemilik kamar tidak membiarkan dirinya berdiri terlalu lama di sini. Sebab Reya punya waktu yang berharga dan dia tidak bisa menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang sama sekali tidak penting.
Lalu pintu terbuka, menampilkan wajah Gara yang terlihat sama sekali tidak berdosa dan malah tersenyum menampilkan deretan giginya.
"Hai Kakak cantik." Gara menyapa dengan santai dengan kedua tangan berada di dalam saku celana jeans hitam yang sekarang dia kenakan.
"Lo tau ini jam berapa dan hari apa 'kan?" tanya Reya dengan kesabaran setipis tisu dibagi tujuh.
"Jam enam, emang kenapa?"
"Lo tanya kenapa? Ini hari Minggu dan waktunya gue puas-puasin diri untuk tidur setelah lelah setiap hari kuliah dengan tugas yang menumpuk. Bisa gunakan otak lo buat enggak mengusik ketenangan orang lain?"
"Hari Minggu isinya bukan sebatas tidur aja kali, Kak. Lo bisa olahraga biar jauh lebih sehat dan gak gampang sakit. Tubuh lo butuh digerakkan bukan cuma untuk tidur doang.”
Reya melipat tangan di bawah dada dan memutar bola matanya malas. "Lo siapa berani ngatur-ngatur gue. Apa yang gue lakukan di sini itu urusan gue dan ini rumah gue. Lo cuma penghuni baru yang enggak punya hak apa-apa di sini."
Gara sama sekali tidak merasa takut dan malah melihat Reya dengan tatapan lucu, sebab gadis itu terlihat sangat menggemaskan ketika marah seperti sekarang.
"Kenapa malah senyum-senyum, gila ya lo?"
"Enggak, suka aja lihat lo marah-marah kayak gini."
Reya menghela nafas berat, sepertinya tidak ada gunanya dia berlama-lama di sini untuk berbicara dengan orang menyebalkan seperti Gara.
"Terserah, pokoknya jangan nyalain musik keras-keras lagi. Kalau enggak, gue bisa buang semua barang lo." Reya berbalik badan, sebelum masuk ke dalam kamarnya dia mengacungkan jari tengah kepada Gara. Lalu membanting pintu kamarnya dengan kuat.
Gara terkekeh dan masih bersandar di depan pintu sembari bergumam. "Cantik, tapi sayang galak banget.”
****
Setelah mendapatkan peringatan dari Reya, Gara memang tidak menyalakan musik dengan volume yang keras lagi. Dia menghargai Reya yang memang kelelahan menjadi mahasiswa dari jurusan fashion design. Jadi dia memutuskan untuk berdamai lebih dulu dengan Reya, walaupun dia tau gadis itu tidak akan pernah menyukai kehadirannya.
Reya akhirnya turun dari kamar setelah puas tidur sampai sekarang sudah jam satu siang dan perutnya menjadi keroncongan karena terlalu lama tertidur.
“Bagus ya, kamu selalu skip makan pagi dan lebih milih tidur. Kamu punya penyakit maag yang selalu kumat, tapi tetap aja keras kepala dan susah untuk makan."
Reya meneguk air putih satu gelas sampai habis. Baru juga turun dia langsung mendapatkan omelan dari mamanya. "Reya udah makan roti di kamar tadi pagi, jadi perutnya gak sepenuhnya kosong."
”Yang benar kamu udah makan roti di kamar?” tanya mamanya dengan raut wajah tidak percaya, karena Reya sudah sangat sering berbohong kepada dirinya.
”Iya, cek aja di kamar Reya emang banyak makanan kok.” Reya langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan mamanya.
"Oh iya, Mama hanya mau menyampaikan kalau mulai besok kamu sama Gara berangkat bareng ya. Kalian berada di kampus yang sama, jadi gunakan satu mobil berdua aja biar hemat ongkos.”
Reya langsung menatap mamanya. "Enggak bisa dong, Ma. Walaupun kami berada di kampus yang sama, jadwal kuliah kita beda. Bisa aja pas aku masuk, dia udah mau pulang. Lagian jarak dari fakultas aku ke fakultas Gara jauh banget.”
"Mama hanya ingin kalian berdua lebih dekat satu sama lain karena udah jadi keluarga sekarang."
"Dekat sama dia?" Reya menunjuk Gara. "Aku enggak pernah mau dan gak akan mau. Aku udah nyaman menjadi anak tunggal, lalu tiba-tiba punya adik tiri. Itu sebuah hal yang aku inginkan hanya sebatas mimpi buruk aja."
Mamanya memukul meja dan menatap Reya tajam. "Kita sudah bicarakan ini sejak lama dan tolong jangan terus membuat Mama marah sama kamu."
"Ma, aku enggak mau berangkat sama dia. Kalau emang cuma satu mobil yang bisa dipake, ya dia harus cari cara ke kampus dong."
"Teman Gara gak ada yang tinggal di dekat sini, jadi dia gak bisa nebeng sama temannya." Mamanya masih bersikeras.
"Sial," gumam Reya pelan dengan tangan terkepal di bawah meja,
"Kamu ngomong apa?"
"Ya udah kasih aja mobilnya ke dia, aku berangkat sama pacarku aja."
"Enggak! Mama enggak setuju, sudah lama Mama meminta supaya kamu putus sama dia. Kenapa belum kamu turuti? Dia bukan seseorang yang baik buat kamu, Rey."
"Mama enggak kenal pacar aku dan berhenti ikut campur apapun yang aku lakukan. Aku udah dewasa sekarang, lagian Mama juga enggak pernah dengar apa yang Reya bilang dan selalu ingin menang sendiri."
"Reya, kamu benar-benar semakin berbakat membuat Mama marah ya."
"Ma, Kak. Aku rasa udah cukup, aku bisa minta tumpangan sama teman kok."
Reya memutar bola matanya malas, Gara rupanya mulai berani berakting di depan mama dan dirinya.
“Enggak, Gar. Kamu harus sama Reya, lagian kamu mau sama siapa. Teman mana yang tinggal di dekat sini Mama tanya?”
Gara terdiam karena dia memang tidak punya teman di dekat sini.
“Pokoknya kamu sama Reya, Mama gak bakalan izinkan kamu pergi sama siapapun.”
Reya berdiri dari posisi duduknya, mengambil satu buah apel.
“Mau kemana kamu? Reya kamu belum makan dari pagi jangan langsung kabur gitu aja.” Mamanya terlihat sangat emosi sekarang.
“Reya gak selera makan, kalian aja yang makan. Aku udah kenyang lihat kalian yang munafik.”
Reya langsung berjalan menaiki tangga dan mengabaikan teriakan mamanya yang menggema.
“Ma, biar aku yang ngomong sama Kakak.”
Gara mengejar langkah Reya dan menahan tangan gadis itu yang hendak masuk ke dalam kamar.
“Mau apa lagi lo? Belum puas sok jadi anak baik di depan Mama? Lo mungkin bisa nipu Mama, tapi gue sama sekali enggak bakalan ketipu sama tampang pura-pura polos lo. Jadi gue harap lo segera berhenti, karena lo terlihat sangat memuakkan.” Reya mendorong dada Gara agar sedikit menjauh dari dirinya.
Gara langsung mengunjukkan senyuman sinisnya. “Gimana akting gue tadi, bagus enggak Kak?”
“Bajingan emang lo, jangan harap bisa menang dari gue.”
“Jelas gue bakalan menang, gue bakalan dapetin semua yang lo punya di rumah ini. Karena sekarang gue juga anak Mama dan bebas melakukan apa aja di sini.”
Reya tertawa jahat dan merasa tertantang. “Kasihan ya lo, pasti enggak pernah dapat kasih sayang dari Mama makanya mau mendapatkan itu dari Mama gue. Lo teramat menyedihkan untuk menjadi saingan gue, Gar. Lo sama sekali enggak cocok berada di rumah ini.”
“Lo juga gak punya ayah, seseorang yang begitu lo sayang pergi begitu cepat. Mungkin dia emang gak tahan punya anak kayak lo. Makanya jadi anak jangan terlalu keras kepala dan merasa dirinya paling oke juga sempurna. Lo juga enggak ada apa-apanya dan gak ada yang bisa dibanggakan dari diri lo.”
Reya mengepalkan tangannya. “Jangan berani bawa-bawa Papa gue dengan mulut busuk lo itu. Walaupun gue gak punya Papa lagi, tapi setidaknya gue gak haus kasih sayang dari Papa lo. Selama di sini jangan coba-coba keluar dari garis batasan yang ada, karena gue enggak sudi harus bersikap baik sama lo.”
Reya mengelus bahu Gara dengan lembut. “Paham ‘kan, Adik?”
Reya tersenyum begitu manis dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Gara yang terdiam dengan mematung.
Ternyata benar yang dia dengar dari orang-orang. Kalau Reya adalah gadis cantik dengan mulut jahat.
Oke, untuk hari ini Gara mengakui bahwa dia kalah dari Reya. Tapi dia tidak akan membiarkan kemenangan Reya terulang untuk kesekian kalinya.
Lihat saja apa yang akan dia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments