Kata Mama, cinta sejati itu ada.
Tapi dia sendiri juga yang mengkhianati kata-katanya dengan jatuh cinta kepada pria lain dan memutuskan untuk menikah lagi.
Ternyata benar apa yang Papa katakan. Kalau kita sudah tidak ada di bumi, orang-orang hanya sedih beberapa saat. Lalu lupa, kembali melanjutkan kehidupan dan berhenti mencintai kita.
Maka mulai hari ini aku sudah memutuskan akan membenci Mama, suami barunya, dan calon adik tiriku yang bernama Sagara Daevan.
Mereka bertiga terlihat menyebalkan di mataku.
****
Tidur cantik Reya terusik ketika suara musik yang disetel lumayan keras berasal dari kamar sampingnya. Seingatnya kamar tersebut tidak pernah ada penghuni, lalu mengapa ada suara musik yang begitu keras dari sana di pagi hari seperti sekarang?
Berusaha abai, tapi tidak bisa. Sebab seolah memang ada seseorang yang sengaja mengusik tidur tenangnya di hari Minggu seperti sekarang.
Reya duduk di atas tempat tidur dan mengumpulkan nyawanya, sebelum dia keluar dari kamar. Dia teringat bahwa mulai hari ini memang akan ada seseorang yang akan tinggal di samping kamarnya.
"Sial, awas aja karena gue bakalan bunuh lo sekarang juga!"
Rasa mengantuk Reya langsung menghilang, di jam 6 pagi dia sudah siap berperang dengan penghuni kamar sebelah.
Reya keluar dari kamar dan mengetuk pintu dengan kuat. Bahkan dia juga menendang pintu agar si pemilik kamar tidak membiarkan dirinya berdiri terlalu lama di sini. Sebab Reya punya waktu yang berharga dan dia tidak bisa menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang sama sekali tidak penting.
Lalu pintu terbuka, menampilkan wajah Gara yang terlihat sama sekali tidak berdosa dan malah tersenyum menampilkan deretan giginya.
"Hai Kakak cantik." Gara menyapa dengan santai dengan kedua tangan berada di dalam saku celana jeans hitam yang sekarang dia kenakan.
"Lo tau ini jam berapa dan hari apa 'kan?" tanya Reya dengan kesabaran setipis tisu dibagi tujuh.
"Jam enam, emang kenapa?"
"Lo tanya kenapa? Ini hari Minggu dan waktunya gue puas-puasin diri untuk tidur setelah lelah setiap hari kuliah dengan tugas yang menumpuk. Bisa gunakan otak lo buat enggak mengusik ketenangan orang lain?"
"Hari Minggu isinya bukan sebatas tidur aja kali, Kak. Lo bisa olahraga biar jauh lebih sehat dan gak gampang sakit. Tubuh lo butuh digerakkan bukan cuma untuk tidur doang.”
Reya melipat tangan di bawah dada dan memutar bola matanya malas. "Lo siapa berani ngatur-ngatur gue. Apa yang gue lakukan di sini itu urusan gue dan ini rumah gue. Lo cuma penghuni baru yang enggak punya hak apa-apa di sini."
Gara sama sekali tidak merasa takut dan malah melihat Reya dengan tatapan lucu, sebab gadis itu terlihat sangat menggemaskan ketika marah seperti sekarang.
"Kenapa malah senyum-senyum, gila ya lo?"
"Enggak, suka aja lihat lo marah-marah kayak gini."
Reya menghela nafas berat, sepertinya tidak ada gunanya dia berlama-lama di sini untuk berbicara dengan orang menyebalkan seperti Gara.
"Terserah, pokoknya jangan nyalain musik keras-keras lagi. Kalau enggak, gue bisa buang semua barang lo." Reya berbalik badan, sebelum masuk ke dalam kamarnya dia mengacungkan jari tengah kepada Gara. Lalu membanting pintu kamarnya dengan kuat.
Gara terkekeh dan masih bersandar di depan pintu sembari bergumam. "Cantik, tapi sayang galak banget.”
****
Setelah mendapatkan peringatan dari Reya, Gara memang tidak menyalakan musik dengan volume yang keras lagi. Dia menghargai Reya yang memang kelelahan menjadi mahasiswa dari jurusan fashion design. Jadi dia memutuskan untuk berdamai lebih dulu dengan Reya, walaupun dia tau gadis itu tidak akan pernah menyukai kehadirannya.
Reya akhirnya turun dari kamar setelah puas tidur sampai sekarang sudah jam satu siang dan perutnya menjadi keroncongan karena terlalu lama tertidur.
“Bagus ya, kamu selalu skip makan pagi dan lebih milih tidur. Kamu punya penyakit maag yang selalu kumat, tapi tetap aja keras kepala dan susah untuk makan."
Reya meneguk air putih satu gelas sampai habis. Baru juga turun dia langsung mendapatkan omelan dari mamanya. "Reya udah makan roti di kamar tadi pagi, jadi perutnya gak sepenuhnya kosong."
”Yang benar kamu udah makan roti di kamar?” tanya mamanya dengan raut wajah tidak percaya, karena Reya sudah sangat sering berbohong kepada dirinya.
”Iya, cek aja di kamar Reya emang banyak makanan kok.” Reya langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan mamanya.
"Oh iya, Mama hanya mau menyampaikan kalau mulai besok kamu sama Gara berangkat bareng ya. Kalian berada di kampus yang sama, jadi gunakan satu mobil berdua aja biar hemat ongkos.”
Reya langsung menatap mamanya. "Enggak bisa dong, Ma. Walaupun kami berada di kampus yang sama, jadwal kuliah kita beda. Bisa aja pas aku masuk, dia udah mau pulang. Lagian jarak dari fakultas aku ke fakultas Gara jauh banget.”
"Mama hanya ingin kalian berdua lebih dekat satu sama lain karena udah jadi keluarga sekarang."
"Dekat sama dia?" Reya menunjuk Gara. "Aku enggak pernah mau dan gak akan mau. Aku udah nyaman menjadi anak tunggal, lalu tiba-tiba punya adik tiri. Itu sebuah hal yang aku inginkan hanya sebatas mimpi buruk aja."
Mamanya memukul meja dan menatap Reya tajam. "Kita sudah bicarakan ini sejak lama dan tolong jangan terus membuat Mama marah sama kamu."
"Ma, aku enggak mau berangkat sama dia. Kalau emang cuma satu mobil yang bisa dipake, ya dia harus cari cara ke kampus dong."
"Teman Gara gak ada yang tinggal di dekat sini, jadi dia gak bisa nebeng sama temannya." Mamanya masih bersikeras.
"Sial," gumam Reya pelan dengan tangan terkepal di bawah meja,
"Kamu ngomong apa?"
"Ya udah kasih aja mobilnya ke dia, aku berangkat sama pacarku aja."
"Enggak! Mama enggak setuju, sudah lama Mama meminta supaya kamu putus sama dia. Kenapa belum kamu turuti? Dia bukan seseorang yang baik buat kamu, Rey."
"Mama enggak kenal pacar aku dan berhenti ikut campur apapun yang aku lakukan. Aku udah dewasa sekarang, lagian Mama juga enggak pernah dengar apa yang Reya bilang dan selalu ingin menang sendiri."
"Reya, kamu benar-benar semakin berbakat membuat Mama marah ya."
"Ma, Kak. Aku rasa udah cukup, aku bisa minta tumpangan sama teman kok."
Reya memutar bola matanya malas, Gara rupanya mulai berani berakting di depan mama dan dirinya.
“Enggak, Gar. Kamu harus sama Reya, lagian kamu mau sama siapa. Teman mana yang tinggal di dekat sini Mama tanya?”
Gara terdiam karena dia memang tidak punya teman di dekat sini.
“Pokoknya kamu sama Reya, Mama gak bakalan izinkan kamu pergi sama siapapun.”
Reya berdiri dari posisi duduknya, mengambil satu buah apel.
“Mau kemana kamu? Reya kamu belum makan dari pagi jangan langsung kabur gitu aja.” Mamanya terlihat sangat emosi sekarang.
“Reya gak selera makan, kalian aja yang makan. Aku udah kenyang lihat kalian yang munafik.”
Reya langsung berjalan menaiki tangga dan mengabaikan teriakan mamanya yang menggema.
“Ma, biar aku yang ngomong sama Kakak.”
Gara mengejar langkah Reya dan menahan tangan gadis itu yang hendak masuk ke dalam kamar.
“Mau apa lagi lo? Belum puas sok jadi anak baik di depan Mama? Lo mungkin bisa nipu Mama, tapi gue sama sekali enggak bakalan ketipu sama tampang pura-pura polos lo. Jadi gue harap lo segera berhenti, karena lo terlihat sangat memuakkan.” Reya mendorong dada Gara agar sedikit menjauh dari dirinya.
Gara langsung mengunjukkan senyuman sinisnya. “Gimana akting gue tadi, bagus enggak Kak?”
“Bajingan emang lo, jangan harap bisa menang dari gue.”
“Jelas gue bakalan menang, gue bakalan dapetin semua yang lo punya di rumah ini. Karena sekarang gue juga anak Mama dan bebas melakukan apa aja di sini.”
Reya tertawa jahat dan merasa tertantang. “Kasihan ya lo, pasti enggak pernah dapat kasih sayang dari Mama makanya mau mendapatkan itu dari Mama gue. Lo teramat menyedihkan untuk menjadi saingan gue, Gar. Lo sama sekali enggak cocok berada di rumah ini.”
“Lo juga gak punya ayah, seseorang yang begitu lo sayang pergi begitu cepat. Mungkin dia emang gak tahan punya anak kayak lo. Makanya jadi anak jangan terlalu keras kepala dan merasa dirinya paling oke juga sempurna. Lo juga enggak ada apa-apanya dan gak ada yang bisa dibanggakan dari diri lo.”
Reya mengepalkan tangannya. “Jangan berani bawa-bawa Papa gue dengan mulut busuk lo itu. Walaupun gue gak punya Papa lagi, tapi setidaknya gue gak haus kasih sayang dari Papa lo. Selama di sini jangan coba-coba keluar dari garis batasan yang ada, karena gue enggak sudi harus bersikap baik sama lo.”
Reya mengelus bahu Gara dengan lembut. “Paham ‘kan, Adik?”
Reya tersenyum begitu manis dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Gara yang terdiam dengan mematung.
Ternyata benar yang dia dengar dari orang-orang. Kalau Reya adalah gadis cantik dengan mulut jahat.
Oke, untuk hari ini Gara mengakui bahwa dia kalah dari Reya. Tapi dia tidak akan membiarkan kemenangan Reya terulang untuk kesekian kalinya.
Lihat saja apa yang akan dia lakukan.
Saat kecil, kamu bebas merengek dan berharap apapun yang kamu inginkan bisa kamu miliki. Tapi setelah dewasa kamu sadar, ada beberapa hal yang cuma bisa kamu lihat dan tidak bisa menjadi milikmu.
****
Jam delapan pagi Reya sudah siap dengan setelan kuliahnya. Dia turun ke lantai satu, kemudian berjalan ke ruang makan dan menemukan keadaan yang sepi.
Tidak ada satupun manusia yang dia temukan di sini, seolah mereka semua sudah pergi dan meninggalkan Reya sendirian. Apa mereka semua masih marah kepada Reya karena kejadian kemarin?
"Bi, mana yang lain?" tanyanya pada asisten rumah tangga yang sedang bekerja.
"Di luar, Non. Bapak, Ibu, dan Mas Gara semuanya sudah makan. Hanya Non yang belum sarapan saja."
Meskipun merasa jengkel, Reya tetap duduk di kursi dan mengambil beberapa roti. Dulu sebelum menikah, mamanya selalu menunggu agar mereka bisa sarapan berdua. Bukan meninggalkan Reya sendirian seperti sekarang.
Ternyata baru sebentar posisinya sudah bisa langsung digeser dan digantikan oleh orang lain dengan sangat mudah.
Reya makan tanpa selera, dia mengisi perutnya supaya penyakit maag yang diderita tidak akan kumat pagi ini. Sebab tadi malam Reya juga tidak makan banyak, dia takut penyakitnya kambuh dan menghambat semua yang ingin dilakukan.
Setelah makan, Reya keluar dari rumah dan menemukan ketiga orang yang seperti sedang menunggu dirinya di teras.
Reya merasa tidak nyaman karena mata mereka tertuju ke arah dirinya.
"Kunci mobilnya mana, Ma? Aku udah telat untuk ke kampus sekarang."
"Mobilnya lagi dibawa sama Pak Yudi ke bengkel karena ada kerusakan yang parah, jadi pagi ini kamu harus naik motor sama Gara.”
Mata Reya tertuju ke arah keberadaan Gara yang sedang memanaskan mesin motornya dan cowok itu juga sedang melihat ke arahnya sekarang. "Aku enggak mau pergi sama dia, Mama bisa lihat pakaian yang aku kenakan sekarang dan rasanya enggak mungkin kalau harus naik motor."
Bukan mamanya yang memperhatikan penampilan Reya, tapi Gara yang langsung fokus ke sana setelah mendengarkan ucapan gadis ini. "Gak ada yang salah dari penampilan lo hari ini, cukup ganti bawahan pake celana aja. Jangan pake rok karena motor gue tinggi dan lo bakalan enggak nyaman."
"Gue gak mau merubah outfit gue, hanya untuk bisa berangkat sama lo dan naik motor itu."
"Reya, untuk hari ini aja kamu pergi sama Gara. Lagian cuma ganti rok ke celana gak akan memakan waktu yang banyak. Kamu lebih banyak menghabiskan waktu di sini untuk berdebat saja. Langsung masuk ke kamar dan ganti rok kamu sekarang juga.”
Reya melipat tangan di bawah dada dan bersandar di dinding rumahnya. "Aku telepon Steven aja, supaya dia datang ke sini jemput aku dan Gara berangkat sendirian."
"Jangan coba-coba lakukan itu, Mama gak pernah suka dengan kehadiran pacar kamu di rumah ini. Kalau kamu berani pergi sama dia, maka jangan salahkan Mama yang akan memotong uang jajan bulanan kamu. Semakin dikasih tau, kamu malah bertambah keras kepala bukannya menurut apa yang Mama bilang.”
Selalu seperti ini dan ada kalimat ancaman yang akan mamanya katakan untuk menghentikan Reya. Lama-lama dia muak sebab mamanya terlalu egois dan menginginkan agar Reya mengikuti kemauannya.
"Ya udah Reya berangkat naik taksi aja kalau gitu, apa Reya juga enggak boleh naik taksi hari ini? Reya masih punya ongkos untuk pulang dan pergi kuliah kok, jadi gak harus pake uang Mama.”
Belum juga melangkahkan kakinya untuk keluar dari gerbang, Gara terlebih dulu mengejar dan menggenggam tangan Reya. "Mama lo bakalan marah kalau hari ini lo bantah apapun yang dia mau. Cukup ikutin cara gue dan bisa dipastikan lo bakalan aman. Jangan keras kepala dan terus bertingkah, Reya.”
Reya menepis tangan Gara yang mengenggamnya sekarang. Semua yang terjadi sekarang adalah ulah Gara. "Jangan sok jadi pahlawan karena gue sama sekali enggak membutuhkan bantuan lo. Berantem sama Mama bukan kali pertama buat gue dan gue sama sekali gak keberatan sama konsekuensinya. Gue juga enggak takut sama hukuman yang bakalan gue dapetin setelah ini.”
Gara sama sekali tidak menyerah, dia terus menggenggam tangan Reya kuat. "Cukup hari ini aja, Re. Setelah ini gue janji enggak bakalan ikut campur sama apapun yang menyangkut kehidupan lo."
Reya menghela nafas berat kemudian berkata. "Ya udah gue ganti rok dulu, setelah itu kita berangkat bareng."
Gara diam-diam tersenyum penuh kemenangan, ternyata tidak begitu sulit untuk meluluhkan sosok Reya yang keras kepala.
****
Kedatangan Reya dengan seorang laki-laki asing, justru menghadirkan banyak tatapan bertanya-tanya. Pasalnya Reya bisa dikatakan lumayan terkenal di jurusannya. Banyak yang jatuh cinta kepada Reya, karena selain berbakat dia juga cantik.
Sayangnya karena Reya sudah punya pacar, menjadi hambatan untuk cowok-cowok lain mendekati dirinya.
Reya melepaskan helm-nya dan menyerahkan kepada Gara. "Nanti pas pulang enggak usah repot-repot jemput gue ke sini. Gue bisa pulang sama pacar gue dan gak mau berurusan sama lo lagi."
Gara menerima helm tersebut, tapi sebelum pergi dia kembali menahan tangan Reya. Gara turun dari motor dan menggenggam tangan Reya.
Reya melirik tangannya yang berada di genggaman Gara, sepertinya cowok itu memiliki kebiasaan mengenggam tangan orang lain tanpa izin. "Lepas atau gue pukul tangan lo?" tanya Reya yang tidak suka menjadi pusat perhatian seperti sekarang.
"Yang di sana pacar lo bukan?" tanya Gara menunjuk dengan dagunya. "Kok sama cewek, dia siapa?"
Reya menatap ke arah keberadaan cowok yang sangat Reya kenal. Dia datang dengan perempuan yang merupakan sahabat dekatnya dulu.
"Teman gue, mereka gak punya hubungan apa-apa selain itu."
"Yakin?" Gara tersenyum sinis. "Cuma sebatas teman tapi jalannya sambil gandengan gitu?"
Entah apa tujuan Gara berkata demikian, tapi Reya tidak berbohong jika dadanya merasa panas dalam seketika. Dia mengepalkan tangannya dan mendorong Gara menjauh dari dirinya.
"Apapun yang terjadi dalam kehidupan gue, gak semuanya harus lo tau dan gak perlu ikut campur. Mending sekarang lo pergi dari sini dan ke jurusan lo sendiri, Adik."
Gara terkekeh, Reya selalu memanggil dirinya dengan sebutan adik jika emosinya sudah berhasil terpancing. "Jangan sungkan kasih tau gue kalau cowok lo pada akhirnya emang terbukti berengsek, Adik lo bisa berantem kok. Gue gak akan membiarkan Kakak gue disakiti oleh cowok manapun."
Reya merasa tersanjung dan terkekeh pelan. "Gue juga bisa bela diri dan gue enggak butuh bantuan dari orang sok baik kayak lo."
Reya berjalan meninggalkan Gara, cowok itu belum beranjak pergi karena dia penasaran dengan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Tapi sayangnya tebakannya salah, dia pikir ada sesuatu yang seru tapi ternyata tidak ada.
Reya berjalan mendekat ke arah dua sejoli yang sedang bersama, lalu malah terlihat mengobrol santai. Gara yang merasa bosan dengan keadaan, langsung memutuskan pergi karena dia rasa Reya memang sama sekali tidak membutuhkan bantuannya.
Reya berbalik badan untuk memastikan bahwa Gara sudah pergi, kemudian tanpa aba-aba dirinya yang semula bersikap santai langsung mendorong tubuh Jesika dan memberikan tamparan keras.
"Berapa kali gue harus bilang sama lo, kalau cowok gue bukan supir yang harus selalu antar jemput lo setiap hari?"
Wajah Reya terlihat memerah, gadis bernama Jesika itu sama sekali tidak terlihat takut dan malah menyunggingkan senyum sinis.
"Berapa kali juga gue harus bilang supaya lo sadar, kalau pacar lo ini adalah calon tunangan gue."
Steven langsung berdiri di tengah-tengah mereka berdua. "Rey, cukup. Aku sama dia enggak ada hubungan apa-apa, aku jemput dia cuma karena perintah Mama aku."
"Seharusnya kamu bisa menolak, kalau kamu emang menghargai perasaan aku. Tapi kamu sama sekali enggak peduli dan selalu bersikap seenaknya. Kamu pikir aku bisa selalu kuat dan gak akan capek sama tingkah kamu?" tanya Reya dengan nada lemah, karena dia memang sudah kehabisan tenaga.
Berhadapan dengan Mama dan Gara di rumah, lalu melihat pacarnya yang bergandengan tangan dengan gadis yang dulunya adalah sahabat dekatnya. Apalagi yang harus Reya hadapi sebentar lagi?
"Kalau capek, kenapa kamu enggak pernah menyerah?" tanya Steven begitu santai. "Aku selalu kasih kesempatan untuk kamu pergi, tapi kamu enggak pernah melakukan itu. Kamu selalu menyalahkan aku dekat sama perempuan lain, tapi kamu juga enggak mau melepas aku. Kamu pikir aku enggak capek dengan semua ini?"
Reya menatap Steven dengan sorot tidak percaya, bisa-bisanya cowok itu mengatakan ini semua di depan banyak orang dan terkesan tidak menghargai perasaan dirinya.
"Aku enggak pernah mau putus, sampai kapanpun aku enggak pernah mau melakukan itu. Aku gak bakalan melepaskan kamu hanya untuk bisa bersama dengan perempuan ini.”
"Kalau enggak mau, maka jangan salahkan kedekatan aku sama Jesika. Aku cuma cinta sama kamu dan aku sama sekali gak merasa keberatan jika harus dekat dengan Jesika karena permintaan orang tua aku. Hanya karena itu, jadi tolong emosi kamu jangan sampai terpancing dan berakhir salah paham.”
Katakanlah Reya bodoh, tapi dia juga bingung harus melakukan apa. Karena bagi Reya, Steven itu sangat berharga.
Cowok ini yang ada di sisinya saat sang papa pergi untuk selama-lamanya. Hanya Steven yang mau menarik Reya keluar dari kegelapan dan meyakinkan Reya untuk melanjutkan kehidupannya.
Reya sangat berterima kasih kepada Steven, tapi dia tidak menyangka karena cowok itu menjadi memiliki kuasa atas dirinya. Dan dia malah semena-mena kepada Reya.
Reya meraih tangan Steven dan menggandengnya. "Ayo kita masuk kelas, sebentar lagi dosennya masuk. Aku enggak mau kamu sampe dihukum karena telat."
Jesika tersenyum puas karena Reya terlihat sangat menyedihkan. Semua orang di jurusan ini tau, bahwa Reya memang selalu mengemis kepada Steven.
Reya hanya berpura-pura kuat di depan banyak orang, tapi Steven selalu berhasil menginjak-injak harga dirinya dan dia sama sekali tidak masalah akan itu.
Reya tidak terima jika ada yang jahat kepada dirinya, tapi jika Steven yang melakukan itu Reya sama sekali tidak masalah.
Karena bagi kehidupan Reya, Steven itu segalanya.
"Papa, aku iri sama Mama karena dia berhasil mendapatkan cinta dari seseorang sebaik Papa.
Pa, apa suatu hari nanti Reya berhasil merasakan bagaimana dicintai dengan sangat tulus? Seperti yang Papa lakukan kepada Mama dulu? Tolong katakan iya, karena Reya menginginkan itu.”
****
Reya keluar dari ruang kuliah bersama dengan Renata pada pukul tiga sore. Jika dulu mereka berteman dekat bertiga, tapi semenjak Jesika menyebarkan berita dia dan Steven akan bertunangan. Renata dan Reya langsung menjauhi perempuan itu.
Reya jelas marah kepada Jesika, seharusnya perempuan itu bisa menolak pertunangan yang akan dilakukan antara dirinya dan Steven. Demi menghargai perasaan Reya yang merupakan pacar Steven sekaligus sahabatnya, tapi sayangnya Jesika malah menggunakan kesempatan itu dengan berkata bahwa selama ini dia juga sudah memendam rasa kepada Steven dan seolah mendapatkan kesempatan untuk memiliki cowok itu sekarang.
Tangan Renata merangkul bahu Reya dengan gigi yang sibuk mengunyah permen karet yang berada di dalam mulutnya. "Oh, itu adik tiri lo. Ternyata lebih cakep aslinya dibandingkan di foto ya."
Reya menatap ke arah mata Renata memandang sekarang dan menemukan keberadaan Gara yang berada di parkiran, sedang duduk di atas motor besarnya lalu melambaikan tangan ke arah Reya sembari tersenyum lebar.
"Gue rasa ada yang salah dari mata lo, sampe bilang kalau orang kayak Gara ganteng. Padahal sama sekali enggak ganteng di mata gue," ujar Reya dengan menatap sinis ke arah Gara yang malah terkekeh.
"Jangan terlalu benci, biasanya yang gitu malah jadi cinta."
Reya mendorong kepala Renata yang berkata seenaknya saja. "Gak bakalan gue naksir sama adik tiri gue sendiri. Lagian Gara sama Steven, masih ganteng Steven dan lebih keren cowok gue."
"Tapi setidaknya Gara gak berengsek kayak Steven. Udah punya pacar tapi masih mau dekat-dekat sama cewek lain.” Sepertinya Renata memang masih menyimpan segudang dendam kepada pacar sahabatnya.
”Ya udah sana lo temui adik tiri lo, baik banget dia sampe datang ke sini buat jemput kakak tirinya. Dibandingkan cowok lo yang lebih milih anterin cewek lain."
"Gue males pulang sama dia, boleh enggak kalau gue bareng sama lo aja?" tanya Reya dengan nada memohon.
Tapi sayangnya Renata menyukai Gara dan ingin agar sahabatnya berinteraksi dengan cowok itu. "Hari ini gue gak mau kasih nebeng siapapun. Sana samperin Gara, dia udah tungguin lo daritadi. Tolong hargai niat baik dia ya, jangan jadi jahat." Renata mendorong tubuh Reya agar segera berjalan ke arah keberadaan Gara.
Reya menghentak kakinya untuk melampiaskan kekesalan. Ternyata sahabat dekatnya dan mamanya sama sekali tidak berbeda, selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan Gara. Padahal mereka tau kalau Reya tidak suka berinteraksi dengan cowok itu.
Dengan keadaan terpaksa, Reya mendekati Gara yang masih duduk di atas motor dengan tampang sok kerennya. Bahkan cowok itu sengaja mengacak-acak rambutnya agar ada mahasiswi yang terpesona.
"Ngapain ke sini? Gue udah bilang sama lo supaya enggak usah jemput gue waktu pulang." Reya bertolak pinggang di depan Gara yang tampak santai. “Kenapa masih keras kepala?”
“Lo pergi sama gue tadi pagi, sebagai cowok yang bertanggung jawab gue juga harus anterin lo pulang ke rumah. Gak mungkin gue biarin lo pusing mikirin harus pulang naik apa."
Reya sangat malas mendengarkan ucapan Gara yang terdengar sangat sok baik. "Pertama, gue masih punya teman dan bisa pulang sama dia. Kedua, gue punya pacar dan dia bisa anterin gue pulang dengan suka rela. Jadi lo jangan sok jadi orang baik buat selalu ada."
Gara terkekeh sinis, kemudian memajukan wajahnya sampai Reya memundurkan dirinya. "Mana cowok yang katanya sayang banget sama lo? Kalau gak salah lihat, dia tadi udah pulang sama cewek yang katanya sahabat lo itu. Sebenarnya lo beneran punya pacar, atau cuma ngaku-ngaku sih?"
"Gue ngaku-ngaku?" tanya Reya dengan menunjuk dirinya sendiri. "Gue enggak semenyedihkan itu untuk ngaku-ngaku pacar orang lain sebagai pacar gue."
"Wah, iya kah? Soalnya gue melihat lo emang sangat menyedihkan. Selain ditolak sama ketua BEM di bulan kedua lo kuliah di sini, lo juga dapat pacar yang enggak tulus."
"Maksud lo?" tanya Reya memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Darimana lo tau semua itu?"
"Kok takut gitu, panik ya rahasia yang selama ini lo sembunyikan rapat-rapat akhirnya ketahuan sama seseorang dan orang itu malah adik tiri lo sendiri?"
Reya mengepalkan tangannya dan menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Gara. Cowok itu sama sekali tidak terlihat takut dan hanya tersenyum sinis, membuat emosi Reya semakin naik ke ubun-ubun. "Siapa yang kasih lo izin buat masuk ke kamar gue dan baca buku diary gue?"
Gara memegang tangan Reya yang berada di kerahnya. "Gue gak sengaja baca, lagian di zaman sekarang emang masih model nulis isi hati di buku diary? Kampungan banget tau, lo kelihatan keren tapi masih melakukan itu semua."
Plak.
Reya memberikan tamparan keras di pipi Gara. "Apapun yang gue lakuin itu hak gue dan gak seharusnya lo ikut campur. Berapa kali gue harus kasih tau sama lo, supaya enggak melewati batas?"
Gara masih sangat santai, padahal emosi Reya sudah sampai ke ubun-ubun dan dia merasa kepalanya mendidih sekarang.
"Tolong sayang dan perlakukan gue selayaknya adik, setelah itu gue janji bakalan baik sama lo dan gak bakalan usik kehidupan lo."
Reya tertawa begitu keras dan memegang bagian perutnya. Sementara Gara terlihat bingung dengan tingkah Reya yang bisa dikatakan terlalu berlebihan dan seolah dibuat-buat.
"Ternyata lo beneran kurang kasih sayang ya. Gue kira lo cukup cari perhatian sama mama gue aja, tapi ternyata lo mau dapat kasih sayang sama gue juga?" Reya merapikan kemeja yang dikenakan oleh Gara.
"Dengar ya, Adik. Apapun yang lo inginkan dari gue enggak pernah menjadi kenyataan. Karena dengan lo berani masuk ke dalam kehidupan gue aja, itu merupakan kesalahan terbesar yang udah lo lakukan dan gue gak akan pernah memaafkan itu."
Reya menepuk bahu Gara dua kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan cowok itu sendirian. Bukannya merasa malu dan tersindir, Gara langsung terkekeh setelah kepergian Reya.
Ternyata memang sangat mudah membuat Reya melupakan emosinya. Jika Gara tidak mengatakan itu tadi, Reya pasti akan membunuh dirinya karena ketahuan membaca buku diary gadis itu.
Gara bernapas lega, setidaknya hari ini dia selamat.
****
Reya selalu merasa iri setiap kali berkunjung ke rumah Renata dan menemukan sahabatnya sangat disayang oleh kedua orang tuanya.
Dulu Reya pernah berada di posisi ini sebelum papanya pergi.
Dulu Reya sama seperti Renata, seorang anak perempuan yang terlalu berlebihan mencintai seorang ayah.
Tapi sekarang Reya jelas kalah dibandingkan Renata yang masih bisa menikmati kehidupannya. Renata masih bisa memeluk sang ayah kapanpun dia inginkan, tapi Reya tidak bisa.
Papanya sudah beristirahat dengan damai di sana, dan beliau tidak perlu merasa sakit kepala dengan tingkah Reya yang keseringan nakal.
"Hei, jangan bengong. Makan dulu, gue tau lo malu kalau harus makan sama Mama dan Papa gue. Makanya gue bawa makanan ke kamar supaya lo leluasa makan."
"Re, kenapa lo baik sama gue?" tanya Reya dengan kepala menunduk.
"Tiba-tiba banget lo tanya gini?" Renata merasa bingung tapi dia paham, kalau Reya sudah seperti ini pasti ada sesuatu yang sedang gadis itu pikirkan.
“Gue cuma mau tau, karena gue terlalu takut lo bakalan meninggalkan gue seperti Jesika suatu hari nanti dan tanpa aba-aba. Karena kalau lo ikutan pergi, gue beneran enggak punya teman lagi di dunia ini."
Renata mengelus pundak Reya. "Lo harus selalu ingat, kalau gue pernah bilang gak akan pergi sekalipun lo usir gue. Jadi gue jelas beda dari Jesika, apapun yang sekarang lo pikirkan tolong disingkirkan dari kepala lo. Jangan sedih dan makan ya, gue enggak mau sakit lo kumat."
Reya bersyukur mempunyai Renata, dia ingin mengatakan itu setiap hari. Tapi Reya terlalu gengsi dan tidak ingin Renata besar kepala.
"Kenapa Mama gue harus menikah dengan seorang pria yang punya anak menyebalkan modelan Gara? Gue benci punya saudara tiri, tapi gue lebih benci karena saudara tiri gue itu Gara." Reya meluapkan emosinya dengan menusuk-nusuk daging yang ada di piringnya.
"Gara pasti punya motif kenapa terlihat begitu menyebalkan, bisa jadi dia naksir sama lo? Dari awal dia tau kalau bakalan punya saudara tiri, dia sama sekali enggak marah dan malah kelihatan senang. Bukannya itu semua terlihat aneh ya?"
Reya menatap Renata dalam diam, kemudian tertawa terpingkal-pingkal. "Gara suka sama gue? Pemikiran halu darimana coba. Ini bukan bagian dari alur film yang sering lo tonton, tentang adik tiri yang naksir sama kakaknya. Hal seperti itu enggak akan terjadi antara gue sama Gara."
"Kenapa lo seyakin itu? Emang udah memastikan kalau Gara gak ada rasa apa-apa sama lo?"
Suara tawa Reya mereda, karena Renata terlihat sangat serius dan sama sekali tidak merasa terusik dengan kalimat bantahan yang baru saja Reya ucapkan.
"Gara suka sama gue? Kalau dia suka enggak mungkin dia menjadi manusia paling menyebalkan dan rasanya pengen gue bunuh."
"Karena emang itu taktik Gara buat narik perhatian lo, Rey. Coba bayangin kalau dia datang sebagai adik yang baik, apa lo akan memikirkan dia? Enggak akan 'kan? Dia menyebalkan, bikin lo kesal dan akhirnya lo selalu ingat sama dia. Artinya taktik Gara berhasil untuk menarik perhatian lo."
"Tapi, Renata. Kemungkinan itu masih sangat minim untuk terjadi. Banyak cewek di luar sana dan Gara gak mungkin suka sama gue yang sekarang udah menjadi saudara tirinya."
"Coba kasih gue bukti kalau Gara emang enggak suka, setelah itu gue gak bakalan ngomong kayak gini lagi. Gue yakin seratus persen kalau Gara emang ada sesuatu sama lo."
"Caranya gimana? Gue harus apa supaya bisa membuktikan kalau Gara punya rasa seperti yang lo bilang?"
Renata mendekat dan membisikkan sesuatu kepada Reya. Gadis itu sampai membulatkan matanya setelah mendengarkan apa yang Renata katakan barusan.
"Re, kayaknya gue enggak segila itu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!