“Katanya terlalu membenci seseorang, ujungnya malah akan jatuh cinta. Tapi jatuh cinta sama kamu, gak pernah ada dibayangan aku dan aku tidak pernah menginginkan itu menjadi sebuah kenyataan yang harus aku terima.”
***
Reya terbiasa berada di lantai dua rumah ini sendirian. Semenjak kehadiran Gara di sini kehidupan tenangnya menjadi terusik dan dia membenci cowok itu. Gara sangat suka membuat ulah dan selalu saja melakukan hal-hal yang membuat darah Reya mendidih saking kesalnya.
Saat Reya keluar dari kamar, dia menemukan mamanya yang baru saja menutup pintu gudang di lantai ini.
"Gara kemana, Ma? Suasana kamarnya kelihatan sepi kayak enggak ada orang."
Mamanya mengernyitkan dahi dan merasa bingung, sejak kapan Reya peduli dengan kehadiran Gara di rumah ini?
"Setelah anterin kamu pulang tadi, dia pergi lagi. Kayaknya mau nongkrong sama teman-temannya. Tumben banget kamu tanyain dia kemana, ada apa?"
Reya menggeleng dan mengulum senyum penuh artinya. "Soalnya aku merasa aneh karena bisa tidur dengan nyenyak dan gak ada suara gaduh dari kamar sebelah. Ya udah kalau gitu Reya mau mandi dulu karena gerah."
Reya langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Dia menunggu beberapa saat, ketika sudah yakin mamanya telah pergi. Reya kembali membukakan pintu kamar dan menemukan keberadaan lantai dua yang sudah kosong, artinya mamanya memang sudah pergi.
Dengan gerakan cepat dia berlari dan masuk ke dalam kamar sebelah yang sedang ditinggal oleh penghuninya.
"Ternyata kamar si cowok berengsek itu lumayan rapi juga." Reya berkeliling di kamar tersebut dan mencari-cari barang mana yang berarti untuk Gara.
Lalu matanya tertuju ke arah gitar listrik, senyum jahatnya langsung muncul. Jika Gara berani mengusik barang pribadi dan masuk ke dalam kamarnya tanpa izin, maka Reya jelas bisa melakukan hal yang sama untuk membalas cowok itu.
"Kayaknya bakalan seru kalau gue main-main sama gitar lo, Gar." Reya mengambil minyak zaitun yang terletak di atas meja kemudian mengoleskan ke permukaan atas gitar.
Setelah itu dia tersenyum puas dan langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak sabar menunggu ekspresi Gara yang kaget nanti malam.
****
Sampai jam sepuluh malam dan Reya sudah selesai dengan makan malam bersama mama juga papa tirinya, Gara tak kunjung pulang. Dia menjadi bosan dan hanya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Mama, siapa yang berani masuk ke kamar aku dan main-main sama gitar listrik ini?"
Samar-samar Reya mendengarkan suara itu, dia langsung duduk di tempat tidur dan menajamkan pendengarannya.
"Enggak ada yang masuk ke kamar kamu, Gara. Mama pikir kamu juga kunci pintu saat meninggalkan kamar."
"Enggak mungkin minyak zaitun yang ada di atas meja bisa tumpah sendiri ke atas gitar yang berada di dekat lemari. Mana Reya sekarang? Pasti dia pelakunya!"
"Bukan Reya, sejak pulang kuliah dia tidur di kamarnya."
"Kalau bukan Reya siapa lagi, Ma. Enggak ada orang yang usil di rumah ini selain dia. Aku minta izin sama Mama untuk menyelesaikan permasalahan ini sama Reya, jadi kalian berdua jangan ada yang ikut campur."
"Ya sudah, Mama harap kamu bisa berbicara baik-baik dan jangan menggunakan emosi."
Mendengarkan itu semua, Reya langsung buru-buru menarik selimut sampai menutupi bagian kepalanya.
Brak.
Pintu kamarnya dibuka dengan kasar, Reya bisa merasakan bahwa Gara sama sekali tidak berjalan mendekat ke arahnya.
Cowok itu ternyata berdiri di depan pintu dengan menyandarkan tubuhnya dan memperhatikan gerak-gerik Reya di sana. "Bangun! Gue tau lo cuma pura-pura tidur. Enggak mungkin lo bisa tidur di jam yang masih terbilang pagi ini."
Reya merasa jantungnya berdebar kencang dibalik selimut, dia mendadak tidak berani jika harus berhadapan dengan Gara sekarang. Padahal sebelumnya dia berharap ini akan menjadi menyenangkan bukan mencekam.
Gara mendekat kemudian menarik selimut yang menutupi tubuh Reya, tapi gadis itu tetap tidak memberikan reaksi apa-apa. Merasa tidak bisa sabar lagi, Gara menarik kaki Reya.
"Apa-apaan sih, kenapa lo ganggu tidur gue?"
Gara tersenyum sinis dan mendekatkan wajahnya ke arah Reya. "Tidur? Enggak usah akting di depan gue, karena gue bukan anak kecil yang bakalan tertipu sama kebohongan lo."
"Gue beneran tidur." Reya berusaha menggapai selimutnya, namun Gara langsung membuang itu menjauh dari Reya.
Gara mencengkeram bahu Reya kuat dan menatap tajam gadis itu. Nafas Gara naik turun seperti orang yang sedang susah payah menahan emosinya. "Gue tau kalau lo yang rusakin gitar gue, jadi sekarang bangun dan benerin gitar gue seperti semula."
"Gue? Jangan asal nuduh gini dong, emang lo punya bukti kalau emang gue pelakunya?" Balas Reya tidak terima. “Fitnah tau gak kalau main nuduh orang sembarangan kayak gini.”
"Gak ada orang lain yang bakalan melakukan ini selain lo. Mama atau Papa jelas enggak mungkin, jadi gak usah akting di depan gue."
Reya kemudian tertawa terbahak-bahak sebab ekspresi Gara memang terlihat sangat kesal.
"Enggak lucu sama sekali, Rey. Gitar itu hadiah ulang tahun dari mama gue dan gak seharusnya lo merusak salah satu barang favorit gue."
"Terus gue harus apa dengan fakta yang baru aja lo bilang? Apa gue harus peduli dan ikut sedih? Gue sama sekali enggak peduli, Gar! Lo yang mulai duluan, lo yang baca diary gue tanpa izin dan itu merusak privasi gue. Paham!" Reya meluapkan emosinya dan mendorong Gara menjauh dari dirinya.
"Diary lo enggak rusak, gue cuma baca karena lo meletakkan barang yang katanya berharga itu di atas meja belajar. Gue cuma lihat dikit karena gue penasaran. Jadi kenapa lo balas gue dengan cara yang enggak masuk akal ini?”
"Gak usah banyak alasan, itu jelas lo udah tau sama urusan privasi gue. Semua yang ada di diary itu dulunya cuma gue yang tau, tapi sekarang karena tingkah enggak sopan lo itu. Lo jadi tau apa isi dari diary gue."
"Rey, gue sama sekali gak tertarik dan gak mau tau sama kehidupan lo. Lagian gue udah lupa sama semua yang gue baca di sana. Tapi apa yang lo lakuin sama gue, hah? Bisa lo ganti gitar itu? Gak akan bisa! Sebab kalaupun lo ganti rasanya bakalan beda, gitar itu gak bisa menjadi hadiah paling berharga yang pernah dikasih sama mama gue."
"Berapa kali gue harus bilang kalau gue sama sekali gak peduli sama kisah yang menyangkut gitar itu? Gue cuma membalas karena lo merusak privasi gue, adil 'kan? Lo yang mulai Gara, jangan bertingkah seolah-olah lo yang korban di sini."
Gara menggeleng kepalanya dan mengacak-acak rambutnya untuk melampiaskan kekesalan. Dia benci ketika melihat Reya tersenyum mengejek seperti sekarang. Dia benci karena Reya bisa menjadi begitu jahat. Tapi yang paling Gara benci adalah, dia masih bisa terpesona dengan gadis jahat ini.
"Sama sekali enggak fair, Re. Apa yang lo lakukan udah keterlaluan dan lo harus tanggung jawab." Gara menarik Reya sampai gadis itu terjatuh dari kasur.
"Aduh." Teriak Reya karena pantatnya yang baru saja mencium lantai terasa sangat sakit sekarang. "Keluar dari kamar gue dan berhenti mengusik ketenangan gue. Sejak awal gue selalu bilang sama lo, buat jangan melanggar batasan. Apa lo sama sekali enggak bisa ngerti? Lo bego apa tuli sampe gue harus peringatkan lo beberapa kali?"
Reya menjadi semakin menggebu-gebu dan ikutan terpancing emosinya karena berhadapan dengan Gara seperti sekarang.
”Keluar!” Reya kembali berteriak di depan wajah Gara yang terlihat tenang.
"Sekarang gue paham alasan ketua BEM itu menolak lo." Gara memainkan rambut Reya yang mendadak terdiam dan tubuhnya menjadi kaku. "Gue akui lo emang sangat cantik bahkan semua orang yang melihat lo bisa langsung jatuh cinta dengan mudah. Tapi dengan emosi lo yang sulit dikontrol, bikin orang harus mikir dua kali buat pacarin lo. Contohnya Steven yang sekarang main-main sama lo 'kan? Karena dia jatuh cinta sama sahabat lo, tapi dia masih punya hati dan gak langsung buang lo gitu aja."
Reya menepis tangan Gara dari rambutnya. "Lo pikir dengan mengatakan hal itu, bisa bikin gue merasa kalah? Gue gak bakalan pernah kalah dari lo dan cara lo sama sekali gak berhasil.”
"Hidup bagi lo isinya hanya sebatas perlombaan aja ya? Padahal lo bisa menikmati kehidupan tanpa harus seperti itu. Gak perlu memikirkan siapa yang menang dan siapa yang harus kalah.”
Gara kembali memegang pundak Reya. "Gue gak bakalan melepaskan lo, jadi tolong tanggung jawab dan perbaiki gitar gue seperti semula. Gue enggak mau gitar baru, gue cuma mau gitar hadiah ulang tahun dari mama bisa seperti semula."
"Kalau gue enggak mau?" tanya Reya dengan sangat berani.
Gara terdiam beberapa saat dan berpikir, kemudian dia tersenyum sinis. "Gue bisa bongkar semua rahasia memalukan yang ada diary itu. Tentang seorang gadis yang berumur dua puluh tahun, tapi enggak pernah merasakan first kiss dari cowok yang disuka. Tepatnya dia ditolak saat ingin mencium pacarnya sendiri."
Gara menepuk bahu Reya dengan tertawa meremehkan. "Gue gak menyangka ternyata lo semenyedihkan itu ya, Re. Lo cuma pura-pura kelihatan oke padahal sangat memalukan.”
”Jangan pernah ikut campur sama urusan gue dan sekarang keluar dari sini!” Reya mendorong tubuh Gara dengan seluruh tenaga yang masih dia punya. Reya tidak ingin semakin terlihat kalah di depan Gara.
Reya melemparkan boneka ketika Gara sudah keluar dari kamarnya dan kembali menutup pintu dengan rapat. Reya ingin berteriak untuk meluapkan kekesalannya tapi dia tidak mau Gara semakin merasa menang dari dirinya.
Lo emang cantik, tapi dengan emosi lo yang bermasalah bikin orang-orang mikir dua kali buat jatuh cinta sama lo.
Kalimat-kalimat yang Gara ucapkan terus saja terngiang-ngiang di kepalanya saat ini.
Reya memang membenci Gara sejak awal dan semua orang terdekatnya sudah tau itu.
Tapi Reya jauh lebih benci karena apa yang Gara katakan memang sebuah fakta jahat yang harus Reya terima dengan susah payah selama hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments