"Papa, aku iri sama Mama karena dia berhasil mendapatkan cinta dari seseorang sebaik Papa.
Pa, apa suatu hari nanti Reya berhasil merasakan bagaimana dicintai dengan sangat tulus? Seperti yang Papa lakukan kepada Mama dulu? Tolong katakan iya, karena Reya menginginkan itu.”
****
Reya keluar dari ruang kuliah bersama dengan Renata pada pukul tiga sore. Jika dulu mereka berteman dekat bertiga, tapi semenjak Jesika menyebarkan berita dia dan Steven akan bertunangan. Renata dan Reya langsung menjauhi perempuan itu.
Reya jelas marah kepada Jesika, seharusnya perempuan itu bisa menolak pertunangan yang akan dilakukan antara dirinya dan Steven. Demi menghargai perasaan Reya yang merupakan pacar Steven sekaligus sahabatnya, tapi sayangnya Jesika malah menggunakan kesempatan itu dengan berkata bahwa selama ini dia juga sudah memendam rasa kepada Steven dan seolah mendapatkan kesempatan untuk memiliki cowok itu sekarang.
Tangan Renata merangkul bahu Reya dengan gigi yang sibuk mengunyah permen karet yang berada di dalam mulutnya. "Oh, itu adik tiri lo. Ternyata lebih cakep aslinya dibandingkan di foto ya."
Reya menatap ke arah mata Renata memandang sekarang dan menemukan keberadaan Gara yang berada di parkiran, sedang duduk di atas motor besarnya lalu melambaikan tangan ke arah Reya sembari tersenyum lebar.
"Gue rasa ada yang salah dari mata lo, sampe bilang kalau orang kayak Gara ganteng. Padahal sama sekali enggak ganteng di mata gue," ujar Reya dengan menatap sinis ke arah Gara yang malah terkekeh.
"Jangan terlalu benci, biasanya yang gitu malah jadi cinta."
Reya mendorong kepala Renata yang berkata seenaknya saja. "Gak bakalan gue naksir sama adik tiri gue sendiri. Lagian Gara sama Steven, masih ganteng Steven dan lebih keren cowok gue."
"Tapi setidaknya Gara gak berengsek kayak Steven. Udah punya pacar tapi masih mau dekat-dekat sama cewek lain.” Sepertinya Renata memang masih menyimpan segudang dendam kepada pacar sahabatnya.
”Ya udah sana lo temui adik tiri lo, baik banget dia sampe datang ke sini buat jemput kakak tirinya. Dibandingkan cowok lo yang lebih milih anterin cewek lain."
"Gue males pulang sama dia, boleh enggak kalau gue bareng sama lo aja?" tanya Reya dengan nada memohon.
Tapi sayangnya Renata menyukai Gara dan ingin agar sahabatnya berinteraksi dengan cowok itu. "Hari ini gue gak mau kasih nebeng siapapun. Sana samperin Gara, dia udah tungguin lo daritadi. Tolong hargai niat baik dia ya, jangan jadi jahat." Renata mendorong tubuh Reya agar segera berjalan ke arah keberadaan Gara.
Reya menghentak kakinya untuk melampiaskan kekesalan. Ternyata sahabat dekatnya dan mamanya sama sekali tidak berbeda, selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan Gara. Padahal mereka tau kalau Reya tidak suka berinteraksi dengan cowok itu.
Dengan keadaan terpaksa, Reya mendekati Gara yang masih duduk di atas motor dengan tampang sok kerennya. Bahkan cowok itu sengaja mengacak-acak rambutnya agar ada mahasiswi yang terpesona.
"Ngapain ke sini? Gue udah bilang sama lo supaya enggak usah jemput gue waktu pulang." Reya bertolak pinggang di depan Gara yang tampak santai. “Kenapa masih keras kepala?”
“Lo pergi sama gue tadi pagi, sebagai cowok yang bertanggung jawab gue juga harus anterin lo pulang ke rumah. Gak mungkin gue biarin lo pusing mikirin harus pulang naik apa."
Reya sangat malas mendengarkan ucapan Gara yang terdengar sangat sok baik. "Pertama, gue masih punya teman dan bisa pulang sama dia. Kedua, gue punya pacar dan dia bisa anterin gue pulang dengan suka rela. Jadi lo jangan sok jadi orang baik buat selalu ada."
Gara terkekeh sinis, kemudian memajukan wajahnya sampai Reya memundurkan dirinya. "Mana cowok yang katanya sayang banget sama lo? Kalau gak salah lihat, dia tadi udah pulang sama cewek yang katanya sahabat lo itu. Sebenarnya lo beneran punya pacar, atau cuma ngaku-ngaku sih?"
"Gue ngaku-ngaku?" tanya Reya dengan menunjuk dirinya sendiri. "Gue enggak semenyedihkan itu untuk ngaku-ngaku pacar orang lain sebagai pacar gue."
"Wah, iya kah? Soalnya gue melihat lo emang sangat menyedihkan. Selain ditolak sama ketua BEM di bulan kedua lo kuliah di sini, lo juga dapat pacar yang enggak tulus."
"Maksud lo?" tanya Reya memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Darimana lo tau semua itu?"
"Kok takut gitu, panik ya rahasia yang selama ini lo sembunyikan rapat-rapat akhirnya ketahuan sama seseorang dan orang itu malah adik tiri lo sendiri?"
Reya mengepalkan tangannya dan menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Gara. Cowok itu sama sekali tidak terlihat takut dan hanya tersenyum sinis, membuat emosi Reya semakin naik ke ubun-ubun. "Siapa yang kasih lo izin buat masuk ke kamar gue dan baca buku diary gue?"
Gara memegang tangan Reya yang berada di kerahnya. "Gue gak sengaja baca, lagian di zaman sekarang emang masih model nulis isi hati di buku diary? Kampungan banget tau, lo kelihatan keren tapi masih melakukan itu semua."
Plak.
Reya memberikan tamparan keras di pipi Gara. "Apapun yang gue lakuin itu hak gue dan gak seharusnya lo ikut campur. Berapa kali gue harus kasih tau sama lo, supaya enggak melewati batas?"
Gara masih sangat santai, padahal emosi Reya sudah sampai ke ubun-ubun dan dia merasa kepalanya mendidih sekarang.
"Tolong sayang dan perlakukan gue selayaknya adik, setelah itu gue janji bakalan baik sama lo dan gak bakalan usik kehidupan lo."
Reya tertawa begitu keras dan memegang bagian perutnya. Sementara Gara terlihat bingung dengan tingkah Reya yang bisa dikatakan terlalu berlebihan dan seolah dibuat-buat.
"Ternyata lo beneran kurang kasih sayang ya. Gue kira lo cukup cari perhatian sama mama gue aja, tapi ternyata lo mau dapat kasih sayang sama gue juga?" Reya merapikan kemeja yang dikenakan oleh Gara.
"Dengar ya, Adik. Apapun yang lo inginkan dari gue enggak pernah menjadi kenyataan. Karena dengan lo berani masuk ke dalam kehidupan gue aja, itu merupakan kesalahan terbesar yang udah lo lakukan dan gue gak akan pernah memaafkan itu."
Reya menepuk bahu Gara dua kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan cowok itu sendirian. Bukannya merasa malu dan tersindir, Gara langsung terkekeh setelah kepergian Reya.
Ternyata memang sangat mudah membuat Reya melupakan emosinya. Jika Gara tidak mengatakan itu tadi, Reya pasti akan membunuh dirinya karena ketahuan membaca buku diary gadis itu.
Gara bernapas lega, setidaknya hari ini dia selamat.
****
Reya selalu merasa iri setiap kali berkunjung ke rumah Renata dan menemukan sahabatnya sangat disayang oleh kedua orang tuanya.
Dulu Reya pernah berada di posisi ini sebelum papanya pergi.
Dulu Reya sama seperti Renata, seorang anak perempuan yang terlalu berlebihan mencintai seorang ayah.
Tapi sekarang Reya jelas kalah dibandingkan Renata yang masih bisa menikmati kehidupannya. Renata masih bisa memeluk sang ayah kapanpun dia inginkan, tapi Reya tidak bisa.
Papanya sudah beristirahat dengan damai di sana, dan beliau tidak perlu merasa sakit kepala dengan tingkah Reya yang keseringan nakal.
"Hei, jangan bengong. Makan dulu, gue tau lo malu kalau harus makan sama Mama dan Papa gue. Makanya gue bawa makanan ke kamar supaya lo leluasa makan."
"Re, kenapa lo baik sama gue?" tanya Reya dengan kepala menunduk.
"Tiba-tiba banget lo tanya gini?" Renata merasa bingung tapi dia paham, kalau Reya sudah seperti ini pasti ada sesuatu yang sedang gadis itu pikirkan.
“Gue cuma mau tau, karena gue terlalu takut lo bakalan meninggalkan gue seperti Jesika suatu hari nanti dan tanpa aba-aba. Karena kalau lo ikutan pergi, gue beneran enggak punya teman lagi di dunia ini."
Renata mengelus pundak Reya. "Lo harus selalu ingat, kalau gue pernah bilang gak akan pergi sekalipun lo usir gue. Jadi gue jelas beda dari Jesika, apapun yang sekarang lo pikirkan tolong disingkirkan dari kepala lo. Jangan sedih dan makan ya, gue enggak mau sakit lo kumat."
Reya bersyukur mempunyai Renata, dia ingin mengatakan itu setiap hari. Tapi Reya terlalu gengsi dan tidak ingin Renata besar kepala.
"Kenapa Mama gue harus menikah dengan seorang pria yang punya anak menyebalkan modelan Gara? Gue benci punya saudara tiri, tapi gue lebih benci karena saudara tiri gue itu Gara." Reya meluapkan emosinya dengan menusuk-nusuk daging yang ada di piringnya.
"Gara pasti punya motif kenapa terlihat begitu menyebalkan, bisa jadi dia naksir sama lo? Dari awal dia tau kalau bakalan punya saudara tiri, dia sama sekali enggak marah dan malah kelihatan senang. Bukannya itu semua terlihat aneh ya?"
Reya menatap Renata dalam diam, kemudian tertawa terpingkal-pingkal. "Gara suka sama gue? Pemikiran halu darimana coba. Ini bukan bagian dari alur film yang sering lo tonton, tentang adik tiri yang naksir sama kakaknya. Hal seperti itu enggak akan terjadi antara gue sama Gara."
"Kenapa lo seyakin itu? Emang udah memastikan kalau Gara gak ada rasa apa-apa sama lo?"
Suara tawa Reya mereda, karena Renata terlihat sangat serius dan sama sekali tidak merasa terusik dengan kalimat bantahan yang baru saja Reya ucapkan.
"Gara suka sama gue? Kalau dia suka enggak mungkin dia menjadi manusia paling menyebalkan dan rasanya pengen gue bunuh."
"Karena emang itu taktik Gara buat narik perhatian lo, Rey. Coba bayangin kalau dia datang sebagai adik yang baik, apa lo akan memikirkan dia? Enggak akan 'kan? Dia menyebalkan, bikin lo kesal dan akhirnya lo selalu ingat sama dia. Artinya taktik Gara berhasil untuk menarik perhatian lo."
"Tapi, Renata. Kemungkinan itu masih sangat minim untuk terjadi. Banyak cewek di luar sana dan Gara gak mungkin suka sama gue yang sekarang udah menjadi saudara tirinya."
"Coba kasih gue bukti kalau Gara emang enggak suka, setelah itu gue gak bakalan ngomong kayak gini lagi. Gue yakin seratus persen kalau Gara emang ada sesuatu sama lo."
"Caranya gimana? Gue harus apa supaya bisa membuktikan kalau Gara punya rasa seperti yang lo bilang?"
Renata mendekat dan membisikkan sesuatu kepada Reya. Gadis itu sampai membulatkan matanya setelah mendengarkan apa yang Renata katakan barusan.
"Re, kayaknya gue enggak segila itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments