Back To Reality

Diba sudah selesai mengemasi barang barangnya yang akan ia bawa ke tanah rantau. Hanya beberapa pakaian saja. Karena sebagian ia tinggal. Bukan karena terlalu banyak, tapi memang ia berniat mengisinya dengan yang baru.

Malam itu adalah malam terakhir Diba dirumah. Besok pagi pukul 11.00 WIB, dengan menaiki bis ia berangkat kembali untuk merantau.

Melewati 24 jam lebih diperjalanan. Setelah kurang lebih 3 minggu menghabiskan masa liburannya dirumah.

Saatnya kembali menjalani realita, ia sebagai pelajar. Bergumul dengan berbagai tugas, baik sisi akademik atau yang lain.

Diba mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di DI Yogyakarta. Merupakan dari salah satu Akademi Manajemen Administrasi se-Yogyakarta. Lokasinya cukup strategis masih dalam kabupaten kota Yogyakarta, meski berada diujung selatannya berbatasan dengan kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Perguruan tinggi dengan satu program studi dan tiga jurusan itu mengharuskan mahasiswa/i nya menyelesaikan perkulihan selama 6 semester atau 3 tahun. Agar dikatakan benar benar lulus dan siap memasuki dunia kerja.

Memasuki semester baru nanti, Diba menginjak semester ke lima di kampus tersebut. Yang artinya kurang lebih dua tahun sudah lamanya ia merantau ke Jogja. Dan kurang satu tahun kedepan ia sudah menyelesaikan pendidikannya.

Diba sudah berani bila bolak-balik mudik sendiri.

Bahkan ia merasa lebih nyaman. Ketimbang jika ada teman bersamanya.

Dan Pada dasarnya ia memang lebih suka berdiam diri menikmati pemandangan jalan diluar, daripada mengobrol terus menerus diperjalanan. Jikapun ada disituasi itu, Diba lebih banyak mendengarkan.

Teringat pertama kali Diba merantau. Itupun juga pertama kalinya ia pergi jauh dari rumah yang akan dalam jangka waktu yang lama.

Ia belum berani bila pergi sendiri kala itu. Jadilah Pak Ahmad, sang bapak mengantarkannya langsung ke Jogja. Padahal Diba tidak memaksa untuk diantar. Melainkan ketidak tegaan Pak Ahmad, bila ia pergi sendiri.

Hingga seminggu penuh Pak Ahmad menemani Diba dari mencari kost kostan sampai mengenali lingkungan sekitar. Sebelum akhirnya melepaskan Diba untuk hidup mandiri.

''Wes rampung nduk?. (Sudah selesai nduk?'' suara Pak Ahmad yang tiba tiba muncul dari arah pintu kamar Diba. Langsung membuat Diba terlonjak kaget, tangannya reflek memegangi dadanya. Jantungnya berdegup sangat kencang.

''Astaghfirullah... Bapak... Ngopo mesti ngageti sii...(Astaghfirullah... Bapak... Kenapa mesti ngagetin sii...)'' seru Diba sedikit berteriak, karena sangat merasa terkejut. Apakah bapaknya ini sedang bercosplay menjadi hantu, pikirnya. Karena tak mendengar langkah kaki mendekat pun, tapi suaranya muncul tiba tiba.

Diba memang mudah kaget jantung bila menyangkut hal hal spontan yang mengejutkannya. Terlebih bila ia sedang focus mengerjakan sesuatu atau sekedar berdiam sambil memikirkan sesuatu. Akan sangat mudah terkejut mendengar sesuatu yang spontan.

Benar benar merasa jantungnya memompa berkali lipat lebih cepat dari biasanya.

Itu adalah pembawaannya sejak lahir dan bersyukurnya hal itu tak sampai membuatnya latah atau gagap berbicara.

''Opo to, wong nang jero umah kok kaget. (Apa sih, orang didalam rumah kok kaget)'' sahut heran Pak Ahmad, yang merupakan jawaban khas bila berada di situasi itu.

''Yo tetep ae.. Wes reti anak e kagetan juga. (Ya tetap saja.. Sudah tau anaknya kagetan juga '' dengus Diba, yang masih mengontrol nafas dan degup jantungnya agar normal kembali.

Sambil melanjutkan aktivitasnya yang sempat terjeda, menata koper dan kardus oleh oleh yang sudah terisi didekat lemari.

Perlahan Pak Ahmad terlihat mendekati Diba, berdiri disampingnya. Diba sedang posisi menunduk dengan tangannya sibuk menata. Yang sesaat kemudian menegakkan tubuhnya, merasa bapaknya itu akan menyampaikan sesuatu. Ia menoleh kesamping memandang bapaknya.

''Ati ati mengko nang dalan (Hati hati nanti di jalan) '' ucap Pak Ahmad terdengar sendu dan berat. Tangannya sambil menepuk punggung Diba.

Matanya memandangi barang bawaan putrinya. Tak berani menatap Diba langsung.

''Nek wes tekan kono, ojo lali langsung telfon bapak. (Kalau sudah sampai sana, jangan lupa telfon bapak)'' sambung Pak Ahmad lagi, kemudian mengelus kepala putrinya sesaat dan beranjak keluar dari kamar Diba.

Meninggalkan Diba yang masih berdiri itu, memandangi punggung bapaknya perlahan menghilang dari balik pintu.

Diba tak sempat menjawab. Ia bahkan belum sepenuhnya mencerna perkataan bapaknya. Tapi yang iya yakini itu adalah bentuk doa dan pesan dari bapaknya.

Membuatnya menarik senyum tipis, senang akan kekhawatiran dan perhatian yang secara tak langsung ditunjukkannya itu.

Pak Ahmad memang jarang sekali bahkan hampir tak pernah berbicara panjang. Tak seperti orang tua lain yang mesti berbicara panjang lebar baik itu berisi nasihat, omelan atau lainnya.

Bapak Diba itu hanya melontarkan kata seperlunya saja tapi tersirat banyak makna. Lebih memilih menunjukkannya langsung dalam bentuk tindakan.

Tapi mengingat jika ia harus meninggalkan bapaknya sendirian, tiba tiba matanya memanas.

Diba menjadi tak bisa membantu bapaknya mengurus rumah.

Mengingat bapaknya harus memasak, bebersih, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lain yang biasa dilakukan perempuan itu, dilakukan sendiri oleh bapaknya.

Air matanya perlahan melaju deras dengan suara yang ditahannya. Dadanya menjadi sesak.

Jujur Diba terkadang marah pada takdir. Mengapa harus sejahat itu sampai membuat bapaknya menjadi Duda. Disaat masih membutuhkan sosok seorang istri yang dicintainya, menemani dan melewati suka duka mengurus anak anak mereka.

Diba memang sangat merasa kehilangan. Tapi jelas bapaknya itu pasti lebih lebih merasa sakit dan kehilangan.

Bapaknya itu sangat mencintai ibunya, bahkan sampai sekarang setelah hampir 10 tahun masih bertahan sendiri. Tak ada keinginan menikah kembali.

Setiap ditanya mengapa, jawabannya pasti 'selalu teringat ibu' itu terus. Yang mungkin artinya tetap menjadikan ibu satu satunya istri, meski sudah berbeda alam.

Inhale, Exhale...

Diba perlahan mengatur nafas setelah beberapa saat terus menangis.

Tidak, dia tidak boleh melemah. Dia harus tetap kuat.

Ini adalah keinginan dan cita citanya. Bapaknya bahkan selalu mendukungnya dan tak pernah mengeluh atau menuntut apapun. Menjadi sukses terdidik adalah harapannya, yang akan ia persembahkan untuk bapaknya kelak. Jadi ia harus tahan banting, termasuk juga hatinya.

Diba menghapus air mata dipipinya. Tangannya ia kepalkan didepan dada.

Aku pasti bisa.

Menyemangati diri sendiri bahwa ia bisa melewati apapaun yang dihadapi dedepan. Tak akan ia menyerah sekarang, meski selalu berat meninggalkan bapaknya sendirian.

Besok Diba akan pergi ke tempat pemberangkatan bis dengan diantar Pak Ahmad. Matanya tak boleh sembab dan tetap menunjukkan raut wajah ceria dan antusias didepan bapaknya.

Perasaan sedih harus ia sembunyikan, tak boleh sama sekali terlihat. Agar bapaknya pun tak berat melepasnya pergi.

...----------------...

Terima kasih yang sudah bersedia membaca novel pertama meymey ini.. semoga suka ya. terus ikutin kelanjutannya.

Boleh follow IG meymey @meyginia

Terpopuler

Comments

madafi

madafi

semangattt dibaa

2023-09-11

1

Fu Jinlee

Fu Jinlee

Cepat update, jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!

2023-07-11

0

Helen Dorty

Helen Dorty

Thor, kapan update selanjutnya?

2023-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!