Erina Maulidina Sofyan

''Kamu sudah ada jawaban atau belum?.'' tanya seorang pria paruh baya kepada putrinya. Suaranya tidak meninggi tapi terdengar cukup tegas sesuai pembawaannya.

''Belum. Yah. Sebenarnya Erin belum siap. Masih ingin melanjutkan kuliah lebih dalu. Merasakan dunia kerja juga. Usia Erin masih muda, masih banyak yang ingin dilakukan. Tapi Erin juga takut bila menolak, malah membuat malu Ayah atau bahkan menjadi gunjingan orang.'' Jawabnya dengan suara pelan. Sambil menunduk dan tangan saling menggenggam, tak berani menatap sang ayah, yang tengah duduk disofa tunggal sebelah kanannya.

Erin terlihat jelas masih merasa bimbang. Takut membuat kecewa banyak orang. Hatinya memang sudah memilih. Ia bahkan sudah sangat yakin setelah ratusan kali menimang dan memikirkannya.

Tapi ia juga tidak bisa memutuskan dan mengungkapkannya secara lantang. Sisi hatinya yang lain ada rasa tak tega juga. Takut menyakiti.

Liburan akhir semester kali ini, Erin memang memilih untuk mudik ke kampung halaman. Angannya bisa melakukan banyak hal yang menyenangkan dan mengobati kerinduan terhadap orangtua dan saudara saudaranya. Tak ingin memikirkan banyak hal seperti ia di tanah rantau. Benar benar ingin bahagia sejenak.

Tapi semua itu harus hancur, kala sehari setelah Erin sampai dirumahmya. Seorang pemuda datang kerumah dengan membawa kedua orangtua dan beberapa kerabatnya. Bermaksud mmeminangnya. Bahkan meminta mereka menikah dalam satu bulan kedepan. Tak mungkin ia tak terkejut.

Erin merasa tak mendapat pemberitahuan sebelumnya. Bahkan firasat sekalipun. Sebelum ia pulang, percakapan dengan orangtuanya bahkan masih normal seperti biasa. Ibunya yang selalu ceria dan berceloteh ria. Dan ayahnya yang berbicara seperlunya tapi penuh keposesifan. Tak ada raut keseriusan atau sesuatu yang ditutupi sekalipun.

Erin bukannya tak mengenal pemuda tersebut. Ia bahkan pernah sangat sangat dekat dengannya. Pernah melewati suka duka. Lebih tepatnya dia adalah cinta pertama sekaligus kekasih pertamanya. Ia tak pernah lupa kebersamaan mereka dulu. Masa remaja yang selalu ingin mencoba banyak hal.

Seperti halnya Erin pernah membeli dan diam diam menonton sebuah CD drama korea yang tengah populer kala itu. Ia sangat penasaran. Padahal jelas tidak boleh menonton, terlebih membawanya di lingkungan pondok pesantren. Hukuman sudah pasti berlaku, dan ia merasakannya.

Iya Erin adalah santri sebelum akhirnya memilih merantau ke kota pelajar di pulau Jawa. Ia tidak menyesal, bahkan tertantang sekali. Yang ia takuti hanya, sang ayah yang merupakan salah satu diantara jajaran pengurus pondok.

Selain takut mencoreng nama baik ayahnya, tentu amukan tak bisa ia hindari.

Pada saat Erin berpacaran dengan pemuda itu, ayahnya sempat melarang. Tapi tak mengekang akhirnya. Latar belakang sang pemuda ialah salah satu anak konglomerat dan mempunyai nasab keturunan Nabi di kalimantan.

Siapapun orang tua pasti menginginkan menantu dengan background tersebut. Keluarga sang pemuda pun tak mempermasalahkan mereka berpacaran.

Tapi bukan itu yang dihindari ayahnya diawal. Ia merupakan salah satu anak perempuan yang dimilikinya, jelas tak ingin bila berjalan ke arah yang salah. Tapi jiwa muda Erin jelas menentang.

Bukannya Erin tak suka bila pemuda itu meminangnya. Siapa juga yang tak ingin memiliki sesosok suami sepertinya. Bahkan pemuda itu cinta pertamanya pula. Menjadi cinta terakhir, tentu sangat indah bukan bila dibayangkan.

Tapi bila sekarang, Erin benar benar belum siap. Terlebih mereka sudah putus dua tahun lalu, tepat tiga bulan setelah ia memutuskan berkuliah diluar kota.

Pemuda itu yang memutuskan Erin. Dan tak pernah berkomunakasi sekalipun setelahnya.

Bukan karena jarak, bukan. Tapi karena pemuda itu sedang berfokus menghafal Al-qur'an, untuk menjadi seorang Hafidz Quran. Dan tentu itu ditentang bila mereka masih tetap berpacaran dan akan menggangu proses menghafalnya.

Tentang perasaan Erin pada pemuda itu, ia juga tak tau masih sama atau tidak seperti dulu.

Pinangan itupun adalah janji pemuda itu pada Erin sebelum mereka putus. Dia benar benar tulus pada Erin, dan hanya meminta waktu untuk menjadi lebih baik. Erin sebenarnya bangga dengannya.

Meski untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya, namun ia tetap berbakti. Sekarang pemuda itu telah mewujudkan harapan orang tua nya itu. Dan juga ingin menunaikan janji pada Erin.

Erin pun tak pernah melirik pemuda lain, meski banyak bertemu dan didekati oleh laki laki dikampusnya. Walaupun dekat dan jalan bersama sudah sering dilakukannya. Tapi itu tak menyentuh hatinya. Apakah diam diam ia juga menunggu janji dari pemuda itu?.

Terlebih bila mengingat pertemuan pertama keduanya yakni di pasar dekat pondoknya.

Saat itu Erin dan teman sekamarnya diam diam menyelinap keluar pondok siang hari. karena ingin membeli CD drama korea terbaru yang diincarnya.

Erin yang tengah berjalan akan memasuki pasar. Melihat sosok remaja laki laki sebayanya yang sedang berjongkok sendirian, tepat disamping jalan masuk. Penampilannya benar benar tak ada kesan rapi sama sekali, bahkan mungkin bila sekilas orang melihatnya benar benar seperti berandalan.

Tapi bukan itu yang menjadi focus utama Erin. Meski cara berpakaiannya sangat berantakan, tapi sorot mata sedih dan raut wajah yang benar benar sangat sendu tak bisa tertutupi.

Erin lagi lagi penasaran dan ingin tau apa yang sedang dialami oleh remaja laki laki tersebut.

Erin memberanikan diri untuk mendekati remaja laki lakiitu. Teman temannya sudah melarang. Tapi rasa penasarannya tentu harus benar benar dituntaskan. Ia sudah didepan pemuda itu yang langsung mendongakkan kepalanya setelah menyadari kehadirannya.

''Hai''. Itu adalah kata yang Erin fikirkan sebelum merasa kebingungan beberapa menit.

''Kenapa?'' tanya remaja laki laki itu heran. Kebingungan terlihat jelas di raut wajahnya.

''Enggak, aku cuma penasaran kenapa kamu sendirian. Temen-temen kamu yang lain mana? Atau kamu mau beli sesuatu disini?'' sambung Erin.

''Aku memang sendirian. Gak tau temenku pada kemana.'' remaja itu menjawab dengan menunduk sedih. Bahkan matanya sudah memanas.

''Oo gitu. Aku mau ngobrol sama kamu. Boleh enggak?'' tanya Erin yang tatapannya terus lurus ke arah remaja itu.

Erin sudah ditinggal teman teman yang bersamanya tadi. Ia menyuruh mereka masuk lebih dulu, dan bilang akan menyusul nanti. Tapi sesuatu yang didepannya ini masih menarik perhatiannya. Terdengar remaja itu menjawab dengan lirih 'boleh', tetap menunduk.

Percakapan mereka terus berlanjut sampai mereka akhirnya berpisah menjelang waktu maghrib.

Rasa penasaran Erin sudah tertuntaskan. Raut sendu yang ditampilkan pemuda itu ternyata karena sehabis dimarahi orang tuanya.

Merupakan laki laki satu satunya dikeluarga. Dia dituntut banyak hal. Menjadi terbaik, menjadi kuat dan menjadi lainnya yang lebih.

Kekayaan yang dimiliki kedua orang tuanya tak lantas membuat dia bahagia. Mereka sibuk bekerja sedangkan dia, harus berjuang sendiri dan menjadi mandiri sedini mungkin.

Jelas dia tak terima dan berontak. Mereka tak mencurahkan kasih sayang sepenuhnya tapi menuntut banyak hal darinya.

Dia merasa tak sekuat itu.

Sering bolos sekolah, merokok, tawuran apapun yang sekiranya bisa menarik perhatian kedua orang tuanya. Termasuk cara berpakaiannya yang sangat tidak mencerminkan citra keluarganya.

Hari hari berikutnya mereka tetap bercakap, baik via ponsel yang dilakukan diam diam karena Erin di Pondok. Atau mereka sepakat bertemu.

Remaja laki laki itu semakin nyaman dengan Erin. Membuatnya juga termotivasi merubah diri.

Dia akhirnya mengikuti saran Erin dengan menjadi santri juga. Ia selalu teringat dengan kata sederhana Erin, Buktikan pada mereka kalau kamu bisa menjadi baik tanpa mereka. Hanya itu, tapi sangat berarti baginya.

Kedekatan mereka berakhir sepakat menjalin hubungan. Bahkan hingga enam tahun berjalan sampai terjadi perpisahan itu. Itu sangat membekas bagi Erin. Mungkin akan selamanya.

''Iya tidak apa apa bila kamu belum siap. Jangan fikirkan bagaimana nanti. Ayah tidak apa apa. Ayah pun sebenarnya belum siap melepasmu. Kamu masih kecil bagi ayah, masih 20 tahun. Perlu banyak hal yang harus kamu pahami dulu. Menikah juga tidak mudah. Lanjutkan saja kuliahmu bila perlu sampai selesai S2. Ayah dukung.'' ujar Ayahnya.

Sedikit menyadarkan Erin dari lamunan sejenak. Entah mengapa perkataan ayahnya terdengar ada kelegaan. Sedikit menenangkan hatinya juga.

''Iya. Yah. Nanti Erin fikirkan matang matang kembali. Erin pun tak mau salah langkah juga. Masih ada waktu dua hari lagi sebelum keluarganya datang menagih jawaban Erin. Erin akan menyiapkan jawaban terbaik. Sebisa mungkin tidak menyakiti kedua belah pihak'' jawab Erin. Benar benar hatinya sedikit tenang.

''Iya.. Ya sudah kalau begitu. Ayo siap siap sholat maghrib.'' ucap Ayahnya sambil berdiri dan mulai melangkah pergi masuk.

''Iya. Yah.'' jawab Erin

Percakapan ayah dan anak itu berakhir dan Erin masuk ke kamarnya.

*****

Erin sedang merebahkan diri di ranjangnya, yang bercover salah satu kartun kesukaannya itu, doraemon. Ia baru selesai melaksanakan sholat isya. Memohon petunjuk kembali, melalui doa doa yang dipanjatkan.

Niat Erin setelah itu ingin mengalihkan pikirannya sejenak dari beban yang dipikulnya. Sangat berat buatnya. Dengan menonton drama korea yang sedang digemarinya, itu sudah cukup menenangkan.

Hingga ia cukup terganggu dengam rentetan bunyi ringtone dari ponselnya yang menandakan adanya pesan di Group WA. 'Group apaan sih yang ribut ribut malem gini' lirihnya dalam hati dan sedikit jengkel karena cukup mengganggu aktivitas menontonnya yang sedang asik asiknya itu.

Tapi ia masih belum berniat membuka aplikasi pesan itu. Masih tetap fokus karena sebentar lagi akan menuju adegan scene terakhir. Yang paling ia tunggu tunggu. Tidak, bukan dia saja tapi semua orang. Yahh you know that lah. (Ya kamu tau itu lah)

Hingga akhirnya selesai sudah aktivitas menonton Erin. Dengan senyum yang masih mengembang karena mengingat adegan ending drama itu. Erin pun akhirnya membuka pesan yang tadi masih muncul sebelum akhirnya hening.

Perlahan ia menggulir ponsel dan membaca percakapan group chat WA, yang ternyata group kelasnya itu. Dengan pesan terakhir yang berbunyi

Okehh. Ada lagi?

Itu adalah pertanyaan yang dirim oleh Diba, sahabatnya. Erin sudah memahami inti pembahasan dari percakapan itu.

Merasa paham akan topik itu dan ingin mengutarakan pendapatnya.

Ia mengetiknya yang kemudian dikirimkan ke group. Tak menunggu lama ternyata ada balasan, dan itu dari Diba langsung.

Diba : 'Tapi kalau gitu apa gak kasian sama pesertanya. Mereka mohon maaf para penyandang ODGJ, takutnya malah jadi gak kondusif. Lebih baik kita keluar tenaga selain karna tugas kita bersama, juga mereka gak perlu antri panjang'

Erin menyerngit membaca pesan itu. Merasa heran dan sedikit kaget dengan balasan Diba. Entahlah ia juga bingung dengan apa yang dirasakannya. Yang pasti ia sedikit tak terima.

Erin bahkan membaca kembali pesan darinya dan membandingkan dengan pesan berisi pendapat teman temannya. Tak ada yang salah. Pikirnya.

Pendapat teman kelasnya yang lain itu, tak ditanggapi oleh Diba. Dan diyakini Erin, bahwa artinya diterima.

Tapi mengapa hanya pendapatnya saja yang dianggap salah.

Tiba tiba ia merasa sedikit dongkol. Tapi tak mungkin ia menunjukkan di grup. Tak berani.

Akhirnya ia hanya membalas, ''Ohh, OK''. Untuk mengakhiri itu.

Apa aku ada melakukan sesuatu. Pikir Erin yang masih memikirkan hal tersebut. Ah enggak, mungkin aku aja yang lagi sensitif. Pikirnya lagi yang kemudian ia coba lupakan. Melanjutkan lagi sesi menonton drama koreanya ke episode berikutnya.

Terpopuler

Comments

Melia Andari

Melia Andari

aku kasih tip buat penyemangat Thor 🤗

2023-09-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!