5.

SEBELUM BACA BAB 5, BACA LAGI BAB 4 KARENA DI SANA ADA BAGIAN YANG DITAMBAH.

Sang Ayah dari Dinda, yang Erekleus tidak mau tahu namanya, begitu syok seolah-olah mendengar kehancuran dunia. "Istri? Anda sudah menikah, Tuan Muda?"

Erekleus pura-pura bingung. "Apa aku terlihat kekanakan sampai sulit dipercaya? Aku menikah di usia tujuh belas. Itu usia wajib menikah bagi Narendra. Istri keduaku akan dipersiapkan tahun depan, kurasa."

Bukan hanya punya istri tapi dia bahkan akan punya istri kedua? Begitu wajah syok mereka yang lucu di mata Erekleus. Nampaknya walau sudah berdiri dua ratus tahun, orang-orang terpencil tidak sedikitpun mengenali Narendra.

Erekleus beranjak karena akhirnya Dinda tidak memegang tangannya.

"Aku ingin bergabung makan, tapi urusanku masih banyak. Permisi untuk hari ini, teman-teman sekalian."

Diikuti oleh pengawalnya yang telah kembali, Erekleus berjalan meninggalkan rumah besar itu.

"Dia orang terkaya di desa ini?" tanya Erekleus pada pengawalnya.

"Ya, Tuan Muda."

"Standar kekayaan tempat ini bahkan sangat rendah. Segera minta pada adikku untuk menyusun strategi pengembangan ekonomi desa. Aku ingin orang terkaya di tempat ini setidaknya punya seratus ekor sapi alih-alih rumah dua tingkat kecil yang kotor."

"Mengerti, Tuan Muda."

Erekleus masih belum berhenti, pergi menemui semua pengawal dan anak buahnya di kantor Kepala Daerah. Semua laporan yang mereka bawa membuat kepala Erekleus mau pecah. Ada sangat banyak kecacatan yang tidak bisa dibiarkan tapi sayangnya mereka tak boleh buru-buru sebab ini bukan puzzle susun.

Siang berganti malam, Erekleus masih saja sibuk berkutat dengan semua pekerjaan itu. Erekleus dan timnya bahkan tak makan untuk merumuskan semua masalah, sampai kemudian pintu ruangan diketuk.

"Permisi." Kepala Mute mengintip dari sela kecil pintu. "Saya mau balikin jasnya Tuan Muda."

Mute berpikir kalau Erekleus batal tinggal di rumahnya karena akhirnya dia sadar rumah Pak Surya dan Bu Bunga, alias rumahnya Dinda paling tidak adalah rumah ternyaman. Jadi sebagai bentuk terima kasih juga sudah membiarkan air jalan, ya Mute pergi mengantarkan.

"Tuan Muda, ada baiknya beristirahat sekarang." Erina langsung menyarankan. "Jika Anda terlalu lelah, justru besok Anda akan sulit mengerjakan sisa pekerjaan Anda."

Erekleus menghela napas. "Aku lupa waktu. Ya, tentu. Pergilah beristirahat, kalian semua."

"Kami menginap di mana Anda menginap, Tuan Muda."

"Rumah Mutia terlalu kecil untuk kalian semua. Pergi dan beristirahat di tempat seharusnya."

Walau Erekleus bicara begitu, lima pengawalnya dan empat sekretarisnya membangun tenda di depan rumah Mute.

Tentu saja Mute syok, tapi semua orang terlihat sudah sangat capek sampai ia tak bisa berkata apa-apa. Erekleus masuk ke kediaman kecil itu, hendak tidur saat dia menyadari ... tidak ada kamar untuknya juga.

"Di mana aku tidur, Nona?" tanyanya dengan suara hampir lowbatt.

Mute meringis ragu-ragu menunjuk lantai. "Di sini?"

Pikirnya dia bakal syok, tapi ternyata Erekleus langsung berbaring di lantai, menutup wajahnya dengan lengan.

Mute masuk buat mengambilkan bantal dan selimut agar setidaknya dia tidak sakit punggung atau masuk angin, tapi Erekleus ternyata sudah tidur lelap, tidak bergerak sama sekali.

"Oiiii," panggil Mute pelan, nyaris berbisik, tapi panjang. "Tuan Muda. Oiiiii~ pake bantal dulu."

Dia bagaikan patung.

"Nanti dingin saya enggak tanggung jawab. Masuk angin juga bukan salah saya."

Benar-benar tidak bergerak.

"Saya taro sini, yah. Jangan lupa dipake."

*

Mute malah tidak bisa tidur memikirkan Erekleus tidur di bagian depan kamarnya. Cuma ada dua kamar di rumah sempit ini, yaitu kamarnya dan kamar Nenek Iyem yang sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur karena umur. Beliau sudah berusia 108 tahun dan tersisa hanya tulang di kulit-kulit keriputnya.

Pada akhirnya Mute sungguhan tak bisa tidur, sampai kemudian ia keluar di waktu ayam berkokok.

Erekleus ternyata masih tidur. Selimut yang Mute beri tidak dipakai, tidak bergeser dari tempatnya malah.

Mute berencana masuk ke dapur untuk menyiapkan makanan pagi nenek, tapi pria itu langsung terjaga.

"Urgh." Dia mengerang saat bangun dari posisinya.

"Sakit pinggang?" tanya Mute ragu-ragu. Kan sudah ia bilang. "Emang mendingan kamu tidurnya di rumah Pak Surya. Seenggaknya di sana ada kasur."

Erekleus meregangkan tubuhnya. "Hanya tidak terbiasa. Jangan pedulikan aku," kata dia lalu beranjak keluar.

Diam-diam Mute mengintip, melihat pria itu pergi ke tenda kawan-kawannya untuk membangunkan mereka semua.

"Jam berapa ini?" tanya dia, yang terdengar dari sela-sela dinding kayu.

"Menjelang jam tujuh, Tuan Muda."

"Kalian seharusnya bangun jam empat dan bangunkan aku. Tapi yah, aku juga lelah jadi aku mengerti. Sekarang cepat bersiap dan kembali bekerja."

"Baik, Tuan Muda."

Nampaknya dia memang datang ke sini untuk bekerja. Dari kemarin dia tidak mengeluh tentang sesuatu.

Mute baru saja mau berbalik untuk ke dapur tapi telinganya mendengar hal lain.

"Anda belum makan sesuatu sejak kemarin. Nyonya Roxanne akan khawatir pada Anda."

"Aku lupa," kata Erekleus cuek. "Kalau begitu salah satu dari kalian pergilah membeli buah. Kita sarapan sebelum bekerja."

Mute menghela napas. Walau kemarin ia bilang tidak mau melayani, masa dirinya membiarkan tamu desa itu kelaparan seharian karena bekerja demi desa?

Ya, mereka tidak semenyebalkan anak KKN jadi seharusnya tidak masalah.

"Tuan Muda." Mute membuka pintu, memanggilnya sebelum dia pergi. "Makan di sini aja. Ada nasi sama telur di dalem."

Erekleus terkejut gadis yang kemarin bilang tidak mau memperhatikannya malah menawarkan makanan. Tapi ....

"Aku tidak makan nasi, Nona, sayang sekali." Erekleus tersenyum. "Tapi boleh kubeli nasi dan telurmu untuk anak buahku?"

Mute terkejut melihat ada manusia hidup tidak makan nasi. Kalau tidak makan nasi, lalu dia makan apa? Emas dan berlian?

Pantesan ganteng banget, pikir Mute ngeri.

"Terus kamu makan apa? Buah doang?"

"Aku tidak makan nasi, makanan berminyak, santan, gula, tepung, dan beberapa hal lainnya. Jangan mengurusi makananku karena itu tugas Yohana."

Pada akhirnya Mute memasakkan nasi dan menggoreng telur untuk anak buahnya saja. Sementara semua orang makan, Erekleus hanya menenggak air dari botol sampai akhirnya sebuah mobil pickup berhenti di depan rumah Mute.

Anak-anak desa berkumpul bersama warga-warga yang masih penasaran terhadap Erekleus.

Pria itu mengambil beberapa butir apel, pisang, dan sebuah semangka untuk diberikan pada Mute.

"Untukmu. Tapi pisang itu punyaku jadi jangan dimakan."

Erekleus menggigit sebutir apel sambil dia menyuruh pengawalnya pergi untuk membagikan buah ke masing-masing rumah warga.

Ada sesuatu di dada Mute yang ngilu saat melihat Erekleus tersenyum dikelilingi anak kecil. Demi Tuhan, Mute pikir dia datang ke desa ini cuma untuk pencitraan lalu menyusahkan orang lain demi kenyamanannya sendiri.

Tapi sejak kemarin sampai sekarang, dia selalu mementingkan orang lain.

"Permisi, Mutia." Erina menyadarkannya dari lamunan. "Bisa tolong temani Tuan Muda ke sumur? Beliau harus mandi."

"Ada air di dalem kok, Kak, kalau mau mandi."

"Aku meminta maaf jika ini menyinggung tapi kami tidak membiarkan Tuan Muda mandi dari air yang sudah bermalam di genangan. Jika bisa sumur, tolong?"

Ya, dia tetaplah Tuan Muda yang tidak makan nasi dan tidak mandi di air berlumut. Baiklah.

Mute mengangguk, pamit pada neneknya untuk pergi sebentar mengantar sang Tuan Muda.

*

Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺

Dan buka juga karya-karya Candradimuka lainnya, terima kasih 🙏🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!