“Kupikir kau di belakangku tadi,” ucap Zoe menuai protes bercampur dengan nada mengomel ketika menemukanku yang baru saja masuk ke gedung sekolah. Kulihat di sekitar sudah tidak ada cowok yang bertemu denganku di samping kolam patung peri tadi. Leonal Ordt, nama cowok itu. Sepertinya cowok itu murid penting di sini lantaran dipanggil ketua dan kelihatannya memang sibuk.
Aku lantas menunjukkan cengiran kecil kepada Zoe.
“Maaf. Aku terlalu terpukau dengan pemandangan di luar.”
Sambil cemberut, Zoe lantas bercerita jika sepanjang perjalanan sebelum menyadari diriku menghilang, ia berbicara seorang diri. Ia benar-benar mengira aku mendengarkan dan masih terus berjalan di belakangnya. Ketika sampai di ruang guru, barulah ia tersadar jika aku ternyata tidak bersamanya. Tentu saja hal itu membuat Zoe merasa kebingungan dan merasa malu sendiri.
Mendengar ceritanya, aku tidak bisa menahan tawaku.
“Kim, jangan tertawa dong.”
“Sorry, sorry. Habisnya…”
“Huh. Ya sudah. Ayo kita ke ruang guru. Kau pasti sudah ditunggu.”
Kami kemudian berjalan lagi. Tak ada kapoknya, lagi-lagi Zoe berjalan lebih dulu daripada aku dan terus saja berbicara. Namun, tak lama kemudian, aku tidak bisa mendengar jelas ucapannya. Aku tidak fokus, karena tersadar jika murid-murid yang kami lalui di koridor terus memberikan tatapan padaku. Tidak hanya satu atau dua, melainkan seluruh dari mereka. Meskipun aku berusaha tidak peduli, aku tidak bisa menolehkan kepalaku dari mereka. Aku memergoki mereka semua menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku definisikan.
Bukan pandangan sengit, bukan pandangan tidak suka–melainkan, uh, pandangan takjub? Aku tidak tahu, sungguh. Apa karena pakaianku yang aneh di mata mereka?
Ketika di McReych dulu, aku nyaris tidak pernah mendapatkan perhatian dari sekitar. Jikalau ada, mungkin yang melihat ke arahku adalah mereka yang tertarik dengan ketiga teman dekatku yang sedang berjalan bersamaku pada saat itu: Marsha, Felly, dan Sophi. Memiliki tubuh yang molek dan seksi yang disukai para lelaki, tentu menjadi modal untuk menggaet para cowok idaman yang selalu mereka gunjingkan.
Murid-murid itu masih menatap ke arahku, bahkan di antaranya ada yang berbisik-bisik. Aku lantas buru-buru berjalan sehingga berhasil mensejajari langkah Zoe.
“–ya, Kim?”
“Eh?” Aku menoleh pada Zoe.
Zoe lalu mengerucutkan bibirnya.
“Kau tidak dengar apa yang aku katakan ya?”
Aku tertawa kikuk, lalu meminta maaf sekali lagi dan bertanya apa yang baru saja Zoe katakan. Rupanya Zoe akan pergi mengurus beberapa urusan sekolahnya selama aku mengurus keperluanku. Aku tentu tidak keberatan karena merasa sudah merepotkan Zoe terlalu banyak.
Hingga tiba di ruang guru, Zoe pun pergi. Aku memberikan dokumen-dokumenku sebagai persyaratan administrasi pada salah satu karyawan sekolah. Di antara kesibukannya mengecek data-dataku, aku mendapat informasi jika aku bisa pindah ke asrama akhir minggu ini dan bergabung di kelas mulai Senin nanti. Aku pun menyanggupi, dan setelah segala urusan perpindahan selesai, aku pamit undur diri.
Aku ingin menghubungi Zoe, sebenarnya, tetapi aku memutuskan hanya mengirim pesan alih-alih menelepon. Aku tidak ingin mengganggu Zoe yang mungkin saja sedang sibuk. Maka setelah mengirimkan pesan singkat, aku pun pergi berjalan-jalan keliling sekolah. Aku dengar, hari ini para murid tidak ada pelajaran karena sedang sibuk menyiapkan pentas seni untuk minggu depan. Itulah mengapa tadi Zoe mendapatkan izin untuk menjemputku.
Juga para murid yang sedang tidak berada di kelasnya, masih saja melihatku dengan tatapan seperti tadi.
Uh.
Aku tidak pernah merasa risih seperti ini. Perasaanku jadi tidak tenang dan membuat kakiku terburu-buru berjalan ke area lain. Sayangnya di sepanjang koridor, pemandangan yang kulihat masihlah sama: murid-murid masih memberi atensi padaku. Aku sampai tidak fokus berjalan dan tersadar jika tempatku berdiri kini berada di depan ruang guru yang kudatangi tadi.
Apa yang kulakukan hanya memutari koridor yang sama?
“P-permisi. Apa kau–”
Seseorang tampaknya berbicara padaku. Aku menoleh ke samping, di mana sebuah tangan asing yang menyentuh lenganku tanpa sengaja aku tepis. Seorang murid perempuan berkacamata berdiri di hadapanku, ekspresinya mulanya tampak terkejut, tapi tatapannya yang penuh rasa penasaran seperti murid-murid lain membuatku memundurkan langkah.
Refleks, aku berbalik dan berlari.
Tanpa sadar ternyata aku menuju ke area belakang sekolah setelah melalui beberapa belokan. Koridor yang kulewati semakin melebar, berujung pada ruangan besar semacam lobi. Bedanya, tak ada lagi murid yang kujumpai di sini. Aku pun merasa lega. Langkah kakiku melambat seiring embusan napasku yang tak lagi teratur. Setelah berdiam diri untuk beristirahat, aku memberanikan diri menuju pintu berukir yang tertutup.
Dengan ragu, aku membuka pintu itu, dan tebak apa yang kutemukan.
Apa yang kulihat kini adalah pemandangan taman tak terawat. Anehnya, tumbuhannya yang menjalar liar dan memekarkan bunga-bunga membuatnya lebih indah daripada yang kulihat di depan sekolah. Keberadaan kupu-kupu yang tak bisa dihitung oleh jari mungkin lebih mengetahui. Lantas, yang membuat mataku melebar adalah lantaran tersadar akan patung bersama kolam yang mirip seperti yang kulihat bersama Leonal Ordt tadi.
Patung dengan penggambaran seorang pria yang memiliki sepasang sayap yang salah satunya patah. Di atas kepalanya terdapat mahkota yang membuatku langsung berpikir bahwa itu adalah patung seorang pangeran peri. Sayangnya, patung itu kelihatan tidak dirawat dengan baik seperti patung putri peri.
Aku berjalan mendekat lalu memutarinya sehingga aku kini benar-benar berdiri di hadapan patung itu. Ketika melihat setiap detail patung, aku lekas menyadari jika patung itu terasa mirip dengan pangeran yang ada di dalam mimpiku.
“Pangeran…”
Tiba-tiba perasaan aneh menggelenyar, yang semakin lama dirasakan, semakin membuncah yang entah bagaimana menggetarkan hatiku. Tanpa sadar, air mataku pun jatuh. Mirip seperti perasaan putri yang kurasakan saat di dalam mimpi.
Apa yang terjadi padaku?
“Kenapa Nona ada di sini?”
Aku menoleh ke belakang. Ternyata ada orang lain yang berada di taman ini. Seorang murid laki-laki sedang berjalan dari gerbang yang berbatasan dengan hutan di belakang sekolah, menghampiriku dengan sebuah kamera DSLR yang menggantung di sisi tubuhnya. Murid laki-laki yang kelihatan ramah itu seketika membuyarkan senyumnya saat mengetahui ada jejak air mata yang ada pada wajahku.
“Kau menangis? Astaga!” Murid laki-laki itu buru-buru mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya kepadaku.
Anehnya, aku tidak mengutarakan ucapan terima kasih dan justru tersedu. Murid laki-laki itu seketika kelihatan panik dan mengajakku duduk di bangku taman tua yang sama sekali berbeda dengan yang ada di depan sekolah.
Setelah aku kelihatan lebih tenang, murid laki-laki itu mengajakku untuk kembali berbicara.
“Kelihatannya kau bukan murid sini. Apa kau tersesat? Tidak banyak murid yang berani ke sini karena area ini berbatasan dengan hutan.”
Aku mengusap sisa air mata di sudut mataku menggunakan sapu tangan, lalu berujar, “Aku murid baru di sini, tapi baru akan masuk Senin nanti. Sebelumnya, aku hanya melihat-lihat isi sekolah sampai tidak sadar sudah kemari.”
Murid itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Begitu. Kalau begitu, kau beruntung bertemu denganku.” Senyumnya yang lebar jadi membuatku ikut tersenyum. “Uhm. Omong-omong, aku Tom Graffen, kelas 2-Diamond.”
“Aku Kimberly Schulz. Kelas 2-Crystal–itu yang dikatakan seorang guru padaku tadi.”
“Keren! Kita sama-sama kelas 2! Kau boleh memanggilku Tommy kalau begitu!” Tom menepuk-nepuk punggungku, seolah kami sudah mengenal dekat. “Sebagai gantinya, aku akan memanggilmu Kimmy. Ok?”
Aku tertegun. Keramahtamahan Tom yang terlalu manis padaku membuat wajahku menghangat, padahal angin baru saja membelai maka seharusnya terasa dingin, bukan? Aku tak tahu harus berbuat apa. Terlebih lagi ketika wajah cowok itu mendekat karena aku tak kunjung menuai jawaban.
“Kimmy. Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak suka padaku?”
Aku buru-buru menggeser posisi duduk supaya menjauh dari cowok itu. Wajahku juga tak lagi menghadap kepadanya dan kukerlingkan iris mataku yang tak bisa diam ke arah lain.
Lagi-lagi aku dibuat salah tingkah, tapi dengan orang yang berbeda!
“B-bukan!” sergahku kemudian.
“Ok! Berarti kau menyukaiku!”
Aku baru tersadar dengan apa yang diucapkan Tom barusan. Seketika aku pun menoleh.
“Suka?”
“Tentu saja aku juga menyukaimu, Kimmy.”
Cowok itu lalu tertawa renyah, yang membuatku semakin malu karena merasa itu bukanlah sebuah kelakar, melainkan seperti pengakuan cinta. Menyebalkannya jantungku sekarang ikut-ikutan berdetak tak santai!
“Ah, maaf, maaf. Kau terlalu menggemaskan, aku jadi tak tahan menjahilimu. Jangan membenciku, ok? Seharusnya aku memberi kesan yang bagus untuk pertemuan pertama kita.”
Kan.
“A-aku tidak marah kok!”
Argh! Cowok-cowok di sini kenapa, sih?!
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Rizka Hs
sebegitu bagusnya ya?
2023-09-07
1
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Jebakan cinta ini nma nya🤣
2023-09-06
1
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Whay??? jangan-janga?.🤔
2023-09-06
1