Secret Admirer; In The Land Of Fairies

Secret Admirer; In The Land Of Fairies

01. Tanah Peri

Tersesat.

Itulah yang terpatri dalam benak sang putri saat kaki tanpa alasnya yang terluka mulai memasuki bayang-bayang pepohonan yang semakin lama semakin rapat. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah kecil rerimbunan dedaunan yang tengah menjadi kanopi jauh di atas kepalanya. Anehnya, kini tanah yang diinjaknya terasa lembut, batang pohon yang disentuhnya terasa halus, bahkan suasana hutan terasa hangat, tak menyeramkan dan tak mencekam seperti beberapa saat yang lalu.

"Pangeran, kau di mana?"

Bibir kemerahan sang putri melantunkan tanya. Suaranya terdengar sedih. Sorot mata sang putri menatap sayu keremangan di sekitar. Pada akhirnya ia tidak lagi mampu menahan lelah dan lara, sehingga tubuhnya kehilangan kendali atas kedua kakinya.

Sang putri jatuh terduduk di antara rerumputan lembut dengan bunga-bunga mungil di sekitarnya.

"Pangeran…"

Tak ada sahutan. Seseorang yang dicarinya nyatanya tidak ada di hutan yang aneh ini. Benar, aneh. Bagaimana tidak jika di dalam kegelapan hutan seperti ini tiba-tiba bermunculan cahaya-cahaya kecil dengan warna berbeda-beda yang jumlahnya semakin banyak?

Bahkan salah satu di antaranya, seiring dengan pendarnya yang semakin besar, cahaya yang berwarna keemasan beringsut mendekati sang putri.

Dari cahaya yang telah berhenti di hadapannya itulah kemudian terdengar suara yang begitu ia rindukan.

"Tuan Putri, ini aku. Pangeranmu."

Figur laki-laki rupawan dengan telinga lancip dan sayap keemasan yang indah lantas terlihat begitu cahaya di hadapannya memudar. Laki-laki itu bergerak turun untuk berlutut dan menghadap sang putri yang masih terduduk di bawah sana.

Namun, ketika sang putri berusaha meraih laki-laki itu, entah kenapa, jemarinya hanya dapat meraup udara kosong. Bahkan ketika ia ingin mengucapkan sebuah kata untuk sang pangeran, suaranya tak mampu untuk keluar. Apa yang tersisa hanya linang air mata di pipi kemerahan sang putri yang lantas berusaha ditepis lembut oleh tangan sang pangeran. Akan tetapi, sama halnya dengan dirinya, pangeran pun tidak bisa menyentuhnya.

"Aku berjanji akan menjemputmu, dan kita akan kembali bersama," ucap sang pangeran dengan tatapan sendu. "Apa kau mau menungguku, Tuan Putri?"

Sang putri mengangguk, membuat senyum sang pangeran tercipta.

Kala bunyi lonceng terdengar bersama angin dingin yang terembus, cahaya keemasan di sekitar pangeran perlahan tenggelam dimakan asap kehitaman yang tiba-tiba menyeruak dari dalam tanah. Tetumbuhan di bawah kaki mereka pun menjadi layu dan mati. Udara di sekitar terasa menyesakkan. Sang putri sampai terbatuk-batuk dan matanya terasa perih. Lalu ketika sang putri membuka kembali matanya yang sempat terpejam, ia begitu terkejut lantaran tubuh pangeran yang masih ada di hadapannya ternyata telah berubah menjadi batu hitam legam.

...***...

Aku tersentak bangun. Bahuku naik-turun, di dalam dadaku ada sesuatu yang mengganjal dan sesak yang tersisa. Tanpa sadar ketika aku menyentuhkan jemari pada wajahku, aku mendapati air mataku yang entah bagaimana sudah ada di sana.

Apa yang baru saja terjadi? Aku bermimpi menjadi seorang putri yang sedang mencari pangerannya, tapi ketika mereka bertemu justru berakhir tragis?

Kenapa aku bermimpi seperti tadi?

Apa karena sebuah surat yang kutemukan di dalam lemari pakaianku tadi malam?

Selamat datang kembali, Tuan Putri. Aku tahu kau pasti akan kembali.

Begitu isi suratnya.

Kertas surat itu sudah menguning dan tulisannya juga sudah tidak tajam karena dimakan oleh waktu. Maka seharusnya surat itu sudah lama kan? Kenapa berada di kamarku?

Aku mencoba merenunginya. Namun, yang terbayang justru kejadian dalam mimpi yang baru saja kualami.

Sungguh.

Meskipun hanya mimpi, tetapi mimpi tadi terasa begitu nyata. Sisa perasaan sang putri yang sempat aku rasakan dalam mimpi tadi bahkan masih tertinggal di benakku hingga saat ini.

Aku merasa cerita ini begitu familier. Apa aku pernah mendengar cerita ini sebelumnya?

Uh. Kepalaku tiba-tiba pening. Bagaimanapun aku berusaha, aku sama sekali tidak bisa mengingat.

Lalu tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku mengecek, terdapat notifikasi panggilan video dari temanku semasa kecil yang bernama Zoe.

Langsung saja aku mengangkat panggilan video itu tanpa memperdulikan penampilanku yang berantakan dengan masih mengenakan piyama.

"Halo, Zoe."

Sambil kembali bergelung di atas kasur dan menarik selimut, aku menatap ke arah layar ponsel. Speaker ponselku lantas memperdengarkan gelak tawa nyaring khas Zoe yang biasanya akan menular.

"Astaga Tuan Putri Kim kita satu ini belum bangun dari tempat tidur rupanya. Selamat pagi, Tuan Putri."

"Hentikan itu, Zoe. Ini baru pukul 9 pagi. Lagipula aku masih jet lag."

"Jet lag? Kau hanya habis menempuh sekitar 200 kilometer perjalanan, itu pun menggunakan kereta. Bukannya pindah negara."

"Oh. Ayolah. Menghabiskan waktu nyaris 10 jam duduk di kereta itu sungguh menyebalkan. Apalagi hanya seorang diri."

"Bukankah itu kemauanmu sendiri? Mengapa tidak menggunakan pesawat saja? Seperti keluargamu sebelumnya?"

"Halo? Pesawat? Itu pun harus turun di Brownston dan harus menggunakan bus selama lima jam untuk sampai di Fairille ini. Terlalu merepotkan."

Fairille. Kota yang pernah menjadi tempat masa kecilku tumbuh kini kembali menjadi tempat tinggalku di umurku yang ke enambelas. Entah apa yang Mom dan Dad pikirkan, mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka yang bagus di kota metropolitan bernama McReych demi kembali ke kota ini.

Kota Fairille sendiri sebenarnya tidak terlalu kecil, juga tidak sepi seperti yang dipikirkan oleh teman-temanku di McReych. Aku sama sekali tidak ingat kenangan di kota ini, tetapi dengar-dengar kota ini sudah berkembang dengan fasilitas yang cukup lengkap, bahkan mempunyai sekolah cukup bagus yang akan menjadi sekolah baruku nanti.

Menjadi anak pindahan di pertengahan ajaran baru. Entah apa yang akan terjadi. Setidaknya ada satu orang yang benar-benar aku kenal di sekolah itu. Itu adalah Zoe Borsche. Teman satu-satunya yang kukenal di kota ini dan juga satu-satunya yang aku ingat. Aku tidak begitu mengerti kenapa aku hanya mengingat Zoe. Mungkin karena hanya Zoe seorang yang pernah mengunjungiku beberapa kali di kota tempat tinggalku sebelumnya.

"Iya, Tuan Putri. Aku paham sekali."

Di antara percakapanku dan Zoe, tiba-tiba seseorang menyela.

"Tidak biasanya kau bersemangat seperti ini, Zoe. Memangnya dengan siapa kau menelepon? Pacar barumu ya?"

Seketika kedua alisku menekuk. Zoe tidak lagi menatap ponsel dan kelihatan sibuk mempertahankan ponselnya dari gangguan.

"Hei, jangan ganggu kami, Max. Kami tidak hanya bertelepon, kami sedang melakukan video–"

Melihat sosok yang bukan lagi Zoe di layar ponselku, aku tak bisa menahan jeritan. Kedua tanganku seketika menutup mulut. Tanpa sadar aku ternyata sudah melempar ponsel lantaran terkejut karena di layar ponselku ada sosok cowok yang tidak memakai baju atasan sehingga menampakkan tubuh berotot yang berkeringat…dan seksi.

Gawat! Apa yang sedang aku pikirkan?!

"Max! Lihat apa yang kau lakukan! Kau membuat Kim terkejut!"

Terdengar percakapan mereka dari ponselku yang masih enggan aku ambil.

"Kim? Maksudmu Kimberly Schulz?"

Dahiku kini mengernyit keheranan.

Bagaimana cowok itu tahu namaku? Apa aku mengenalnya?

Penasaran, aku mengambil ponselku dan menyipitkan mata. Sepertinya ponsel Zoe masih dipegang oleh cowok itu. Oleh karenanya, satu tanganku yang lain berusaha menutupi potret badan cowok itu. Tentu saja aku melakukannya supaya jantungku tidak semakin keras debarannya.

"Apa aku mengenalmu?" Aku mencoba mengajak cowok itu berbicara. Wajahnya memang mirip dengan Zoe, tetapi Zoe tidak pernah bercerita jika dia memiliki saudara laki-laki. "Omong-omong kenapa kau tidak pakai baju…, Max?"

"Kau ingat aku, Kim?" tanya cowok itu antusias. Aku keheranan melihatnya.

"Aku hanya mengulang nama yang disebutkan oleh Zoe tadi."

"Oh.” Nada Max yang tadinya ceria kini terdengar kecewa. “Aku hanya sedang berolahraga, Kim. Kalau begitu, aku akan melanjutkan kegiatanku. Omong-omong, selamat datang kembali di Fairille."

Aku terdiam. Kata-kata terakhir yang diucapkan Max hampir sama dengan tulisan dalam surat yang aku temukan di lemari pakaianku.

Apa itu surat dari Max?

Tangkapan layar kemudian menampilkan kembali sosok Zoe yang menjulurkan lidah ke arah lain.

"Shoo, shoo. Sana pergi kau, Max!” Zoe kemudian kembali mengarahkan tatapan padaku. “Aku benar-benar minta maaf, Kim. Karena Max sudah lancang, dan pasti telah merusak matamu dengan pemandangan otot bodohnya itu!"

Lalu terdengar protesan Max. Aku mendengar jelas bahwa cowok itu berkata jika banyak cewek yang menyukai bentuk badannya. Mendengar perdebatan Zoe dan Max setelahnya, aku menahan tawaku. Zoe lalu memutar bola mata dan menggelengkan kepalanya sebelum kembali berbicara kepadaku.

“Baiklah. Sampai di mana tadi, Tuan Putri.”

"Zoe? Kurasa aku perlu mendengar penjelasanmu.”

Mengenai Zoe yang rupanya memiliki saudara, sedangkan sebelumnya Zoe tidak pernah bercerita.

"Akan kujelaskan nanti, ok? Kau harus mengurus dokumen pindahanmu ke sekolah kan? Akan kujemput sekitar satu jam lagi. Apa itu cukup, Tuan Putri?"

"Kupikir sekolah sedang libur. Uhm. Baiklah, tapi bagaimana jika…dua jam lagi?"

Cengiranku yang mulanya terbentuk kemudian berubah menjadi tawa saat melihat bagaimana Zoe kelihatan menyerah karena memiliki teman sepertiku.

...****************...

Terpopuler

Comments

Rizka Hs

Rizka Hs

agak sedikit lupa maaf😊🙏

2023-09-06

0

𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹

𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹

pasti sblm tidur ngaya dlu ya😂

2023-09-06

0

𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹

𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹

Aku jg pangeran🤣

2023-09-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!