Jalanan yang dilalui oleh mobil tumpangan kami kini menyempit dengan juntaian-juntaian bunga milik pohon-pohon yang berada di tiap sisi jalan, membuat permukaan aspal yang tak seluruhnya didominasi warna gelap dihiasi oleh kelopak-kelopak yang berjatuhan. Salah satu kelopaknya terbawa angin yang berembus kencang, yang telah melalui kaca jendela sebelum aku berhasil menutupnya secara sempurna. Lalu kelopak bunga berwarna ungu itu mendarat di atas pangkuanku. Aku pun menyentuhkan jemariku pada kelopak itu, hingga tanpa sadar senyumku terukir lembut.
Kemudian aku memikirkan mengenai kehidupan baruku di Fairille.
Apa yang akan menungguku di sekolah baruku, bagaimana keseharianku yang akan kujalani di Fairille–aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, bahkan sedari awal aku sudah berpikir seperti itu meskipun ada rasa kecewa pada orang tuaku yang tak mengizinkanku untuk tinggal sendiri di McReych. Apa yang perlu kulakukan hanya menjalaninya saja bukan? Sama halnya hari-hari yang telah kulalui di McReych. Rutinitas yang monoton pasti akan kembali terjadi–minus hang out bersama ketiga sahabatku di McReych, tempatnya saja yang berbeda.
Ya, benar. Isi otakku memberitahukanku demikian. Akan tetapi, beda halnya dengan bisikan hatiku.
Aku tidak tahu apa, tapi semenjak bercakap-cakap dengan Zoe secara langsung, dan telah melihat bagaimana ombak bergelung di laut Fairille, perasaanku terasa tenteram dan ada percikan antusias di sana.
Juga debaran yang entah dari mana asalnya.
Tanpa kusadari, rupanya gerbang sekolah yang bertuliskan Fairille High School sudah ada di depan mata. Bangunan sekolah dengan warna pualam serta ornamen-ornamen indah di beberapa bagian, halaman yang dihiasi taman bunga beraneka ragam, menara jam serta lambang sekolah di puncaknya, merupakan sekian dari pemandangan yang membuatku terkesima. Andai saja Zoe tidak memegang pundakku, aku mungkin tak sadar jika mobil kami sudah berhenti di halaman sekolah.
“Selamat datang di Fairille High School, Kim.”
Aku menatap Zoe yang tersenyum kepadaku. Bukan hanya Zoe yang berkata seperti itu, melainkan sopir yang ternyata telah turun dan membukakan pintu mobil untukku. Melihatnya, aku kebingungan. Aku agak merasa malu atas perlakuan yang mereka berikan kepadaku. Namun, aku tetap melangkahkan kaki keluar dan mengucapkan terima kasih pada sopir itu sebelum berjalan bersama Zoe menuju gedung sekolah yang kelihatan megah ketika kami berjalan semakin mendekat.
Tidak hanya pemandangan asri yang memanjakan mata, melainkan juga wewangian bunga ketika angin lembut nan sejuk membawanya hingga mencapai indra penciumanku. Aku mencoba untuk fokus mengikuti Zoe, tetapi aku tak mampu menahan pandangan mataku untuk tidak mengedar ke sekitar. Bahkan kakiku turut membeku di dekat sebuah kolam air mancur kala mataku terpaku pada sebuah patung yang menarik atensiku.
Adalah sebuah patung wanita bermahkota dengan sepasang sayap yang menuntun diriku untuk semakin mendekat. Aku dibuat tak berkedip pada patung yang mengingatkan pada mimpiku.
“Peri?”
Seketika, aku bertanya pada udara kosong.
“Ya, peri.”
Sungguh. Aku tak berharap patung itu berbicara padaku, atau seseorang menjawab tanyaku.
Suara itu jelas bukan milik Zoe, bukan juga milik patung peri di depannya, melainkan suara milik seorang laki-laki. Ketika aku menoleh, figur cowok berseragam sekolah dengan membawa setumpuk dokumen baru saja berhenti di sampingku. Senyum cowok itu tertarik lebar, begitu juga dengan tatapannya yang ramah. Aku terkejut melihat cowok dengan balutan seragam sekolah Fairille High School itu begitu tampan. Bahkan aku hampir mengira cowok itu adalah jelmaan peri seperti yang pernah kutemui di dalam mimpi. Meskipun tidak terdapat cahaya maupun sayap pada cowok itu, tetapi kehadiran cowok itu berhasil membuatku dapat mendengar debaran jantungku.
Cowok itu memiliki rambut keriting berwarna kecokelatan dengan mata biru cerah serupa laut yang kujumpai tadi. Terus-menerus memandang matanya, aku seakan terperosok dan semakin tenggelam menuju lautan yang dalam.
“Apa kau tertarik dengan peri?”
Cowok itu berbicara lagi. Aku segera mengedipkan kelopak mataku beberapa kali supaya terlepas dari pikatan. Mau bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap tenang, aku tidak bisa seperti biasanya yang tak akan peduli dengan eksistensi cowok tampan.
Akan tetapi, mengapa aku sekarang jadi seperti ini? Apakah ini yang biasa dikatakan oleh Marsha, Felly, dan Sophi ketika kami jalan bersama? Ataukah ini yang dinamakan karma karena selalu menganggap sikap teman-teman perempuanku berlebihan?
Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?
Uh. Cowok itu semakin mendekat, jantungku semakin berdetak tak keruan.
“Aku hanya penasaran,” ucapku membuang muka ke arah patung peri. Berusaha menyembunyikan sikapku yang tak bisa memandang lurus pada mata cowok itu dengan tak acuh.
Saat tawa renyah tiba-tiba terdengar, di situlah tumbuh niatanku untuk segera melarikan diri dari tempat ini.
“Begitu pun denganku.”
Aku bisa merasakan pergerakan cowok itu yang kini menghadap langsung padaku.
“Aku Leonal Ordt.”
Tanpa sadar, aku menoleh. Dengan memeluk beberapa dokumen di salah satu tangannya, cowok itu menggunakan tangan lainnya untuk mengajakku bersalaman. Meskipun aku tidak bisa benar-benar menatap matanya, pada akhirnya aku mau menyambut tangan cowok itu setelah sempat terdiam selama beberapa jenak.
“Kimberly Schulz.”
Berhasil mengucapkan namaku dengan tidak tergagap rasanya ingin menepuk-nepuk pundakku sendiri karena merasa bangga. Terlebih pertemuan tangan kami yang dapat dikatakan tak hanya berlangsung sebentar. Cowok itu seolah sengaja menahan tanganku supaya tetap berada di tangannya.
Namun, apa hanya perasaanku?
Cowok itu bahkan terus-terusan memandang mataku dan masih tak mau melepaskan tanganku.
“Tuan Ordt?” ucapku meminta perhatian. Sekarang cowok itu justru kelihatan seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Apa ada yang mengganggumu?”
“Ah, maaf, Nona Schulz.” Cowok itu buru-buru melepaskan tanganku. Ekspresinya juga melunak dan kelihatannya merasa tidak enak atas sikapnya terhadapku. “Aku terlalu terpesona padamu. Mungkinkah kau adalah seorang putri seperti halnya patung ini?”
Lagi-lagi aku terdiam. Pipiku mungkin saat ini sudah merona. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud cowok itu. Tidak mungkin kan mimpi yang kualami di malam itu dapat diketahui oleh orang lain sementara aku sendiri tidak pernah memberitahukannya pada siapa pun. Atau itu hanya ucapan omong kosong yang diutarakan oleh mulut manis para cowok ketika ingin memikat hati cewek?
Leonal Ordt lantas tertawa kecil. Senyum menyesalnya pun turut hadir saat akan kembali berbicara.
“Apa aku membuatmu takut? Maaf Aku hanya terlalu tertarik dengan patung peri ini, Nona Schulz. Dan kurasa, kau memang memiliki paras cantik sama halnya putri peri yang mungkin keberadaannya sungguh nyata.”
“Terima kasih.” Suaraku mungkin terdengar pelan, atau justru karena detakan jantungku yang kini terdengar sangat keras di telingaku. “Putri peri, ya.”
“Aku senang jika kau tertarik dengan patung itu juga. Omong-omong, kelihatannya kau anak baru. Apa kau mau kuajak berkeliling? Mungkin kita bisa sedikit saling bertukar pendapat mengenai patung ini. Bagaimana menurutmu, Nona Schulz?”
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sebagian besar dari diriku ingin mengiyakan karena aku penasaran dengan kisah patung peri itu, apalagi jika memiliki kesamaan dengan mimpi yang pernah kualami. Namun, sebagian kecilnya lagi aku masih memiliki kesadaran jika kedatanganku tidak hanya seorang diri... melainkan bersama seseorang.
Astaga, Zoe! Aku melupakannya!
“Tidak perlu. Aku–”
“Oi, Ketua Ordt. Rapat akan segera dimulai.”
Kepalaku sontak menoleh. Suara yang terdengar dingin dan cuek itu berasal dari jendela lantai 2, milik seseorang berkacamata yang menumpukan kedua tangannya yang terlipat di kusen jendela.
“Ah, baiklah!” Dari lantai 2, cowok itu beralih menatapku. Baik dari raut wajah dan nada suaranya, Leonal Ordt benar-benar menyesal. “Maaf, aku lupa ada rapat penting. Temui aku jika kau butuh sesuatu, Nona Schulz. Aku harus pergi.”
Cowok itu lalu buru-buru masuk ke dalam bangunan sekolah. Meninggalkanku yang tak bisa lepas menatap punggungnya yang menjauh. Aku lalu mencoba memegang dadaku, merasakan detakan jantung yang kian lama kian normal setelah kepergian cowok itu.
Eh... Aneh sekali.
Apa yang terjadi padaku?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Rizka Hs
agak ngeri juga sebenarnya.
2023-09-06
1
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
kirain Max😌
2023-09-06
1
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Cinta pandangan peratama kek nya😅
2023-09-06
1