"Key, spill bagaimana caranya agar aku selalu bertemu dengan Devan?" Maureen bertanya kepada Key yang berada di sampingnya. Dia saat ini tengah asik berbaring seraya memainkan ponselnya. Dia membuka aplikasi Instagram yang menampilkan postingan foto-foto keren Devan.
"Jadi babunya saja, mau?" balas Key.
Maureen menyikut lengan wanita berambut sebahu itu, kemudian berdecak sebal. "Aku tanya baik-baik."
Key mengedikkan bahu tidak tahu. Sepertinya gadis itu sungguh tergila-gila dengan Devan. Lihat saja, semua postingan pria itu di tap-tap dua kali hingga memunculkan simbol hati merah.
"Kamu jangan jadi stalker, jika memang suka langsung gunakan akunmu yang asli. Jangan pakai akunmu yang lain." Key mengkritik Maureen yang sedang asik dengan ponselnya.
"Eheheh, bahaya jika aku pakai akun Instagram yang asli. Nanti fans ku tahu jika aku suka pada Devan."
Key memutar bola matanya malas. Dia sudah sangat bosan berjam-jam menemani Maureen hanya untuk duduk diam seperti patung.
"Bagaimana jika aku melamar menjadi pegawai hotel. Kamu dengar sendiri, kan jika Devan akan diangkat menjadi manajer umum?"
"Jangan gila, ya, Maureen. Itu hotel bukan sembarang hotel. Kamu sudah memiliki hotel sendiri jangan melamar di hotel orang lain. Dan hotel itupun saingan ayahmu. Bisa-bisa mati berdiri kamu," omel Key.
Cukup. Maureen sudah tidak punya akal lagi agar bisa bertemu dengan Devan. Apalagi pria itu akan disibukkan dengan pekerjaan mapannya. Sedangkan dia masih berleha-leha di atas kasur seperti pengangguran.
"Key, kamu kenapa mau menjadi asisten ku?" Maureen bertanya iseng.
Key berdecak sebal, mendengarnya, kemudian memutar kepala menghadap Maureen. "Sebenarnya kita ini bukan asisten dan majikan, ya, Nona Maureen yang terhormat. Melainkan aku-"
Maureen segera memotong ucapan Key. "Iya, melainkan kamu disuruh Ayah untuk mengawasi ku, right?"
Pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar, suara ketukannya berulang kali membuat Maureen segera bangkit dan membuka pintu bercat biru muda itu.
"Ayah sama Mama ada di bawah. Kamu di suruh ke sana." Estian, kakak sulung Maureen mengatakan kalimat itu seraya menutup sebelah wajahnya.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Maureen terheran.
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit ... terkena goresan." Estian mengintip ke dalam kamar adiknya itu. "Masih ada, Key? Sekalian ajak Key ke bawah. Bilang disuruh Ayah." Setelah mengatakan itu Estian langsung pergi menuju kamarnya yang bersebalahan dengan kamar Maureen.
"Key dipanggil ayah."
Tanpa disuruh untuk kedua kali, Key segera merapikan penampilannya yang kusut, karena berbaring lama di kasur.
Maureen menuruni anak tangga satu persatu. Dia dapat melihat kedua orang tuanya yang sedang duduk berdampingan di atas sofa.
"Ada apa, Yah?" Maureen mendudukkan pantatnya di atas sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya, disusul Key yang duduk di sampingnya.
"Ayah besok akan pergi ke luar negeri bersama Mama kamu. Samuel juga akan ikut. Hanya Estian yang tetap di sini, karena mengurus kantor. Hotel akan ayah serahkan ke orang kepercayaan Ayah." Zack menatap putri bungsunya.
"Luar negeri?" beo Maureen. "Kenapa mendadak, Yah?"
"Iya, ini sangat mendadak, Sayang. Kamu ikut atau tidak? Tapi mama harap kamu akan ikut, Keyza harus ikut jika kamu mau," ucap Tessa.
Maureen segera menggelengkan kepalanya kuat. Mana mau dia diajak pergi keluar negeri. Jangankan keluar negeri, dia pergi ke supermarket saja tidak mau.
"Sudah Ayah duga. Tapi kami cukup lama, karena cabang perusahaan yang berada di Aussie sedang tidak baik-baik saja. Samuel juga butuh ... pengobatan agar dia cepat sembuh." Zack memelankan suaranya di akhir kalimat.
Mereka semua tahu, jika Samuel harus segera mendapatkan pengobatan secara intens. Kakak kedua Maureen itu mengidap penyakit mematikan dan harus segera disembuhkan dengan dokter spesialis dari luar negeri.
Maureen menatap kedua orang tuanya. "Aku akan menjaga diri di sini. Kalian tidak usah khawatir. Fokus saja dengan kak Samuel dan perusahaan Ayah yang ada di sana," ucapnya dengan amat yakin.
...----------------...
"Kak Sean, bekalnya sudah disiapkan. Ada di dalam tas kerjamu." Devan berlari kecil menghampiri Sean yang akan membuka pintu kemudi mobil.
Laki-laki itu membalikan tubuhnya dan menatap datar adiknya. "Aku tidak mau." Sean menghiraukan Devan, lantas masuk begitu saja ke dalam mobil. Dia tidak memperdulikan adik tirinya itu dan langsung menyalakan mesin mobil, meninggalkan halaman rumahnya dengan Devan yang menatap getir ke arah mobil Sean.
Devan hanya bisa meremat tas kotak nasi yang dia genggam. Sean kian hari, kian tidak menyukainya.
"Sudah, untuk apa kamu hiraukan pembunuh itu? Sini, Ayah saja yang bawa bekal." Haris dari arah belakang mengambil tas itu.
Devan tersentak, kemudian menatap wajah Haris. "Ayah, dia bukan pembunuh," sanggah Devan.
"Pembunuh tetap pembunuh. Kamu jangan mengoreksi kalimat Ayah." Haris melenggang pergi. Dia tidak mau memperpanjang perdebatan kecil antara dia dengan Devan.
Devan tercenung beberapa saat, dia mendongak menatap langit lantas menurunkan kembali pandangannya.
"Kapan kalian akan bersikap layaknya anak dan ayah? Aku dan mama ... merasa bersalah telah hadir di tengah kehidupan kalian," lirih Devan seraya menatap punggung Haris yang mulai menjauh.
...----------------...
Sean menyetir mobilnya menuju ke sebuah stasiun kereta. Hari ini dia akan menghabiskan perjalanannya menuju cabang perusahaan yang bermasalah menggunakan kereta api kelas bisnis.
"Ambilkan koperku di bagasi." titah Sean kepada Criss yang sudah tiba duluan di stasiun.
Asistennya itu menurunkan sebuah koper kecil yang hanya berisi dua pasang pakaian dan beberapa dokumen penting.
"Tiket?"
Criss menyerahkan selembar tiket saat Sean menanyakan selembar kertas itu, kemudian menyeret koper kecil Sean masuk ke dalam stasiun yang begitu ramai.
"Bawa mobil itu dan langsung parkir di hotel yang aku pesan."
Criss menyamakan langkahnya beriringan dengan Sean. "Tuan yakin ingin menaiki kereta sendirian, tanpa harus saya temani?
Pria itu mengangguk, kemudian memberhentikan langkahnya, karena telah tiba di tempat boarding pass
"Hati-hati, Tuan," ucap Criss. Asistennya itu khawatir sebab ini kali pertama Sean ingin menaiki kereta. Tidak, sebenarnya ini yang kedua kalinya tanpa Criss tahu.
Sean hanya mengangguk sekilas lalu menatap tiket kereta yang kini berada di tangan kanannya. Dia memincingkan matanya, mencari nomor gerbang dan bangku yang akan dia naiki sebelum naik ke atas-
Koper yang dia bawa terlepas, ponsel yang berada di genggaman tangannya terjatuh begitu saja saat tubuhnya tidak sengaja menabrak perempuan berkacamata hitam di depannya.
"Maaf, Kak. Maaf." Perempuan itu mengambilkan ponsel Sean yang terpental beberapa meter.
Sean mengulurkan tangannya, namun si perempuan itu malah diam mematung dengan tangan terulur juga.
"Permisi, ponsel saya?"
"...."
"Mbak."
Perempuan itu membuka kacamata hitamnya dan kemudian berteriak histeris. "CEO Exela?"
Sean mengerutkan keningnya saat mengetahui bahwa perempuan yang di hadapannya ini adalah wanita yang mengutarakan perasaannya kepada Devan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Richie
ini bukan kena sensor kan?
2023-08-01
1
FY Han
suhu pelempar pisang 👏👏
2023-07-25
0
FT. Zira
alhasil itu memang bukan miliknya,,,, mungkin😅
2023-07-22
0