Devan dan Sean

Sepasang mata yang tadinya sayu itu tiba-tiba berbinar-binar mana kala manik coklatnya tanpa sengaja melihat pria tampan yang sedang duduk sendirian di kursi bagian pojok cafe.

Dengan langkah cepat Maureen menghampirinya. Pakaian kasual yang menempel di tubuh atletis pria itu membuatnya semakin tampan dengan aura kedewasaan yang makin memancar. Tidak ada sedikitpun yang tidak memesona dari pria itu.

"Devan," sapa Maureen.

Pria yang tadinya menatap kosong ke arah jendela kafe langsung menoleh ke arah suara lembut yang menyapanya.

"Nona Maureen?" Devan terkejut saat melihat Maureen yang tiba tiba berada di hadapannya. Wanita ini lagi! Sejak kapan wanita gila ini memasuki kafe? Tiba tiba saja muncul seperti jelangkung yang datang tanpa diundang -batinnya.

Maureen menarik sebuah kursi, kemudian mendudukkan pantatnya menghadap Devan. "Jodoh memang tidak kemana, ya. Baru saja kemarin kita bertemu," gumam Maureen, tangannya memangku dagu menatap Devan berseri-seri.

"Ini hanya kebetulan," ketus Devan. "Saya akan mencari meja lain jika Nona ingin duduk di sini," lanjutnya seraya bangkit berdiri, karena risih dengan kehadiran Maureen.

Raut wajah Maureen langsung berubah menjadi cemberut. "Kamu kenapa? Aku tau kamu adalah pria baik hati, ramah, dan ... tampan, tapi kenapa kamu menghindar saat bertemu dengan ku?"

Mulut itu terkatup rapat saat seorang waiters kafe tiba-tiba datang membawakan segelas americano pesanannya, kemudian menjawab perkataan Maureen setelah waiters itu pergi.

"Nona, Anda adalah putri tuan Zack. Sebuah kehormatan bisa mengenalmu secara langsung, tapi saya harus menjaga jarak dengan Anda," ujar Devan.

"Jaga jarak bagaimana? Aku bukan pasien covid yang dapat menularkan penyakit!" Maureen berseru sebal.

"Bukan. Bukan seperti itu maksud saya. Keluarga, perusahaan, dan pasar bisnis. Semuanya mempunyai bad relation, Nona. Ayah Anda tidak akan suka bila anaknya mempunyai hubungan dengan anak musuh bisnisnya."

Maureen mengangkat dagunya. "Lalu? Apakah kamu mau menerima jika aku menjadi seorang gelandangan? Apakah aku harus pindah KK agar tidak ada penghalang dalam hubungan kita?"

Devan terperangah tidak percaya dengan respon Maureen yang seperti menganggap dia bermain-main. Tidak tahan lagi dengan perempuan yang berada di depannya, Devan langsung mengambil kunci mobil di atas meja, lalu pergi begitu saja. Sia-sia dia membeli segelas americano yang dibiarkan masih penuh tanpa luang setetes.

Maureen mengejar pria bertubuh tinggi itu. Dia setengah berlari menghampiri Devan, kemudian tanpa aba-aba Devan berhenti membuat Maureen menubruk punggung kerasnya.

"Aduh, jika mau berhenti bilang dulu. Punggungmu keras seperti batu." Maureen mengadu kesakitan.

"Eh, kalo seperti batu berarti berotot, dong?" gumamnya sambil mengelus dahinya yang masih sakit.

Devan memejamkan mata. Perempuan ini memang menguji kesabarannya yang setipis tisu, sungguh seperti tidak ada darah bangsawan atau konglomerat pada diri perempuan ini.

"Apa alasan Nona tiba tiba menyukai saya?" tanya Devan tiba-tiba.

Maureen mengerutkan dahinya. Mana mungkin dia memberitahu Devan jika alasan utamanya adalah wajah tampan pria itu.

Maureen berdeham. "Ekhm, alasan? Tidak ada alasan untuk sebuah cinta dan aku telah menyukaimu saat pandangan pertama," ungkap Maureen. Oke, sedikit berbohong tidak apa-apa lah, ya. "Kita teman sekam-" ucapan Maureen terpotong saat Devan tiba-tiba berseru.

"Bullshit! Cinta pandangan pertama? Saya benci mendengar perkataan itu."

Devan pergi meninggalkan Maureen sendirian yang masih diam kebingungan. Apakah dia salah ucap?

...----------------...

"Devan akan segera direkrut menjadi manajer umum di hotel kita." Haris tersenyum bangga kepada Devan. Sima yang mendengar itu tersenyum simpul seraya menatap putra kandungnya, Devan.

Manik mata yang tadinya menatap piring kosong itu kini beralih menatap Haris. Hatinya teriris ketika melihat senyum mengembang di bibir ayahnya itu.

Jika diingat-ingat Haris tidak pernah tersenyum seperti itu saat menyangkut dirinya.

"Apakah itu hal yang istimewa?" Sean bertanya dengan nada ketus. Mulutnya entah kenapa hilang kendali.

Dilihat lagi raut wajah Haris. Senyum yang tadinya mengembang kini sirna digantikan wajah datar dan sinis dari Haris.

"Memang apa yang bisa dibanggakan dari kamu? Menjadi seorang CEO bukan dari hasilmu sendiri. Melainkan dari hasil belas kasihan kakekmu. Apa yang bisa saya banggakan dari kamu?" Haris meletakkan sendok yang dipegangnya. "Kamu adalah anak pembawa sial. Sampai kapanpun juga akan tetap begitu. Di mana kamu berada, di situ kesialan datang."

Buku-buku tangan Sean memutih, tangannya mengepal menahan emosi yang membuncah. Dia hanya bisa diam seperti patung. Tidak, dia tidak akan membantah ataupun melawan. Dia tetap akan mendengarkan ucapan menyakitkan itu.

Iya, memang kakeknya yang membuat dia diangkat menjadi seorang CEO muda. Kakeknya yang selalu mendukung dia dalam situasi apapun sebelum semuanya menjadi rumit.

Kakeknya meninggal karena serangan jantung sebelum melihat cucunya sendiri menjadi CEO muda.

"Kamu harus menjadi CEO di usia muda, Sean. Tekuni dunia bisnis jangan sampai menyentuh dunia liar seperti para remaja lainnya. Kakek sudah memberitahu om Yuda untuk membantumu menyiapkan apa saja yang harus dimiliki seorang CEO sejak dini. Ini wasiat Kakek."

Perkataan kakeknya saat dia berumur tiga belas tahun itu terngiang di kepalanya.

"Kek, kak Vano ... d-dia tertabrak."

Sean memejamkan matanya. Iya, semua ini salahnya. Dia yang bersalah atas kematian kakaknya dan kakeknya.

"Dari dulu memang kamu tidak bisa dibanggakan. Seandainya kamu mau menuruti perkataan saya waktu itu, pasti Vano masih hidup! Posisi itu layak untuk dia, bukan untukmu."

Vano lagi. Mengapa Haris sering membuka luka itu? Bahkan pria yang dipanggil Sean sebagai seorang ayah itu tidak segan-segan menaburkan garam di atas lukanya yang menganga lebar.

Sean selalu berusaha menulikan pendengarannya ketika Haris mengeluarkan kata-kata menusuk seperti itu. Jika saja tidak ada ibu tirinya di depan mata, mungkin Haris akan melukainya lagi.

"Enyah kamu dari pandangan saya! Sima, siapkan makanannya dan bawa ke kamar dia. Saya tidak mau makan malam ini melihat dia duduk di sini." Haris seakan jijik melihat putra kandungnya.

Sakit? Tentu iya. Dia sudah sering diperlakukan seperti ini sejak kecil. Di mana dia selalu dibanding-bandingkan dengan Vano dan Devan.

Sean bisa saja keluar dari rumah ini. Dia tidak perlu satu atap dengan ayahnya dan tak perlu lagi merasakan rasa sakit baik batin maupun fisiknya. Tapi ada janji yang harus dia tepati. Janjinya untuk selalu bersama Haris apapun keadaannya pada sang kakak.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Aku akan makan malam di luar saja," ucap Sean dengan datar dan dingin

Terpopuler

Comments

raazhr_

raazhr_

aku mampir kak, aku baca pelan-pelan ya ceritanya bgus auto ku save 😉🌷

2023-08-07

0

raazhr_

raazhr_

waduh, Maureen are you gwenchana?🥺

2023-08-07

0

Honeyhae

Honeyhae

halo thor saya mampir, saya baca secara berkala ya 🤭 suka Maureen yang sat set sat set.

kalo berkenan mampir juga di ceritaku ya thor, makasih.

semangat nulisnya.

2023-08-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!