Mata elang itu tidak bisa mengalihkan pandangannya saat netra hitam miliknya menatap dua sosok manusia yang saling berdebat kecil.
"Aku suka kamu!"
Sean dapat mendengar jelas pengakuan gadis itu pada seorang pria di hadapannya.
"Maaf? Kita baru saja bertemu. Bagaimana mungkin kau menyukaiku?"
Pria itu menatap malas kedua manusia yang tidak tahu tempat untuk saling berdebat. Setidaknya di ruang tertutup jika ingin mengakui perasaan - pikir Sean.
Posisi dia saat ini berada di samping mereka, namun tidak ada yang menyadari keberadaannya.
"Gadis naif dan gila," gumam Sean seraya mengeluarkan sebatang nikotin kemudian menyalakannya.
Nikotin itu sudah seperti obat penghilang stres baginya. Di saat pikirannya tidak bisa dikendalikan maka nikotinlah obat ampuh itu.
Wajahnya yang tadi berpaling menatap sebatang nikotin kini menghadap kembali ke arah dua sosok tadi. Matanya menangkap kepergian Devan diikuti oleh gadis itu yang menuju ke arah tak bangku yang tak jauh darinya.
Tangan gadis itu menyangga dagu dengan tatapan kosong ke arah lantai. "Kayaknya aku memang gila! Kenapa aku terlalu sat-set?" Dia mengacak rambutnya frustasi.
Sean mendekat dan memandang gadis itu dari dekat. "Ku akui urat malumu telah diputus sejak lahir," ucapnya.
Gadis yang tadinya menatap ke arah lantai itu kemudian menengadahkan pandangannya, menatap Sean yang kini tengah berdiri menjulang di hadapannya.
Tanpa menunggu respon lebih lanjut dari dia, Sean segera melangkahkan kakinya menuju ruang VVIP yang telah dia pesan di hotel milik saingan ayahnya.
"Semua ini membosankan." Sean mendudukkan pantatnya di atas sebuah sofa berwarna dark grey.
"Tuan bisa berkeliling hotel."
Sean tersenyum miring mendengarnya. "Saya bukan orang kampung."
"Jika begitu istrihatlah sebentar. Jamuan makan malam akan segera dilaksanakan." Criss sebagai asistennya itu sedang menyiapkan beberapa berkas. Sedikit cuek kepada atasannya.
Criss dan Sean. Dua pria yang memiliki kepribadian sama. Pendiam dan dingin. Sean sengaja memilih pegawai yang memiliki kepribadian hampir sama dengannya. Dia tidak suka orang yang berisik dan banyak omong. Diam dan lakukan saja, dia lebih suka itu.
Suasana jamuan makan malam terlihat begitu nyaman. Banyak sekali kolega bisnis yang hadir. Acara ini memang dilakukan secara berurutan selama satu tahun sekali dan kali ini di lakukan di hotel milik keluarga saingannya. The Manor Hotel.
"Perkenalkan, saya membawa anak bungsu saya, Devan Erlano. Dia akan saya rekrut menjadi manajer umum di hotel saya. "
Haris menunjuk Devan yang berada di sampingnya. Anak kesayangan yang tidak akan pernah tergantikan. Dari dulu hingga sekarang.
"Berapa usianya sekarang?" tanya seorang wanita dengan dress merah tua.
"Baru dua puluh dua tahun," jawab Haris dengan senyum yang membuat Sean iri melihatnya.
"Dua puluh dua? Pasti dia genius hingga bisa langsung kamu tunjuk menjadi manajer umum. Nanti akan saya kenalkan ke putri saya jika dia bersedia." Wanita itu terkekeh kepada mereka berdua.
Hembusan napas panjang keluar dari hidungnya. Di mana-mana Devan lah yang akan dan selalu dianggap oleh Haris. Keberadaan Sean sejujurnya hanya untuk mengoleskan citra baik pria itu saja.
Sean dapat menangkap pergerakan Haris yang tengah merogoh saku celananya, Ayahnya itu mengangkat tangan ke arah rekannya, bermaksud pamit untuk mengangkat panggilan dari ponselnya.
"Kak Sean, Mama ingin kamu makan malam bersama lagi," ucap Devan tiba-tiba seraya membawa segelas minuman di tangannya.
"Aku tidak berminat untuk makan malam bersama," balas Sean.
Dapat dirasakan jika adiknya itu menghela napas pasrah. Dia tidak mau memperdebatkan hal sekecil itu kepada kakaknya.
Sejak Sean kehilangan Vano dan Irsan, sikap laki-laki itu berubah menjadi dingin tak tersentuh. Devan sejak dulu hanya bisa menatap Sean ketika laki-laki itu dipukul oleh Haris. Devan kecil terlalu takut untuk membantunya.
Seiring berjalannya waktu, Sean bisa menerima kenyataan bahwa Haris tidak akan pernah menganggapnya anak. Ayahnya selalu melakukan kekerasan kepada Sean, namun hebatnya lagi Sean tidak pernah merintih kesakitan lagi. Tidak ada ringisan yang keluar dari mulut itu. Hanya diam merasakan rasa sakit. Sean sudah terbiasa, dia ... telah mati rasa.
"Sini!" Sean yang hendak memanggil Devan seketika mengurungkan niatnya saat Haris tiba-tiba datang dengan raut wajah menahan amarah. Pria itu menggiring Sean menuju kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
"Saham perusahaan kenapa bisa turun?" tanya Haris, nada bicaranya sudah terdengar tidak bisa bersahabat.
Sean melirik ponsel yang menunjukkan grafik saham selama satu bulan ini.
"Kamu dari dulu tidak bisa berubah! Tidak bisa membanggakan dan tidak bisa teliti! Jika sampai saham perusahaan anjlok gara-gara kamu yang memimpin, saya tidak segan-segan mengeluarkanmu dari perusahaan, jika perlu namamu saya coret dalam kartu keluarga."
Sean akan membuka mulutnya, berniat mengatakan alasan mengapa saham perusahaan akhir-akhir ini turun, namun Haris yang lebih dulu menendang tulang keringnya membuat Sean hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat.
"Kakekmu terlalu baik hingga membuat wasiat menjadikanmu seorang CEO. Padahal saya sangat ingin memenjarakan mu saat itu," ucap Haris dengan teganya mengungkit lagi masalah yang sudah berlalu itu.
Pria itu membuka pintu kamar mandi dan meninggalkan Sean seorang diri. Laki-laki itu beralih menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. Dia tersenyum miris melihat dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa sejak dulu hingga sekarang.
"Aku ditakdirkan untuk diam. Aku ditakdirkan menjadi anak pembawa sial," desisnya.
Semua orang tahu, dia adalah anak kedua si pembawa sial. Alasan mengapa dia tetap bertahan adalah Vano. Jika saja dia tidak pernah berjanji, dia akan pernah Sudi diam saja seperti ini.
Sean mengepalkan tangannya. Dia menyalurkan emosi yang sudah menumpuk di dalam dirinya. Tanpa bisa ditahan lagi, tangannya meninju dinding keras yang berada di hadapannya. Berkali-kali tangannya dengan sengaja dihantamkan ke dinding hingga darah segar keluar dari tangannya.
Cukup lama hingga kemudian dia berhenti. Napasnya menderu. Umur Sean itu sudah dua puluh tujuh tahun, pria itu dengan mudah bisa keluar dari rumahnya.
"Tuan Sean, apa Anda berada di dalam?" Ketukan di pintu kamar mandi dan suara yang sedang memanggilnya membuat Sean langsung tersadar. Pria itu mengatur napasnya seraya mencuci tangannya yang berdarah.
"Ada apa?" Sean menatap asistennya yang berdiri di hadapannya.
"Cabang perusahaan yang baru dibuka dua bulan lalu kini mengalami masalah. Tuan diminta untuk menyelesaikannya."
Masalah lagi? kapan masalahnya akan berakhir?
Sean hanya bergeming, tidak minat membalas ucapan Criss.
"Untuk sementara waktu Anda akan berada di sana. Induk perusahaan akan di handle oleh tuan Haris secara langsung."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Silvi Aulia
tuh kan 😮
2023-07-28
0
Cokies🐇
ente kadang-kadang ente, maen gugur"in aja ..
2023-07-28
0
FT. Zira
awas lho,,, entar suka😒
2023-07-22
0