Baca aja dulu, kalau suka baru vote😉
Happy Reading All🌾
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka berdua tiba di danau yang indah untuk dipandang, dengan beberapa kursi taman di sekitar danau, juga lampu yang sengaja dipasang untuk menambah kesan romantis bila malam hari telah tiba. Sayangnya, mereka datang ke tempat ini masih siang.
Stevan dan Dara pun turun dari mobil, keduanya berjalan beriringan menuju salah satu bangku yang langsung dihadapkan dengan hamparan danau di depannya.
“Udah berapa lama kita nggak ke sini, ya?” tanya Dara sambil mengayunkan kakinya yang menggantung.
“Hm, udah lama banget. Terakhir kita ke sini kalo nggak salah waktu kita masih semester tujuh,” sahut Stevan, matanya asik memandangi wajah Dara yang tampak fokus dengan pemandangan yang tersaji di hadapan mereka.
Dara hanya mengangguk, dia mengambil kamera yang selalu dibawa ke mana saja di dalam tasnya. Walaupun dia tak begitu paham tentang dunia fotografi, tetapi hasil potretnya dapat dikatakan sudah cukup bagus.
Dara mulai memotret apa saja yang menarik perhatiannya, termasuk hamparan danau di depannya. Padahal, entah sudah berapa ratus banyaknya foto danau ini yang tersimpan di memori kameranya, belum lagi yang sudah disalin di laptop, juga yang sudah dicetak.
“Hobi banget sih fotoin danau,” celetuk Stevan sembari mengacak pelan rambut Dara.
“Nggak apa-apa, senang aja gitu, buat kenang-kenangan,” sahut Dara kembali memotret segala hal yang terlihat menarik di matanya.
“Memangnya mau ke mana? Pakai buat kenang-kenangan segala?”
Dara hanya menaikkan kedua bahunya acuh tak acuh, dia masih berfokus membidik danau dengan kameranya.
“Huh!” Stevan hanya bisa menghela napas pelan. Gadisnya ini bila ditanya kenapa suka sekali memotret sesuatu, selalu saja menjawab untuk kenang-kenangan. Memangnya ini adalah hari ini terakhir mereka bisa mengunjungi danau ini?
Hingga tak terasa mereka sudah tiga jam berada di sini, yang artinya sekarang sudah pukul empat sore.
“Pulang sekarang?” tanya Stevan pada Dara.
Dara mengangguk.
“Ayo, aku capek. Cukup untuk hari ini refreshing di danaunya, aku pengin refreshing di pulau kapuk lagi.” Dara mulai menaruh kembali kameranya kedalam tas.
“Hah?” ucap Stevan tak mengerti.
“Aish, pulau kasur maksudnya. Kamu mah, udah ah ayo pulang sekarang.” Dara beranjak dari duduknya sambil menenteng tas miliknya.
...🌾🌾🌾...
“Enggak mampir dulu, Van?” tanya Dara sambil melepas seat belt sebelum turun dari mobil Stevan. Saat ini mereka telah tiba di depan gerbang rumah Dara.
“Enggak dulu. Soalnya aku masih harus ke kafe setelah ini,” sahut Stevan menoleh ke arah Dara.
Dara mengangguk.
“Kalo begitu aku turun dulu, ya, hati-hati di jalan.” Perempuan itu pun turun dari mobil.
Setelah memastikan bahwa Dara telah masuk ke dalam rumah dalam keadaan selamat, Stevan kembali melakukan mobilnya menuju sebuah kafe yang baru dia bangun satu tahun yang lalu.
“Assalamualaikum!” Dara mengucapkan salam seiring degan langkahnya yang memasuki ruangan di dalam rumahnya.
“Waalaikumussalam, baru pulang, Dar?” tanya Dira yang sedang duduk di sofa ruang utama dengan semangkuk kecil puding cokelat di tangannya.
Dara menghampiri kakaknya, lalu duduk di sampingnya.
“Iya, Kak. Tadi jalan-jalan dulu sama Ste.”
Dira mengangguk kemudian menyuapkan satu sendok puding ke arah Dara yang disambut baik oleh mulut gadis itu.
“Adek suka banget, ya makan puding cokelat,” ucap Dara setelah menelan puding di dalam mulutnya sambil mengusap perut kakaknya.
“Mungkin nanti kalau dia udah besar, puding cokelat bakalan jadi makanan favoritnya kali, Dar,” sahut Dira tanpa mengalihkan pandangannya dari tayangan yang sedang disiarkan di televisi. “Kamu mandi dulu sana gih, baru turun makan. Kakak tadi udah masakin kamu sup ayam,” lanjut Dira.
“Eh iya, Kak. mama ke mana?”
“Oh, Mama lagi ke kantor Papa.”
Dara mengangguk.
“Ya udah, Dira ke kamar dulu, Kak. Dadah.” Sebelum pergi ke kamarnya, Dara menyempatkan diri untuk mencium pipi kakaknya terlebih dahulu.
...🌾🌾🌾...
Stevan baru saja tiba di rumahnya setelah mengecek keadaan kafenya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Dia memarkirkan mobilnya di garasi kemudian berjalan memasuki rumahnya.
“Assalamualaikum, Mama. Ste pulang!” ucap Stevan lalu menghampiri bundanya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. “Loh, Ayah udah pulang dari kantor? Biasanya tunggu jam delapan malam baru pulang,” ucap Stevan saat melihat kedua orang tuanya sedang mesra-mesraan di sofa ruang keluarga.
Vano mengangguk.
“Iya, udah dari jam tiga sore tadi, Ayah capek, kemarin baru tiba dari LA.”
“Ya ampun, Yah. Bilang aja kalau Ayah mau mesra-mesraan sama bunda, ‘kan?” tebak Stevan sambil duduk di antara bunda dan ayahnya.
“Enggak apa-apa, nggak ada yang ngelarang juga, udah halal ini,” sahut Vano seraya mengusap kepala putra semata wayangnya ini. “Oh iya, Ste. Ayah mau jodohin kamu sama anak teman Ayah,” lanjut Vano sambil menatap wajah anaknya yang mirip sekali dengan dirinya selagi masih muda dulu.
Baru saja Stevan hendak melayangkan protes, tetapi sudah terpotong oleh suara ayahnya.
“Ayah tidak terima penolakan. Pokoknya kamu harus terima perjodohan ini!” tegas Vano tak terbantahkan.
“Tapi, Yah. Ayah, kan tahu, Ste udah punya pacar. Ste, nggak bisa, Ste nggak mau nerima perjodohan ini. Ste sayang sama pacar Ste, Yah,” tolak Stevan.
Entahlah, Stevan hanya tak ingin meninggalkan Dara. Oh ayolah, sekarang sudah zaman modern, kenapa harus ada perjodohan segala macam? Apa papanya tidak percaya bahwa Stevan bisa mencari pilihan yang terbaiknya sendiri. Lagi pula, Stevan sudah memiliki Dara, perempuan yang ia sayangi setelah bundanya. Namun, jika takdir berkata lain, dia bisa apa?
“Ayah, kan sudah bilang, Ayah tidak terima penolakan! Sekali ini aja, Ste, turutin permintaan Ayah!” tegas Vano lagi.
“Bunda!” Stevan merengek meminta bantuan pada Anita—bundanya Stevan.
“Maaf, Ste. Bunda nggak bisa bantu,” ucap Anita mengusap pelan rambut Stevan.
“Pokoknya Ste nggak mau nerima perjodohan ini. What the hell is this, ini bukan zaman purba lagi, Yah. Yang suka main jodoh-jodohin,” ucap Stevan menatap ayah dan bundanya secara bergantian.
“Terserah kamu mau bilang apa, yang penting Ayah tetap pada pendirian Ayah, Ayah akan menjodohkan kamu dengan anak teman Ayah, Ayah tidak mau dengar penolakan dalam bentuk apa pun, yang keluar dari mulut kamu,” ucap Vano tegas lalu meninggalkan istri dan anaknya di ruang keluarga.
“Aish, Bunda. Ste harus apa?”
“Pikirin baik-baik, Sayang. Ayah tidak mungkin pilihin sembarang wanita untuk kamu. Ingat, jangan buat Ayah kamu kecewa,” tutur Anita, ikut meninggalkan Stevan dan menyusul suaminya.
“Arg! Nasib gue gini banget, bangsat!”
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments