Bab 3

Baca aja dulu, kalau suka baru vote😉

Happy Reading All🌾

Setelah tiga jam lamanya mengikuti materi yang disampaikan oleh dosen, akhirnya kelas telah selesai. Dara segera membereskan semua peralatan tulis dan memasukannya ke dalam tas.

“Woi, gue keluar duluan, ya!” pamit Dara kepada kedua sahabatnya.

“Mau ke mana lo?” Alden bertanya sambil memasukkan buku tebal ke dalam tas.

“Gue mau ketemu Stevan. Dah ah, bye, gue duluan.” Tanpa menunggu jawaban dari kedua sahabatnya, Dara segera keluar kelas menuju kantin karena Stevan sudah berada di sana menunggunya.

Sesampainya di kantin, Dara celingukan mencari keberadaan kekasih hatinya itu. Lantas, netra cokelatnya menangkap sosok yang dicarinya sedang duduk di pojok kantin. Dengan langkah santai dan juga senyum yang terpatri di wajahnya, Dara menghampiri Stevan.

“Hai, udah lama?” tanya Dara, membuka pembicaraan sambil mengambil duduk di kursi depan Stevan. Perempuan itu lebih dulu meletakkan tasnya di atas kursi yang kosong, kemudian memfokuskan perhatiannya pada pria tampan di hadapannya itu.

Stevan menggeleng. “Kalau nungguin kamu nggak bakalan lama, Sayang.”

“Kamu mah gombal mulu,” cibir Dara. Perempuan itu melipat tangannya di atas meja usai meletakkan tasnya di atas kursi yang kosong.

“Nanti masih ada kelas?”

Dara mengangguk. “Iya, masih ada satu materi lagi, perkiraan nanti keluar kelas jam satu siang. Padahal udah semester akhir, tetap aja dikasih materi mulu sama para dosen.”

“Hei, jangan ngeluh dong, katanya mau cepat lulus, terus kita nikah. Dosen ngasih materi, kan buat kamu juga, Sayang. Buat persiapan menjalankan sidang yang bakalan kita hadapi setelah selesai skripsi,” tutur Stevan mengusap pelan rambut Dara.

Dara hanya terdiam, menikah dengan Stevan? Benarkah? Atau dirinya yang akan menikah dengan pria pilihan orang tuanya? Atau sebaliknya?

Dara menatap lekat manik mata Stevan. Mata yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Mata teduh yang selalu membuat Dara merasa nyaman berada di dekatnya. Dara tersenyum, lebih tepatnya tersenyum hambar. Kenapa papanya tak menyuruhnya menikah dengan Stevan saja? Stevan juga pria yang baik, bahkan sangat.

Jika disuruh menikah dengan Stevan, tanpa pikir dua kali pun Dara pasti akan menyetujuinya. Namun, nyatanya sang papa lebih memilih menjodohkan Dara dengan anak temannya. Huh, ini menyebalkan, tetapi Dara bisa apa? Menolak keinginan papanya? It's impossible.

“Sayang, kamu kenapa?” tanya Stevan dengan nada khawatir sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Dara.

Dara mengerjapkan matanya kaget.

“Hah, kenapa? Kamu tadi tanya apa?”

“Kamu lagi mikirin apa, sampai-sampai aku panggil dari tadi kamunya nggak dengar?” tanya Stevan memandang wajah ayu nan manis milik kekasihnya.

“Hah? Oh, aku cuma lapar,” jawab Dara sekenanya.

“Ya udah kamu mau makan apa, nasi goreng atau mi ayam?”

“Mi ayam aja, soalnya aku udah makan nasi goreng tadi pagi.”

“Ya udah, kamu tunggu sini, biar aku yang pesanin.” Dara mengangguk, Stevan mulai bangkit dari duduknya untuk memesankan makanan untuk Dara.

Dara menunduk, menyembunyikan wajahnya pada rambut yang sengaja dia gerai.

Oh God, begitu susahnya aku untuk melepaskan Stevan dari genggamanku. Dia pria baik dan dia adalah pria yangku sayangi setelah Papa. Semoga kita berjodoh, Van, batin Dara.

Tak lama kemudian, Stevan kembali dengan membawa satu mangkok mi ayam juga es jeruk untuk Dara lalu meletakkan di atas meja.

“Kamu nggak makan?” tanya Dara saat hanya melihat satu mangkok mi ayam tersaji didepannya.

Stevan menggeleng. “Aku tadi udah makan sebelum kelas. Kamu makan aja, aku tungguin kamu di sini.”

Dara hanya mengangguk lalu mulai mengaduk mi ayamnya hingga menimbulkan asap-asap tipis.

“Nanti selesai kelas mau jalan, nggak?” Dara mendongak, menatap Stevan tanpa membuka suara, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. “Ke danau favorit kita, udah lama kita nggak ke sana,” lanjut Stevan.

Dara mengangguk kemudian menelan makanan yang sudah dikunyahnya. “Boleh, lagian aku juga perlu refreshing. Untungnya skripsi punyaku sebentar lagi selesai, tinggal nunggu di-accede. Terus sama nunggu waktu sidang aja.”

“Selesaikan makan kamu,” ucap Stevan tersenyum kepada Dara.

Lagi-lagi Dara hanya mengangguk, dia menyeruput pelan jusnya dan melanjutkan kembali menyantap mi ayamnya.

Selama Dara makan, yang Stevan lakukan hanya memandangi wajah Dara dengan pipi yang menggelembung karena mengunyah makanan. Semakin hari, aura kecantikan makin mengguar dari wajah Dara dan itu membuatnya semakin menyayangi wanita itu.

Dara mendongak, menatap Stevan yang masih saja asik memandangi dirinya. Tiba-tiba Dara mengusapkan telapak tangannya ke wajah Stevan.

“Jangan ngelihatin mulu, aku nggak bakalan hilang.”

Stevan tertawa pelan sambil menepuk puncak kepala Dara. “Habisnya kamu cantik, sih. Jadi aku betah ngelihatinnya. Apalagi kalau nanti kita nikah, aku pasti bakalan bisa lebih sering lihatin wajah cantik kamu.”

Dara kembali terdiam, kenapa perkataan Stevan membuatnya sulit untuk mengambil keputusan? Kenapa, akhir-akhir ini Stevan selalu membahas tentang pernikahan? Waktunya tersisa enam hari, dan dalam enam hari itu, dia sudah harus memiliki jawaban.

Kebimbangan terus merajalela di hatinya sejak kemarin malam. Sangat sulit bagi Dara untuk berpisah dengan orang-orang yang selalu memberi kebahagiaan tersendiri di hidupnya.

Kenapa takdir tak pernah berpihak kepadanya? Dara hanya ingin menikah dengan orang yang dia sayang. Namun, pernahkah terlintas dipikirannya, bahwa yang hadir belum tentu takdir? Pernahkah Dara berpikir, apakah dia akan selalu merasakan bahagia jika dirinya menikah dengan Stevan?

Ya Allah, kenapa engkau memberikan cobaan yang sulit untuk kupilih? batin Dara.

“Jangan ngelamun lagi, Sayang, nggak baik,” tegur Stevan pelan.

...🌾🌾🌾...

“Baik, saya rasa cukup sekian materi yang dapat saya sampaikan hari ini. Selamat bertemu di pertemuan selanjutnya,” ucap Pak Bima, dosen yang menyampaikan materi di kelas Dara.

Setelah Pak Bima keluar kelas, Eva dan Alden menghampiri Dara yang masih anteng duduk di bangkunya.

“Dara lo ikut nggak?” tanya Eva.

“Pada mau ke mana kalian?”

“Kita mau ke toko buku. Gue mau beli novel, buat refreshing otak biar nggak pecah karena terlalu mikirin skripsi,” sahut Eva.

“Enggak deh, gue soalnya udah ada janji sama Stevan. Kalian aja,” ucap Dara.

“Ya udah, kita duluan, ya, Ra,” pamit pria yang berdiri di sebelah Eva, siapa lagi kalau bukan Alden.

Dara hanya mengangguk, kemudian kedua orang itu mulai meninggalkan kelas, menyisakan Dara dan beberapa mahasiswa lainnya yang masih anteng duduk.

Merasa sudah selesai, Dara keluar dari kelas. Berjalan menghampiri Stevan yang sudah menunggunya di depan kelas.

“Jadi, ‘kan?” tanya Stevan saat Dara sudah berada di sampingnya.

Dara mengangguk. “Jadi dong, aku juga pengin ke sana.”

To be continued ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!