Setelah melihatnya, hatiku berdegup kencang dan tak terbendung. Tanpa ragu, aku mengambil selembar kertas HVS yang tergeletak di meja guru dan dengan gemetar, aku menulis segala perasaanku yang meluap setelah melihatmu. Setiap goresan pena memancarkan getaran emosi yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Namun, sebelum aku bisa menyelesaikan tulisanku, bel masuk berbunyi, menggema di seluruh koridor sekolah. Semua siswa bergegas menuju kelas masing-masing. Karena hari ini adalah hari terakhir orientasi, kami, para siswa baru, diminta untuk mendapatkan tanda tangan dari kakak kelas sebagai tanda pengenalan dan juga sebagai tugas yang diberikan oleh kakak pembina.
Tak lama setelah Bel masuk berbunyi kakak pembina pun masuk ke kelas ku. “Selamat siang teman-teman.”
“Siang kak.”
“Gimana tugasnya udah selesai?”
“Udah kak.” Ucap semua siswa yang ada di ruanganku.
“Kalau udah tugasnya bisa kalian kumpulkan di meja paling depan. ”Semua siswa mengumpulkan tugas kecuali aku sendiri tidak mengumpulkan tugas. “Siapa yang tidak mengumpul-kan tugas?”
“Si Deni kak.” Ucap Desi sambil mengangkat tangannya dan menunjuk ke arahku.
Aku yang mendengar suara Desi langsung memandang sinis ke arahnya dengan muka yang sedikit kesal sedangkan dia hanya tertawa kecil.
“Kamu lagi kamu lagi, nggak bosen apa bikin ulah terus?”
“Sebenarnya saya udah ngerjain kak.” sambil mencari alasan tentang tugas tadi.
“Terus?”
“Tapi baru niatnya aja kak.” Ucapku sambil tersenyum.
“Karena kamu nggak dapat tanda tangan, kamu saya hukum buat bersihin Aula!” Kata kakak pembina menegas
“Tapi kak-” Kataku tetapi dipotong oleh kakak pembina.
“Nggak ada tapi-tapian.” kata kakak pembina dengan nada seperti membentak dan menyuruhku untuk mem-bersihkan aula.
“Baik kak.”
Aku pun pergi meninggalkan kelas dan berjalan menuju Aula, tetapi sebelum aku sampai di Aula, aku melihat Dila yang sedang berjalan sendiri, dan tanpa pikir panjang aku pun langsung menghampirinya dan menyapanya.
“Hei Dila.” Ucapku sambil menyapanya dan mengejarnya untuk berjalan di sampingnya.
Dila melihat ke arahku dan tersenyum. “Oh Deni.”
Senyumnya itu manis dilihat dan indah untuk diingat
Dulu aku mengira jika ingin menikmati surga Dunia aku harus membayarnya dengan mahal
Ternyata... tidak semuanya harus dibayar
Contohnya saja dengan menikmati senyummu.
Senyummu itu indah, sama seperti surga Dunia yang bisa ku nikmati dan dirasakan dengan cuma-Cuma.
Dengan hal sederhana itu aku sudah cukup bahagia tapi satu hal yang kamu harus tahu!
Kalau aku bakal lebih bahagia jika bisa memiliki senyummu.
“Kamu mau ke mana?”
“Aku mau ngumpulin tanda tangan kakak kelas yang tadi disuruh kakak pembina.” Jawab Dila sambil membuka bukunya dan menunjukan kepadaku.
“Bukan harusnya sekarang udah masuk ya?”
“Iya harusnya udah masuk tapi pembina kelas aku ngasih toleransi waktu sampai jam istirahat.” Sambil menemaninya berjalan Dila menatapku. “Kamu sendiri mau kemana?”
“Aku mau...” Sambil menengok ke kiri dan ke kanan dan tersenyum “temenin kamu.”
Dila tersenyum. “Serius nih mau temenin aku?”
“Iyalah, karena itu tugas aku.”
“Tugas kamu, emangnya tugas kamu apa?”
Aku tersenyum kepada Dila. “Buat kamu senang.”
Dila tertawa kecil setelah mendengar perkataanku barusan. “Jangan ketawa?”
“Kenapa?”
Aku tersenyum sambil menatap mata Dila yang berwarna hitam kecoklatan. “Nanti aku sulit melupakannya.”
Dila tersenyum sambil memalingkan matanya. “Bisa aja yah kamu.”
Aku dan Dila pun mulai lebih akrab dari sejak saat itu. Aku mengobrol sambil menemani Dila berkeliling mencari tanda tangan kakak kelas. Setelah beberapa lama Aku dan Dila mencari kakak kelas akhirnya kami pun menemukannya.
Aku menahan langkah Dila yang sedang berjalan ber-samaku. “Dila bentar.”
“Itu kakak kelasnya.” Ucapku sambil menunjuk kakak kelas itu yang sedang duduk di dekat lorong sekolah.
“Oh iya, ayo kita kesana.” katanya sambil menarik tanganku dan berjalan mendekati Kakak kelas itu.
Aku yang melihat tanganku ditarik oleh tangan Dila kemudian langsung melihat ke wajahnya, dan Dila pun ber-balik melihatku juga.
Dila pun melepaskan genggaman tanganku yang tadi dia genggam. “Maaf-maaf Den, aku nggak sengaja narik tangan kamu.”
Aku tertawa kecil. “Ehehehe. Iya nggak papa kok, kalau mau lagi juga boleh.” Sambil mengulurkan tanganku ber-harap Dila mau menggenggam tanganku kembali tetapi Dila tidak menggenggamnya lagi.
Aku dan Dila pun berjalan menghampiri kakak kelas itu yang memang sedang duduk sendirian di lorong sekolah. “Selamat pagi.”
“Pagi.”
“Kenalin nama saya, Deni. dan ini, Dila. Kami di sini mau minta restu dari Kakak, untuk melaksanakan deklarasi pacaran kami.” kataku sambil tertawa kecil tiba-tiba Dila menginjak kakiku setelah aku mengucapkan hal tersebut.
“Restu?”
“Eh maaf Kak, Kita di sini mau minta tanda tangan.” Kata Dila yang masih menginjak kakiku.
“Oh itu. Nama saya Ica Marisa Agustina panggil aja kak Ica.”
Kak Ica itu yang pasti wanita dia itu ketua ekskul PMR dan juga jago buat puisi dan sekarang dia menjadi guru di SMP yang ada di daerah ku.
“Oh iya kak, boleh kami minta tanda tangan kakak?” Kata Dila sambil mengeluarkan bukunya.
“Boleh tapi ada syaratnya?” Kata kak Ica sambil tersenyum licik ke arahku.
Aku pun mengerutkan dahi setelah Kak Ica bilang ada syaratnya. “Kok ada syaratnya kak udah kayak uang kaget aja?”
“Mau nggak nih? Kalau gamau ya sudah.”
Aku pun menolak perkataan kak Ica mentah-mentah. “Nggak”
“Oh iya kak, mau.” Ucap Dila langsung mengiyakan tanpa mendengarkan perkataanku yang tadi.
Aku langsung melihat ke arah Dila. “Dila, kenapa kamu mau?”
“Kita nggak punya banyak waktu Den!” Ucap Dila dengan nada lembut dan tanpa melihat ke arahku.
“Iya kan lebih baik kita nyari kakak kelas yang lain dari-pada ini ada syarat-syaratan?”
“Udahlah terlanjur aku ngeiyain, nggak enak juga sama kak Ica.”
“Iya kak apa syaratnya?”
“Syaratnya cukup mudah kok kalian harus menebak satu dari tiga gelas air ini, dan setelah itu kalian harus me-minum air itu.” Ucap kak Ica sambil menunjuk tiga gelas yang sudah terisi air.
“Air apa itu kak?” Ucap Dila bertanya kepada kak Ica yang sedang memindahkan air itu ke kursi kosong yang berada di sebelahnya.
“Nanti juga kalian tahu, kalau kalian udah minum airnya.”
“Yaudah ayo kita mulai permainannya, Ini mudah kok.” Kak Ica pun memulai permainannya.
Setelah kak Ica memulai permainannya Dila langsung mengambil salah satu air yang ada di kursi itu dengan tangan kanannya dan perlahan-lahan ingin langsung me-minum air itu, tetapi aku langsung memegang tangannya untuk menghentikan Dila dan mengambil gelas yang berisi air itu.
“Dila, sebentar!”
“Ada apa Den?”
“Biar aku aja yang minum airnya.” Ucapku sambil ter-senyum dan mengambil gelas yang barusan Dila pegang.
“Tapikan ini tugas aku, aku nggak mau ngerepotin kamu.”
“Udah nggak papa, biar aku aja.”
“Tapi Ucap Dila tetapi terpotong karena aku langsung meminum air itu. Tak terlalu lama setelah aku meminum air itu, aku langsung berlari menuju toilet karena tak kuat menahan rasa asin dari air tersebut, Dila yang melihat aku berlari ke toilet langsung mengejar ku.
“Deni tunggu... Kamu salah masuk toilet, itu toilet cewek.” Teriak Dila sambil mengejarku dari belakang, yang melihat aku salah memasuki toilet. Lantas tiba-tiba setelah aku masuk toilet cewek itu, sontak cewek-cewek yang ada di toilet itu langsung berteriak dan melempariku dengan tisu, aku yang melihat pemandangan tak terduga tersebut langsung buru-buru keluar dari toilet dan berlari ke belakang kelas dan memuntahkan air yang dari tadi aku tahan
.
“Den kamu nggak papakan?” Kata Dila sambil me-megang tubuhku dengan raut muka khawatir, Dila nampak khawatir karena melihat aku yang tiba-tiba berlari menuju toilet.
Aku melihat wajah Dila yang khawatir dan aku langsung tersenyum kepada Dila. “Kamu khawatir ya!”
“Ih apaan sih nggak lucu tahu, kirain bener kamu kenapa-napa?” Kata Dila dengan muka kesal sambil men-dorong tubuhku yang dari tadi dia pegang.
“Aduh... duh... Kamu kalau lagi kesel cantik ya.” kataku berusaha membujuk Dila agar tidak ngambek.
Muka Dila memerah setelah Dila mendengarkan perkataanku yang baru saja aku ucapkan.
Aku dan Dila pun berjalan kembali menghampiri kak Ica yang tersenyum dari jauh kepadaku dan Dila. “Kamu nggak papa kan?”
Aku tersenyum. “Nggak papa kok kak, sayakan punya support system jadi kuat kak.”
“Yaudah mana bukunya sini biar kakak tanda tangani?”
Dila memberikan bukunya kepada kak ica yang memang ingin menandatangani bukunya Dila. “Ini kak.”
“Nggak sekalian aja kak, tanda tangani saksi buku nikah kita.” Ucapku sambil tersenyum.
Dila yang mendengar perkataanku barusan langsung menginjak kaki ku dengan keras tanpa mempedulikan sakit atau nggak.
“Dila sakit.” Dengan muka kesakitan aku berbisik kepada Dila sambil memegang kakiku yang sedang Dila injak.
“Sukurin.”
“Kalian berdua lucu yah, kalian pacaran?” Ucap kak ica yang melihat aku dan Dila yang sedang bertengkar.
“Enggak kak.” kata Dila dengan nada malu-malu.
Aku tersenyum. “Baru calon kak. Doain yah!”
“Hehehe... Iya kakak doain.” kata kak Ica sambil menandatangani buku Dila.
Dan akhirnya Dila pun mendapat tanda tangan kak Ica yang membuat tugasnya menjadi lengkap. Setelah itu kami berdua berjalan pergi meninggalkan kak Ica.
“Kamu sekarang mau ke mana?”
“Kekelas. Memangnya kenapa?”
“Mending kekantin dulu yuk?”
Dila bergumam. “Hmmm... Iya deh soalnya sekarang kelas aku juga lagi istirahat.”
Aku dan Dila pun berjalan bersama menuju kantin yang jaraknya kurang lebih 20 Meter. Setelah sampai di kantin aku dan Dila langsung memesan makan ke ibu kantin.
“Pagi bu.”
Ibu kantin pun berbalik dan langsung menyapaku dan mengingatkan untuk aku membayar hutangku. “Oh kamu lagi.”
“Da ini mah emang saya bu, siapa lagi atuh nggak ada duanya di sekolah ini mah.”
“Ya iyalah kamu, yang kemarin ngutang ke ibu.”
Aku langsung merangkul ibu kantin dan berbisik kepadanya. “Sutt... Bu jangan buka kartu atuh malu lagi bawa si neng geulis.” sambil menunjuk ke arah Dila dengan ibu jariku.
Ibu kantin langsung melihat ke arah Dila dan me-nyapanya. “Oh ada si eneng geulis, neng ini pacarnya Deni yah?”
“Eng Ucap Dila tetapi langsung dipotong olehku.
“Iya bu, Dila ini pacar Deni, jadi doain yah semoga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan?” kataku sambil mengajak ibu kantin untuk mengikuti ucapanku.
“Warohmah. Aamiin...” Aku dan ibu kantin sambil mungusap wajah. Dila pun langsung tersenyum men-dengarkan ku dan ibu kantin dan tak lama Dila pun menginjak kakiku lagi.
“Dila sakit!”
“Sukurin.”
“Tapi neng ibu kasih saran buat eneng!”
Dila mengkerutkan dahinya dengan wajah penasaran. “Saran? Saran apa bu?”
Ibu kantin langsung berbisik kepada Dila. “Ibu kasih saran yah sama eneng, agar eneng harus kuat mental kalau sama Deni ini, soalnya anaknya bandel, ceroboh, sulit diatur dan juga suka ngutang sama ibu.”
Dila menahan tawanya. “Ngutang?”
“Iya neng, tapi Deni juga sebenarnya orang yang baik, pinter tapi kalau sadar itu juga dan ibu yakin eneng bisa merubah Deni jadi lebih baik.”
Aku yang melihat Dila dan Ibu kantin sedang berbisik langsung menegur mereka. “Eh pada ngomongin apa nih? Ko nggak ngajak-ngajak.”
“Enggak ko Den, nggak ngomongin apa-apa, nih makanan kamu aku bawain kemeja yah?” Dila pun mem-bawa makananku dan makanannya ke meja makan yang ada di pojok kiri dekat dengan pohon.
Aku dan Dila berjalan bersama menuju meja makan untuk makan, sambil mengobrol kesana dan kesini, sampai aku melupakan tugas yang diberikan kakak pembina kepadaku, tak lama Windi dan Desi datang menghampiri aku dan Dila yang sedang bersama.
Desi dan Windi langsung duduk di dekat Dila. “Kalian yah udah berduaan aja?”
“Iya dong kita kan udah pacaran.” Ucapku sambil merangkul pundak Dila.
Mereka berdua terkejut mengira aku dan Dila sudah pacaran. “Hah...”
Dila pun langsung menginjak lagi kakiku tanpa bosan dan menyingkirkan tanganku yang barusan ada di pundak-nya. “Aduh... sakit Dila, ini udah yang ke berapa kalinya kamu menginjak kaki aku.”
“Beneran Dila, kamu sama Deni udah pacaran?” kata Desi kepada Dila sambil memegang bahu Dila untuk memastikan apakah perkataanku barusan itu serius atau bercanda.
“Serius Dila, kamu jadian?” kata Windi melanjutkan perkataan Desi.
Dila menahan tawanya melihat tingkah Windi dan Desi. “Enggak kok Deni barusan cuma bercanda.”
“Syukurlah.” kata Desi sambil menarik nafas kemudian langsung memukul tubuhku.
“Aduh... sakit tau, pantes nggak ada cowok yang suka lu, lagian lu mah nggak ada lembut-lembutnya jadi cewek.”
Tak lama ian dan Bintang meneriakiku yang sedang bersama dengan Windi, Desi dan Dila. “Oi Deni.”
Aku hanya mengangkat tangan dan mengajak mereka duduk bersamaku.
“Besok lu semua pada kosong nggak? Kalau memang nggak ada acara, gua mau ajak kalian ke taman bermain.” Ucapku kepada mereka berlima.
“Gua kosong si, tapi tumben lu ngajak kita main?” ucap Bintang bertanya kepadaku.
“Ya nggak papa, gua udah lama nggak ke taman bermain, jadi pengen aja.”
“Yaudah gua setuju.” kata Bintang, ian, Desi dan Windi. Mereka semua setuju kecuali satu orang, yah itu adalah Dila, dan aku pun bertanya kenapa Dila tidak menjawab perkataanku barusan.
“Dila kenapa?”
“Iya Dila ada apa?” Desi dan Windi pun melanjutkan pertanyaanku.
“Aku nggak bisa janji besok aku ikut atau nggak soalnya aku harus izin dulu sama ayahku.” kata Dila kepadaku, Windi dan Desi sambil menundukkan kepalanya.
Aku pun langsung mengusap kepala Dila sambil ter-senyum kepadanya. “Nggak papa Dila, aku akan menunggu kamu sampai kamu diizinin sama ayah kamu.”
Dila tersenyum. “Makasih Den.”
“Uh so sweet” Kata Desi dan Windi sambil berpelukan bersama.
“Oke kalau gitu besok kita ketemu di stasiun jam sembilan pagi.” kataku kepada mereka berlima.
“Oke.”
“Eh ngomong-ngomong tugas yang tadi kakak Pembina suruh ke lu udah beres belum?” kata Ian kepadaku mengingatkan akan tugasku yang tadi aku lupakan.
“Oh iya gua lupa anjir. tadi gua dihukum disuruh ber-sihin Aula.” kataku sambil memegang kepala.
Aku langsung menatap Dila. “Ini semua gara-gara kamu?”
Dila kebingungan. “Kok jadi gara-gara aku?”
Aku tersenyum. “Iya, karena saking manisnya senyum kamu aku sampai lupa tadi aku mau ngapain?”
“Garing.” kata windi, Desi, ian dan Bintang sambil tersenyum dan tertawa.
Atu tertawa kecil. “Aku duluan ya, kamu jangan ikut?”
“Iya hati-hati.” Ucap Dila sambil tersenyum melihat aku meninggalkannya.
Sesampai di Aula aku bertemu dengan kakak pembina kelasku dia menatapku dengan tatapan sinis seakan-akan mau membunuhku dan aku pun langsung mendekatinya.
“Siang kak?”
“Kamu kemana aja?” Kata kakak pembina itu dengan nada marah.
“Ada kak.”
“Di mana?”
Sambil menunjukkan telunjukku kebawah. “Di sini!”
“Kamu ingat tugas kamu apa?”
“Nah... kebetulan ketemu kakak.”
“Apa tugasnya?”
“Tapi ada masalah kak sama tugasnya?” Kataku ber-usaha mencari alasan agar tidak kena hukuman tambahan.
“Apa masalahnya?”
“Masalahnya itu kak, saya lupa tugas saya apa?” Kataku sambil menggaruk kepalaku dan tersenyum.
“Ya elah, kamu dari tadi ngapain?” Kata kakak pembina sambil menepuk kepalanya.
“Saya dari tadi lagi nyari kak?”
“Nyari apaan?”
“Nyari tau kak tugasnya apa?”
“Hah... Ibu kamu ngidamnya apaan sih, kok bisa ngelahirin anak kayak kamu?” Kata kakak pembina dengan muka kesal.
“Kalau diceritain panjang kak nggak akan beres satu hari.”
“Udah saya nggak mau dengar cerita kamu mending kamu masuk kelas.”
“Oke kak makasih yah, saya duluan.” kataku sambil pergi meninggalkan kakak pembina itu.
“Iya kak.”
Bel pulang berbunyi sekitar setengah jam yang lalu, aku yang dihukum tambahan harus menulis kalimat (SAYA TIDAK AKAN LUPA LAGI) sebanyak 10 lembar kertas HVS, setelah semuanya selesai aku langsung mengumpulkannya ke meja barisan depan dan menyiapkan tas dan pergi ke luar ruangan untuk pulang, sesampai di luar kelas ternyata Bintang, Ian, Desi, Windi dan juga Dila menungguku di luar untuk pulang kedepan gerbang bersama-sama.
“Lu semua lagi ngapain?” Ucapku bertanya kepada mereka berlima sambil menghentikan langkahku di depan pintu.
“Ya tentu nungguin lu lah!” kata Ian sambil bersandar di depan dinding.
“Lama banget keluarnya, sekali keluar banyak nanya.” kata Desi kepadaku dengan nada jutek dan memalingkan wajahnya dariku.
Dila berdiri dari duduknya dan menghampiriku yang sedang berdiri di depan pintu kelas. “Iya kita di sini nunggu kamu untuk pulang bareng-bareng.”
Aku hanya tersenyum dan langsung berjalan bersama mereka menuju depan gerbang sekolah. Hari ini semesta sepertinya merestuiku bersama Dila dan aku akan berusaha membuatnya tersenyum apa pun yang terjadi.
Sebelum aku berpisah dengan Dila aku pun mencoba memberikan puisi yang aku buat tadi siang kepada Dila dan berharap dia mau membaca puisi itu.
“Dila...”
Dila menghentikan langkahnya dan melihat ke arahku. “Iya?”
“Ada hal yang ingin aku berikan sama kamu.”
“Hah? Maksudnya?” Dila kebingungan dengan ucapan ku barusan.
Aku pun memberikan sebuah kertas HVS yang sudah aku tulis sebuah puisi di dalamnya. “Aku ingin kamu baca ini setelah kamu sampai dirumah.”
Dila mengambil kertas itu. “Apa ini?”
“Setelah kamu baca, nanti juga kamu bakal tau.”
“Kalian berduan mulu, mau kita tinggalin apa?” Teriak Desi kepada aku dan Dila yang sedang berbicara berdua di belakang mereka.
“Iya kita kesana.” Jawabku sambil berjalan bersama dengan Dila mengejar mereka yang sudah duluan.
Diluar sana banyak banget yang cantik.
Tapi menurut aku, cantik itu relative. Ada yang cantik beneran, dan ada juga yang sok cantik. Dan menurut aku, kamu itu masuk kekategori yang pertama. Iya kamu cantik, kamu manis, meski tanpa pensil alis. Kamu manis, tanpa pemanis buatan. Tapi saking manisnya, buat aku jadi pesimis. Buat aku jadi bingung, harus Romantis atau Humoris.
Aku nggak tau kamu suka yang mana, yang aku tau aku suka sama kamu. Semoga kita bisa lebih deket lagi ya. Andaikan nanti kita nggak jadian pun, seenggaknya kita bisa jadi temen.
Salam kenal ya.
.~~~.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments