Namaku Deni Ardiansyah Arafah, berjenis kelamin laki-laki, berzodiak Pisces dan berumur 16 tahun yang baru saja masuk sekolah SMA. Dan benar seperti kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah di mana kita merasa paling keren, paling menarik dan paling mengapi-api. Dan itu juga yang aku rasakan, pertama masuk SMA aku merasa berbeda saat aku duduk di bangku SMP, semuanya tampak baru, sekolah yang luas, guru yang bermacam-macam ekskul yang beragam dan juga seragam yang berbeda, walau pun saat ini aku masih menggunakan seragam SMP ku karena harus mengikuti orientasi sekolah. Kebetulan saat itu teman SMP ku sekaligus teman dekatku ada di sana dan kebetulan juga kami sekelas, sebut saja temanku yang satu ini dengan nama Bintang, tapi bukan Bintang yang ada di langit, melainkan nama orang.
Awal masuk SMA tak banyak orang yang aku kenal mungkin salah satu teman yang aku kenal saat itu adalah Fauzan atau biasa dipanggil Ian, aku mengenalnya karena dia kebetulan duduk di depan tempat dudukku, karena ku lihat dia seperti sendirian dan hanya membaca sebuah buku aku menyapanya.
“Oi!” Sapaku sambil berdiri di hadapannya.
“Iya?” Ucapnya sambil melihat ke arahku.
“Lu sendirian aja? Kenapa nggak sama teman-teman SMP lu? Atau emang lu nggak punya temen?”
“Mereka beda kelas sama gua, dan gua sendiri di kelas ini sedangkan temen-temen SMP gua di kelas lain.”
“Oh iya, lu punya nama?”
“Ya punya lah, namanya juga manusia pasti punya nama ya kali gua nggak punya nama, manusia macam apa yang nggak punya nama. Nama gua Fauzan panggil aja Ian, nama lu?”
Aku pun menyodorkan tangan kanan ku ke arah anak itu. “Gua Deni.”
Tak lama bel masuk kelas pun berbunyi dan semua siswa baru masuk ke kelasnya masing-masing dan tak lama kakak pembina pun memasuki ruangan kelas untuk memandu siswa-siswa baru memulai kegiatan pertamanya di SMA.
“Selamat pagi semua.” Ucap kakak Pembina yang baru saja dating Bersama dengan kedua temannya.
“Pagi.” Ucap kami seruangan.
“Oke teman-teman sebelum dimulai kegiatan hari ini alangkah baiknya kita berkenalan terlebih dahulu, karena seperti kata pepatah tak kenal maka tak?” Kata kakak pembina sambil mengundang kami melanjutkan perkataan-nya.
Dan kami pun menjawab perkataan dari kakak pembina itu secara bersama-sama. “Sayang.”
Kakak Pembina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Salah. Bagaimana kita mau sayang sedangkan kita saja tak tahu. Jadi yang benar adalah tak kenal maka tak, tahu.”
Memang benar ucapan dari kakak pembina barusan, semua orang yang saling sayang pasti saling mengenal satu sama lain, dan orang yang tak saling kenal maka tak akan pernah saling tahu dan itu juga yang akan menjadi inti ceritaku ini.
Kakak pembina itu pun menyuruh kami untuk mem-perkenalkan diri. “Sekarang perkenalkan diri kalian masing-masing? Biar kita bisa tahu dan kali aja nanti kalian bisa saling sayang juga.”
“Mulai dari kakak dulu dong!” Aku membalas perkataan kakak Pembina itu yang kebetulan aku belum mengenal kakak Pembina tersebut.
Kakak pembina tersenyum dan mulai memperkenalkan dirinya.“Oke baiklah, sebelumnya perkenalkan nama kakak, Sulaeman kelas 12 IPA 1, dan di sebelah kiri saya kak Arin kelas 12 IPA 2, dan di sebelah kanan saya kak Eva kelas 11 IPA 1.”
“Sekarang giliran kalian, coba dari cowok yang bertanya ke kak Eman, mana orangnya?” Ucap kak Arin mencari ku.
“Aku kak orangnya.” Sambil mengangkat tanganku.
“Kamu ke depan dan perkenalkan diri kamu.”
Aku pun berdiri dan berjalan ke depan untuk memperkenalkan diriku. “Nama saya Deni Ardiansyah Arafah, Hobi saya masih dalam pencarian dan cita-cita saya ingin melihat Bintang jatuh.”
Kak Arin yang merasa aneh dengan cita-citaku pun memastikan perkataanku. “Kenapa kamu ingin liat Bintang jatuh?”
“Soalnya saya kesel kak liat muka si Bintang.” Sambil menunjuk ke arah Bintang yang merupakan teman sebangkuku.
Kak Arin pun yang mulai kebingungan menyuruh Bintang untuk memperkenalkan dirinya. “Coba perkenalkan diri dulu, kamu siapa?”
“Nama Saya Muhammad Bintang Respati kak, dan cita-cita saya untuk menggagalkan cita-cita si Deni kak.”
“Eh lu harusnya jadi teman mendukung, buat bisa mewujudkan cita-cita gua?” Kataku sambil menimpali perkataan Bintang.
“Ya nggak gitu juga ege.”
Kak Arin pun mencoba melerai perdebatan ku dengan Bintang. “Udah kalian jangan ribut.”
Kak Arin yang sudah sadar dengan maksud dari kata-kataku di awal tadi, akhirnya memahaminya kalau yang aku maksud ingin melihat Bintang jatuh itu adalah ingin melihat si Bintang jatuh.
“Oh maksud kamu, kamu ingin liat dia jatuh?”
“Nah betul tuh kak, soalnya mukanya ngeselin, kali-kali ingin rasanya menenggelamkan dia ke samudra Atlantik biar dimakan paus.”
Kak Arin pun bergumam. “Tapikan ikan paus sukanya makan plankton.”
“Tapi untuk Bintang pengecualian kak.”
Kak Arin pun berjalan menghampiriku. “Nggak gitu juga dong, selain ingin liat Bintang jatuh kamu punya cita-cita apa lagi?”
“Aku ingin membuat mesin waktu kak.”
“Emangnya buat apa mesin waktu?”
“Karena aku ingin liat dinosaurus.”
“Emangnya nggak ada apa, cita-cita kamu yang lebih logis dan masuk akal?”
Aku hanya tertawa kecil mendengar perkataan kak Arin. “Itu udah yang paling logis kak.”
“Ya udah semoga kamu bisa buat mesin waktu.”
Setelah selesai sesi perkenalan, kelasku pun diajak keluar oleh kakak pembina untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya yang diselenggarakan di aula sekolah.
Aku, Ian dan Bintang pun berjalan keluar kelas untuk pergi ke aula, tetapi sebelum kami sampai di aula, Bintang mengajak aku dan Ian pergi ke parkiran terlebih dahulu untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di bagasi motor. Setelah Bintang mengambil ponselnya, aku, ian dan Bintang pun berjalan menyusuri lorong sekolah untuk pergi menuju aula yang tidak jauh dari tempatku saat itu, tepat sebelum kami sampai di aula, aku melihat seorang wanita yang begitu cantik dan sangat mirip dengan Artis Indonesia yaitu Adinda Azani.
Dia berjalan sendiri sambil agak menundukkan kepala-nya dan pergi ke arah aula, aku yang terdiam melihatnya sampai aku tidak berkedip karena takut melewatkan sesuatu hal yang sangat indah begitu saja.
Tepat saat dia berpapasan denganku Aku yang refleks mengucapkan nama Adinda kepada wanita itu, langsung terdiam dan membeku.
“Adinda.”
Wanita itu seketika menatapku dan langsung memberi senyuman yang hangat dan juga indah, dan senyumannya memang sangat indah bahkan lebih indah daripada senja yang ada di semestaku saat ini, hingga sampai saat ini juga aku masih ingat senyumnya dengan sangat jelas.
Saat pertama kali aku melihatmu. Ku kira kamu hanya akan menjadi bagian dari pertemuan yang singkat. Dan ternyata, sampai sekarang kamu masih menjadi peran penting dalam hidupku.
.~ ~ ~.
Dalam hatiku yang paling dalam bertanya-tanya siapa wanita tersebut, kenapa begitu indah, kenapa begitu sem-purna dan kenapa begitu mempesona. Aku tak tahu yang pasti aku ingin tahu siapa dia.
Ian yang melihatku terjebak dalam lamunanku pun langsung memukul bahuku. “Lu ngapain bengong di tengah jalan, nanti ada yang nyambet kita juga yang repot.”
“Gua cuma liat itu cewek cantik banget.”
“Ya iyalah cantik namanya juga cewek. Samperin dia kalau lu ingin tahu tentang dia.”
“Masih terlalu cepat buat gua untuk langsung men-dekatinya, mending kita masuk aula nanti telat.”
“Yakin lu nggak mau kenalan?”
“Gua yakin bentar lagi juga gua bakal ketemu lagi sama dia.”
“Ya iyalah, lu satu sekolah. kocak.” Ucap Ian sambil me-mukul pundakku dan berjalan kembali menuju aula.
Sesampai di aula aku, Ian dan Bintang duduk bertiga di depan, ku lihat wajah wanita yang tadi berpapasan dengan ku walau pun dari kejauhan dan aku juga melihat dua teman yang ada di sampingnya. Ternyata dua orang teman yang ada di sampingnya adalah temanku. Mereka adalah Windi dan Desi, mereka adalah teman SMP ku salah satunya adalah Desi dia adalah yang paling dekat denganku waktu aku kelas satu SMP. Kebetulan orientasi ini aku sekelas dengannya.
Setelah selesai acara di aula, kami disuruh istirahat tetapi di dalam kelas masing-masing, aku dan teman-temanku pergi ke kelas. Sebelum aku ke tempat dudukku aku menghampiri Desi yang kebetulan duduk di meja paling depan. “Pagi Desi!”
“Iya apa?” Jawabnya dengan nada jutek seperti tidak menerima kehadiranku.
“Biasa aja dong nanti cepet tua.”
“Ya udah, gua ulangi lagi, Deni mau apa kesini? Tumben nyapa Desi, biasanya juga langsung lewat aja.” Katanya sambil mengulang kembali kata-katanya.
“Gitu dong, kan keliatan cakep kalau gitu.”
“Cepetan mau apa? Gua nggak ada waktu buat ngurusin orang kayak lu.”
“Iya iya, tapi ini gua nggak ditawarin duduk dulu nih?”
“Nggak, udah berdiri aja.”
Aku langsung menatap mata Desi yang berwarna coklat sambil mendekatinya. “Ya udah to the point aja, tadi cewek yang duduk di aula deket lu siapa?”
“Astaga Deni, lu masa nggak tau? Itukan si Windi.”
Dengan muka kesel pun aku langsung menyentil dahi Desi. “Kalau si Windi mah gua tau, tapi ini sebelahnya?”
“Aduh, Sakit tau.” Sambil memegang dahinya dan langsung menjewer ku.
Aku berusaha melepaskan tangan Desi yang sedang menjewer ku. “Iya iya sorry, lepasin dulu telinga gua tar copot bahaya.”
Desi melepaskan tangannya dari telingaku. “Lu kesini mau nanya, atau mau ngajak ribut?”
“Iya-iya maaf, ya udah gua tanya sekali lagi, siapa cewek yang bersama lu berdua saat di aula tadi?” Ucapku yang langsung kembali menatap mata Desi dengan tajam.
“Oh si—”
Ku tutup bibirnya menggunakan telunjukku, agar dia tidak melanjutkan perkataannya. “Sutt, lu nggak perlu kasih tau siapa namanya, biar gua aja yang nyari tau siapa namanya!”
“Terus lu mau ngapain nanyain gua? Kalau lu nggak pengen tau namanya.” Ucap Desi sambil berusaha untuk menyingkirkan telunjukku dari bibirnya.
“Iya juga ya, tapi dia teman lu?”
“Iya... Dia teman gua pas SD, dan pas SMP nya dia pindah ke Tangerang bareng keluarganya, terus dia lanjutin sekolah di sana dan sekarang dia balik lagi kesini untuk melanjutkan sekolahnya di sini.”
Desi yang aneh dengan sikaf ku yang bertanya tentang cewek pun sedikit penasaran. “jangan-jangan lu macem-macem sama dia?”
“lu nggak perlu tahu cukup gua dan Tuhan yang tahu.”
Aku pun berjalan meninggalkan tempat duduk Desi dan pegi ke tempat dudukku sambil menunggu Bel masuk berbunyi, dan setelah Bel berbunyi kak Eman dan kak Arin pun masuk dan langsung memberikan pengumuman sambil mengakhiri kegiatan pada hari ini.
Di perjalanan menuju rumah aku selalu memikirkan Wanita itu entah kenapa senyumannya tidak bisa aku lupakan sedikitpun dari kepalaku, entah lah yang pasti aku ingin mengenalnya dirinya secepatnya.
Paling tidak, Sekali dalam seumur hidup. Kita akan bertemu seseorang yang membuat diri kita, begitu bersyukur karena mengenalnya. Seseorang yang mengajari kita banyak hal. Tentang tertawa, merayakan bahagia, hingga menangisi sebuah luka. Namun... Dia tidak akan pernah kita miliki. Dia hanya sebentar menemani. kemudian pergi.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments