Ini adalah hari keduaku sekolah seperti biasa aku mandi, sarapan dan langsung pergi ke sekolah, jarak rumah ku kesekolah kurang lebih 5 Km. Sesampai di sekolah aku bertemu dengan Ian yang kebetulan dia juga baru datang.
“Oi, Ian.” Sapaku kepada Ian sambil berteriak di sampingnya.
Ian pun menutup telinganya. “Oi kampret, ngapain teriak-teriak si, gua di sebelah lu, bangsat.”
“Lu tahu nggak Ian?” Tanyaku tanpa mempedulikan umpatan Ian.
“Kagak tahu gua.”
“Gua belum selesai ngomong, kampret. Udah pasang potong aja.”
Ian tertawa. “Kirain udah, lanjutin mau ngomong apa?”
“Lu ingat nggak kejadian kemarin?”
Ian memegang dagunya sambil berpikir, untuk mengingat-ingat orang yang aku maksud. “Ingat apa?”
“Cewek yang kemarin papasan sama gua.”
“Yakan, banyak kali cewek yang papasan sama lu?”
“Cewek yang kemarin berpapasan di lorong sekolah.”
“Oh yang itu.”
“Ingat?”
“Kagak.”
“Taik lu.”
“Santai-santai gua ingat kok, emangnya kenapa? Dia suka sama lu? Tapi nggak mungkin si dia suka sama lu, yang di mana dia itu udah kayak berlian dan sedangkan lu besi karatan.” Ejek Ian kepadaku.
“Bangsat lu, bukannya sebagai teman mensuport gua, lu malah ngejatuhin mental gua.”
“Ya lagian lu kemarin udah gua suruh kenalan malah bilang bukan saatnya, nanti ada yang menikung baru tau rasanya.”
“Gua harus kenalan sama dia, tapi kapan momennya?”
“Ya lu kalau mau kenalan nggak usah pake momen-momenan, langsung gas aja.”
“Iya, iya.”
Aku dan Ian pun sampai di depan kelas, tak lama setelah aku dan Ian sampai di kelas Bel masuk pun berbunyi tetapi kami tidak masuk melainkan kami harus ke lapangan untuk Apel pagi. Apel pagi ini sudah jadi tradisi di SMA ku ini, apel hanya berlangsung 15 menit dan juga Dilaksanakan setiap Selasa sampai Kamis.
Saat apel pagi, aku mencari wanita itu, tetapi tetap tidak menemukannya. Apel pun selesai, dan aku kembali ke ruanganku bersama Ian dan Bintang. Sesampainya di ruanganku, aku mengobrol dengan Ilham dan Huldan.
Tiba-tiba, Ian mendekatiku saat aku sedang ngobrol di kursi paling belakang. “Oi, Den, lihat siapa yang masuk ke ruangan kita?” Bisiknya dengan serunya.
Aku memandangnya dengan cuek. “Pasti cuma si Bintang, udah nggak ada yang penting.”
Tanpa kusadari, Ian tiba-tiba memutar tubuhku, menghadap ke arah depan. Setelah aku melihat ke depan, hatiku berdegup kencang. Ternyata orang yang baru saja masuk ke ruangan itu adalah wanita yang berpapasan denganku kemarin. Dia datang ke kelas bersama Windi, entah untuk apa.
“Gimana? Masih anggap nggak penting?”
Apakah ini kebetulan? Atau alam semesta menakdirkan kita untuk bertemu saat ini.
Aku terdiam membeku tak menyangka melihat seseorang yang aku ingin tahu datang menghampiriku. Meskipun itu bukan untukku, tapi aku berpikir bahwa dia datang untukku. Suasana seakan menjadi hening, hanya suara detak jam di tanganku yang terdengar nyaring. Mataku tak bisa berpaling darinya. Sosoknya begitu menawan, seperti malaikat yang turun ke dunia nyata. Senyumnya yang manis, dan mata cokelatnya yang memancarkan pesona. Aku terpana, seolah-olah dunia hanya berputar untuk mempertemukan kami.
Aku terus memperhatikan wanita itu dari kejauhan, sedangkan Ian melihatku terjebak dalam lamunanku langsung mendorong tubuhku untuk segera mendekatinya. Tapi aku masih terpaku, tak bisa bergerak dari tempatku.
“Malah bengong cepet samperin dia, nanti keburu pergi lagi.” Desak Ian.
“Tunggu.” Jawabku ragu.
Ian terus mendorongku untuk menghampiri wanita itu. “Cepet, jangan banyak alasan, lu.”
“Iya, iya.” gumamku.
Aku berjalan menuju wanita itu, langkahku seakan terhenti setiap kali kaki kiriku menyentuh lantai. Dia begitu indah, seperti bidadari yang turun dari surga. Aku akhirnya menghampiri wanita itu yang sedang mengobrol dengan Desi yang duduk di bangku barisan terdepan.
“Pagi...” Sapaku kepada wanita itu.
Desi dan Windi yang melihatku menghampiri mereka langsung membalas sapaanku dengan bersama-sama. “Pagi...”
“Bukan buat lu berdua, orang gua menyapanya juga ke dia.” ucapku dengan nada kesal sambil menunjuk pada wanita itu.
“Mau ngapain lu kesini?” Ejek Desi kepadaku.
“Berisik.” Aku mengabaikan pertanyaan Desi.
Aku pun menatap mata dari wanita itu, kulihat dengan seksama agar aku menemukan jawaban, bagaimana matanya bisa lebih indah dari pada senja semesta, dan bagaimana senyumannya bisa menjadi candu yang membuatku merindu.
“Kamu pasti teman mereka berdua ya?” Tanyaku sambil menatap mata wanita itu.
Desi pun langsung menjawab pertanyaan itu yang seharusnya aku tuju kan kepada wanita yang berada di hadapanku. “Ya iyalah, Deni. Kan dari kemarin dia sama kita.”
Aku berusaha agar Desi tidak mengganggu suasana dengan cara menatap matanya seakan-akan mau menerkam dia. “Berisik.”
Wanita itu hanya tersenyum kecil melihat tingkahku dengan Desi saat itu. “Hehehe. Iya, aku teman mereka, tepatnya aku teman SD Desi dan teman sebangku Windi saat ini.”
“Pasti berat ya jadi teman mereka berdua, pasti tekanan batin mulu?” ujarku mencoba memulai pembicaraan.
Wanita itu tersenyum lembut. “Enggak kok, mereka berdua baik.”
“Tumben mereka baik, biasanya kalau aku lagi sama mereka berdua suka hidupku selalu dalam ancaman.” Ucapku sambil tersenyum kepadanya.
“Ya itukan lu sendiri yang bikin kesal kita pas SMP, apalagi pas dulu lu minjam buku PR gua terus besoknya nggak dibalikin malah dikasih sama kelas sebelah.” kata Desi dengan muka kesal dan menceritakan kekesalannya kepadaku di hadapan wanita itu.
Aku tak mempedulikan Desi yang sedang mengoceh, karena pada saat itu aku hanya fokus pada Wanita itu.
“Saat kemarin kita berpapasan di lorong sekolah, aku tak sengaja melihat senyummu yang sangat indah. Dan aku merasa akan sangat menyesal jika aku tak pernah tahu namamu hingga hari ini.” Ucapku dengan suara serak karena gugup, sambil tersenyum pada Wanita itu. Aku lalu menyodorkan tangan pada Wanita itu, memperkenalkan diriku dengan nama yang ku sampaikan dengan jelas. “Deni Ardiansyah Arafah.”
Desi pun mengambil tangan wanita itu yang akan menjabat tangan denganku. “Jangan mau Dila, dia mah orangnya bikin naik darah terus, apa lagi kalau sama si Bintang, udah mereka nggak bisa tertolong ngeselin nya.”
“Oh Desi mau kenalan juga, Deni cariin cowok buat Desi.” kataku sambil meledek Desi yang membuatku kesal saat itu.
Desi yang tadi nyerocos terus pun langsung bersikap ramah terhadapku dan matanya langsung berbunga-bunga. “Bener yah?”
Aku pun memanggil Ian untuk datang menghampiriku. “Ian sini.”
“Gua?”kata Ian sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Ni Des ada cowok buat diajak kenalan.”
Desi yang melihat Ian pun langsung berusaha untuk menolaknya. “Serius ini Den? nggak ada yang lain apa? Spek-speknya yang agak mirip lu juga nggak papa.”
“Ian ada cewek nih yang mau ngajak lu kenalan, tapi dia gengsi untuk ngajak kenalan duluan, jadi saran gua lu ajak cewek itu kenalan duluan aja.” kataku sambil berbisik di telinga Ian yang berada di sampingku.
“Yang mana orangnya?”
Aku pun menunjuk Desi dengan jariku. “Itu orangnya.”
Ian pun langsung mendekati Desi dan mengajaknya berkenalan dan langsung menyodorkan mukanya kedepan muka Desi sambil tersenyum. “Aku boleh nggak kenalan sama kamu?”
“Kedeketan.” kata Desi sambil menampar muka Ian yang terlalu dekat dengan wajahnya.
Ian pun langsung memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Desi. “Aduh... Kok gua ditampar si.”
Aku hanya tertawa kecil melihat Ian yang baru saja ditampar sama Desi. “Hahaha. Ya elu pasang nyelonong aja tuh muka.”
“Yaudah gua ulangi lagi, boleh kenalan nggak?” Kata Ian sambil kembali menyodorkan tangannya untuk me-ngajak Desi berkenalan.
“Dahlah cuma kenalan ini kan, Gua Desi.”
“Namanya bagus, tapi lebih bagus kalau namanya ditulis di buku undangan kita.”
Desi pun melepaskan jabatan tangannya dan bersiap menampar Ian kembali. “Bilang apa lu barusan?”
“Canda, nggak usah dianggap serius, tapi kalau mau di-anggap serius juga nggak papa.”
Aku yang melihat Desi yang sedang sibuk dengan Ian pun langsung kembali mengajak wanita itu berkenalan kembali dan menatap kedua bola matanya yang berwarna hitam kecoklatan. “Gimana boleh kenalan nggak?”
“Iya, boleh,” Dila menjabat tanganku dan tersenyum. “Dila... Fadila Ningsih. Kamu boleh panggil aku Dila aja.”
Hari itu aku tahu namanya, dia bernama Dila. Ada perasaan yang berbeda saat aku melihatnya, entah kenapa setiap melihat dirinya waktu seperti terjeda sedikit demi sedikit, memberiku kesempatan untuk menikmati setiap momen bersamanya. Aku merasakan kalau dia adalah orang yang tepat untuk hidupku, tapi perjalananku mendapatkannya tak semanis perjalananku mengenal dirinya. Nanti ku ceritakan.
“Nama yang cantik, persis seperti yang mempunyai namanya.”
“Iya makasih.”
“Namamu artinya wanita yang terbaik.”
“Kok kamu bisa tahu artinya?”
“Karena kamu adalah kisah pertama dan terakhir yang akan peran penting di dalam hidupku.”
Dila hanya tertawa kembali mendengar perkataanku yang abstrak. Desi yang melihat tangan ku yang belum melepaskan Dila mencoba untuk menegurku.
“Ehem Deni itu tangannya nggak bisa lepas ya? Atau emang ada lemnya di sana?”
Aku bergumam sambil melihat ke arah tangan Dila yang kecil. “Hmm, kayaknya bener ada lemnya di sini.”
Desi yang kesal kepadaku langsung melepaskan geng-gaman tanganku dengan Dila secara paksa. “Bilang aja modus.”
Ku tutup bibirnya dengan telunjukku dan aku berbisik padanya. “Sutt, udah lu diem aja dulu jangan ganggu suasana.”
“Iya, iya. kawal terus sampai jadian.”
Setelah aku berhasil membuat Desi diam, aku pun kembali lagi untuk berbicara dengan Dila yang memang berada di hadapanku.
“Eh kamu dari SMP mana?”
“Aku dari SMP di Tangerang.”
“Jauh juga, kenapa kamu bisa sampai nyasar dan masuk sekolah ke Bogor?”
“Aku ikut ayah aku ke Bogor, soalnya dulu aku saat SD juga di Bogor, dan satu sekolah sama Desi, kalau kamu sendiri dari SMP mana?”
“Aku dari SMP sama kaya Desi, tapi aku bukan temen-nya Desi apa lagi Windi.”
Desi yang mendengar perkataanku barusan langsung memukul tubuhku dengan buku dan memelototi ku terus menerus, dan Dila hanya tersenyum melihat tingkahku dan Desi.
Dila pun melihat jam tangannya. “Oh gitu. Aku kembali ke kelas dulu ya, kayaknya bentar lagi masuk.”
“Hati-hati.”
Dila pun bertanya penasaran. “Hati-hati untuk apa?”
“Hati-hati soalnya senyum kamu bisa membuat siapa aja yang melihatnya jatuh hati.”
Dila tersenyum mendengar perkataanku barusan dan kembali berjalan. “iya, iya. Aku duluan ya.”
Aku dan Ian pun meninggalkan tempat duduk Desi dan kembali menuju ketempat dudukku, tetapi Desi menarik tanganku.
“Den awas lu, macem-macem sama Dila.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Desi. “Nggak kok, gua serius sama dia.”
“Inget ya, kalau lu ngapa-ngapain Dila, lu abis sama gua.” ucap Desi menegas sambil melepaskan tanganku.
Aku tersenyum. “Siap mbak.”
Aku pun berjalan menuju tempat dudukku karena sebentar lagi Bel masuk akan berbunyi.
Tak lama setelah Dila meninggalkan kelasku, kak Eman dan kak Arin selaku kakak pembina memasuki kelasku dan menyampaikan pengumuman untuk kegiatan yang akan dilaksanakan hari ini.
“Oke teman-teman sebelumnya selamat pagi?” Ucap kak Arin sambil duduk di kursi yang ada di depan.
“Pagi kak.”
“Kumpulkan barang yang kemarin kakak suruh bawa!”
“Baik kak.”
Kami pun mengumpulkan barang yang kakak pembina bilang kemarin tetapi ada satu orang yang nggak membawa barang dan orang itu Ian.
“Ian lu nggak ngumpulin barangnya?”
“Duluan aja gua nggak bawa barangnya.”
“Siapa yang tidak mengumpulkan barang yang kakak minta kemarin silakan ke depan, tanpa terkecuali!” Ucap kak Arin menegas.
Ian pun berjalan kedepan karena tidak mengumpulkan barang yang kakak pembina suruh kemarin. “Kenapa kamu nggak bawa barang yang kakak suruh kemarin?”
“Barangnya dimakan kucing temen saya kak.”
“kucing temen kamu doyan begituan?” Kata kak Arin menanggapi alasan yang Ian berikan.
“Ya itu masalahnya kak, saya juga lagi meneliti kenapa kucing temen saya doyan makan tugas saya kak, tetapi di pertengahan jalan saya lupa kak!”
“Kenapa kamu lupa?”
“Karena saya sibuk mengenang masa lalu sampai lupa kalau saya lagi meneliti kucing temen saya kak.”
Satu ruangan pun tertawa mendengar alasan dari Ian yang tidak logis itu.
“Yaudah deh, lain kali kalau nyari alasan yang logis ya dek.” Kata kak Arin sambil menahan tawanya.
“Yaudah hukumannya kamu tentukan sendiri takutnya nanti kakak hukum kamu nggak ikhlas.”
“Kalau gitu hukumannya saya bisa rayu cewek kak.”
“Siapa cewek yang kamu mau rayu?”
“Kak Eva.”
Kak Eva ini orangnya yang pasti wanita, cantik, baik dan ramah. Dia adalah anak kelas 11 Mipa 1 sudah itu kak Eva ini aktif dalam Ekskul pramuka. Gimana nggak jadi primadona di sekolah, jujur saja nggak ada satu orangpun yang nggak tertarik sama kak Eva, jika memang ada yang tidak tertarik mungkin ada yang tidak beres dengan dirinya.
“Tolong panggilan kak Eva yang ada di ruangan sebelah.” Kata Kak Eman menyuruh temannya untuk memanggil kak Eva kelasku.
Dari dalam aku dengar suara salam dari seorang wanita di balik pintu kelasku. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” satu ruangan pun menjawab salam dari kak Eva
“Iya kak, ada apa ya? kenapa kakak panggil saya?” Kak Eva pun bertanya kepada kak Eman yang berada di depan kelas.
“Ini teman kita, lagi kita hukum tapi hukumannya dia yang nentuin sendiri dan hukumannya dia mau merayu kamu.”
“Oh gitu.”
“Kamu bersedia?”
Kak Eva menganggukkan kepalanya. “Iya baik kak.”
Kak Eman dan Kak Arin pun pergi ke bangku belakang untuk menonton Ian yang akan merayu kak Eva.
“Ayo silahkan dimulai.”
Ian pun berjalan menuju kak Eva “Kak?”
“Iya apa dek?”
“Kakak cantik tapi sayang.”
“Sayang kenapa?”
“Nggak papa kok tumben perhatian bilang sayang lagi.” Ucap Ian sambil memberikan senyuman kepada kak Eva.
Aku yang mendengar gombalan dari Ian pun tak sanggup untuk tidak tertawa bersama Bintang. Hingga kakak pembina menegurku karena terlalu keras tertawa-nya.
Kak Eman pun bertanya kepada Ian. “Ada rayuan yang lain lagi nggak?”
Dengan nada percaya diri Ian pun menjawab perkataan kak Eman. “Uh... Banyak kak rayuan mah.”
“Coba rayu lagi kak Eva.”
“Siap kak, jadi enak.” Ucap Ian sambil cengengesan.
Ian pun kembali memanggil kak Eva. “Kak?”
“Iya apa lagi, dek?”
“Sini duduk.” kata Ian mengajak kak Eva duduk di samping Ian.
Kak Eva pun berjalan menuju Ian dan duduk di sampingnya. “Kak jangan duduk di sini, kakak nggak pantas.”
“Loh kenapa emangnya? Kan tadi kamu yang nyuruh kakak duduk di sini?”
“Kakak kayaknya lebih pantas duduk di kursi pelaminan bareng aku.”
Seketika satu ruangan pun kegirangan dengan apa yang Ian ucapkan barusan, dan banyak siswa yang menyesal kenapa mereka nggak dihukum aja. Dan mempunyai kesempatan untuk menggombal kak Eva yang memang primadona di sekolah.
“Uh... So sweet.”
Tak lama setelah itu kak Eman pun berjalan kedepan untuk memimpin acaranya kembali.
“Oke makasih kepada teman kita ini.”
Ian tersenyum. “Iya kak sama-sama.”
“Oke silakan duduk.”
Ian pun berjalan meninggalkan kak Eman dan kembali duduknya kembali yang berada di depan tempat dudukku.
“Berikan tepuk tangannya dong, masa sepi banget si kayak hutan.” kata kak Arin menyuruh seluruh orang yang ada di ruangan itu untuk tepuk tangan.
“Oke cukup sudah untuk sekarang, mari kita ke aula lagi karena acara berikutnya akan diadakan di aula lagi.”
“Iya kak.”
Aku pun ikut keluar untuk menuju aula bersama Bintang dan Ian, sambil berjalan ke aula aku melihat Dila yang sedang berjalan sendiri dan aku pun tak berpikir panjang, aku langsung menghampiri Dila dan menyapanya seolah kami sudah akrab saja.
“Dila...”
Dila melihat ke arahku dan tersenyum. “Eh Deni.”
Aku berjalan di sampingnya. “Mau ke aula?”
“Iya, kamu mau ke aula juga?”
“Nggak.”
“Terus kamu mau kemana?”
Aku pun bergumam sambil memegang daguku. “Mau temenin kamu.”
“Aku kan mau ke aula?”
“Yaudah kita bareng aja ke aula, soalnya aku takut.”
“Takut kenapa?”
Aku tersenyum. “Takut ada orang lain yang bikin kamu nyaman.”
Dila hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Jadinya mau ikut nggak, ke aulanya?”
“Selagi bersama kamu, aku bakal ikut kemana pun itu.” Kataku menerima ajakan Dila untuk berjalan bersama menuju aula yang berjarak dua puluh meter dari tempat aku dan Dila berjalan.
Aku bersama dengan Dila pun berjalan bersama menuju aula untuk mengikuti kegiatan orientasi tersebut, sesampai di sana Dila berjalan menuju tempat putri dan aku menuju tempat putra. Kegiatan di aula pun ber-langsung kurang lebih selama tiga jam, di sana cuma men-jelaskan tentang pengenalan sekolah, apa yang akan kita hadapi saat duduk di bangku SMA dan banyak hal yang tidak aku mengerti yang mereka jelaskan.
Dan setelah acara itu selesai aku, Ian dan Bintang pergi ke kelasku untuk beristirahat. “Oi... Den ke kantin nggak lu? Gua laper nih.”
Ian yang mendengar Bintang akan pergi kekantin pun mencoba ikut dengan Bintang. “Lu berdua mau kekantin? Gua ikut.
Aku menolak perkataan Bintang dengan wajah memelas. “Males ah lu berdua aja kekantin gua lagi males.”
Bintang pun menarik kerah bajuku untuk memaksaku ikut bersamanya menuju kantin. “Udah ayo, kalau lu pingsan karena kelaparan, entar gua juga yang repot.”
Setelah aku berpikir tentang ajakan Bintang ternyata ada benar juga, aku juga sedang laper mending ke kantin aja, daripada mati kelaparan di kelas. Aku, Bintang dan Ian pun berjalan menuju kantin, sambil berjalan menuju kantin kulihat banyak anak-anak sama sepertiku, mereka siswa baru tetapi sudah ada yang membuat kumpulan-kumpulan atau sebuah grup.
Aku berjalan di belakang, langkahku terhenti saat Ian memanggilku bersama Bintang yang sudah beberapa langkah di depanku. “Oi... Den, lihat siapa yang sedang duduk di depan?”
“Apa? Siapa?” Tanyaku, bingung.
Ian menunjuk seorang wanita yang sedang makan bersama temannya, telunjuknya menyorot dengan pasti. “Itu, yang duduk di meja paling depan sedang makan.”
Aku menoleh dan memperhatikan orang yang ditunjuk Ian. Sesaat, kebingungan melingkupi pikiranku, tetapi setelah beberapa detik, aku menyadari bahwa itu adalah Dila.
“Udah samperin aja, kita mau pesan makan dulu.”
“Oke. Gua kesana dulu.” Kataku sambil meninggalkan mereka berdua dan berada di sampingku.
Aku pun berjalan menghampiri Dila yang sedang berada di kantin. “Pagi Dila?”
Desi yang melihatku mendekati Dila pun langsung memukulku. “Pagi pala lu, ini udah siang ege.”
“Di mana Dila berada, di situ Deni ada.” Ucap Windi sambil melirik ke arahku yang berdiri di dekat Dila yang sedang duduk.
“Kayaknya lu masang alat pelacak deh sama, Dila. Soalnya lu suka muncul pas Dila lagi keluar kelas, atau jangan-jangan lu stalker?”
“Pala lu... Gua baru aja sampe udah difitnah aja.”
“Yaudah, lu kesini mau ngapain?” Ucap Desi dengan nada ngegas.
“Udah diem kalian, gua nggak ada urusan sama kalian berdua!” Ucapku kepada Desi dan Windi sambil mengambil minuman milik Desi dan meneguk minumannya itu.
Desi memukul tubuhku kembali karena meminum minuman miliknya. “Eh kampret, itu minuman gua, pasang seruput aja kerjaannya “
“Ya maaf, dahaga gua lagi haus barusan.”
Aku pun duduk di samping Dila dan menyapanya. “Hai, Dila. lagi makan ya?”
“Ya iyalah lagi makan lu nggak bisa lihat apa? Kalau punya mata dipake jangan dipake nonton film-”
Aku pun menutup mulut Desi dengan tanganku dan berbisik kepadanya. “Lu jangan buka kartu napa? Entar si Dila salah paham.”
“Nonton film apa?” Tanya Dila kepada Desi yang penasaran tentang perkataannya tadi.
“Oh itu, film kartun, dia udah masuk SMA juga masih aja nonton kartun.”
Dila pun mempercayai perkataan Desi barusan. “Oh kartun, aku kira film apaan.”
Ian memanggilku. “Den sini!”
Aku melihat Ian memanggilku untuk makan bersamanya. “Makannya yang banyak yah Dil, biar cepet tinggi.” Ucapku kepada Dila sambil tersenyum dan meninggalkan Dila.
Dila tersenyum kecil. “Ehehehe. iya, ada-ada aja.”
Desi pun menghela nafas setelah melihat aku pergi meninggalkan meja makannya. “Akhirnya pergi juga tuh orang.”
Aku pun menghampiri Ian dan Bintang yang memang sudah berada meja makan berbeda. “Mana makanan gua?”
“Itu tuh.”
“Mana?”
“Itu tuh ada di ibu kantin.”
“Ah kampret, kirain lu udah dipesan.”
“Ya pesan aja, ege sana.”
Aku pun berjalan menuju kantin. “Yaudah gua pesan dulu.”
“Bu, bu?” Kataku ke ibu kantin sambil mencarinya di tumpukan gorengan yang ada di hadapanku.
Ibu kantin pun menepuk pundakku. “Ibu di sini dek, ngapain nyari di tumpukan gorengan?”
Aku tertawa kecil. “Kirain ibu tertimbun para gorengan.”
“Iya mau pesan apa dek?” Kata ibu kantin kepadaku sambil memasak gorengan yang ada di atas wajan.
“Kok ibu tahu saya mau pesan makanan?”
“Ya tahu lah, kan ibu punya penglihatan masa depan?”
“Kalau ibu bisa liat masa depan coba ibu ramal saya, saya kesini mau ngapain?” kataku sambil memakan gorengan yang ada di hadapanku.
“Ya pastilah kamu kesini mau pesan makan kan?”
“Oh ternyata jawaban ibu salah, sata kesini mau ngutang bu. Hehehe.”
“Ah kamu baru juga kelas 10 udah belajar ngutang aja.”
“Kan kata pepatah bu, cara mengakrabkan diri adalah dengan berhutang!” Ucapku tersenyum.
“Iyaiya, mau pesan apa emang?”
“Mau pesan mie ayam aja bu?”
“Yaudah ibu buatin dulu, kamu tunggu dulu aja.”
“Iya Bu jangan lama-lama, nanti saya pingsan kelaparan.” kataku sambil duduk di depan di tempat tunggu makanan.
“Ini anak udah mah ngutang pengen cepet-cepet lagi.” kata ibu kantin sambil membuat makanan.
Setelah beberapa menit ibu kantin pun memberikan pesananku kepadaku. “Ini nih dek, pesanannya.”
“Oh iya bu makasih, tapi ngutang dulu ya bu.”
Ibu kantin hanya tersenyum kecil. “Iya nggak papa dek, tapi jangan keseringan nanti ibu bangkrut.”
“Iya iya bu tenang aja, pasti ngutang tiap hari kok.”
Aku pun berjalan menghampiri Ian dan Bintang untuk makan bersama, setelah selesai makan aku pun pergi kekelas untuk bersiap-siap untuk pulang. Tetapi sebelum pulang aku menghampiri Bintang yang sedang memarkir-kan motornya di parkiran.
Aku pun langsung menaiki motor Bintang. “Tang gua nebeng balik ya?”
“Hari gini masih nebeng, bayar lah?”
“Ah kampret mata duitan.” kataku sambil mengambil uang 2.000 dari kantong celanaku.
Bintang membukakan uang yang aku berikan padanya. “2.000 cukup buat apaan? Buat bayar parkir aja nggak cukup 2.000?”
“Mau nggak? Kalau nggak gua ambil lagi ni?”
“Ah lumayan daripada nggak dapet duit.”
Aku pun naik motor si Bintang karena kebetulan rumahku searah sama si Bintang. Hari pun berganti malam, aku pun berpikir bahwa aku harus memberikan sesuatu yang istimewa karena aku ingin jadi orang istimewa buat dia.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments