Langit yang semula serupa lembayung senja terlukiskan pelangi, kini mendadak berubah menjadi kelabu. Mendung menutupi mentari yang sebelum ini menyinari hari-harinya dengan Harun.
Bagai sebuah mimpi buruk yang membuatnya ingin cepat terjaga. Perempuan dengan hijab besar warna hitam yang senada dengan gamisnya termenung di hadapan jenazah sang suami. Sorot matanya kosong, berharap ini bukanlah sebuah hal nyata yang sedang ia alami.
Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya yang pucat sejak semalam. Selain sesekali mengerjapkan kedua mata sembab itu, mengaliri kristal-kristal bening kehilangannya berkali-kali.
Sejenak pikirannya berkelana ke beberapa bulan yang lalu. Saat suaminya mendapatkan musibah kebobolan toko. Hingga membuat uang senilai belasan juta, yang sengaja ia simpan di dalam toko sebagai tabungan modal untuk membayar dagangan harus raib di bawa maling.
# Flashback on
Pada saat itu yang ada pada ingatan Qonni, Suaminya benar-benar seperti orang yang tak bersemangat melakukan apapun. Ia jadi banyak melamun, makan tak berselera. Bahkan, ia sampai berniat menutup tokonya lagi jika tak di larang oleh Isterinya.
Setelah uang modalnya hilang, di tambah pesanan barang yang sudah tidak bisa ia cancel akan datang hari itu juga. Harun benar-benar di selimuti kekhawatiran, dan rasa bingung untuk mencari uang kemana lagi. Walau ia sendiri bisa meminta pada Ibunya, atau mungkin Kakak-kakaknya. Namun, sudah menjadi tekad pria dengan gingsul kecil di giginya. Bahwa Harun tak ingin menjadi beban siapapun, ia juga tak ingin memiliki hutang terhadap siapapun. Jadi, bagaimana cara dia menutup kekurangan ini tanpa meminta bantuan? Itulah yang sedang bergelut dalam kepalanya.
"A' jangan sedih. Rezeki itu tidak akan lari dari pemiliknya. Ikhlaskan, ya."
Pria di hadapannya hanya mengangguk lesu tanpa menjawab. Masalah ikhlas, sudah pasti ikhlas. Namun, untuk membayar tagihannya hari ini, bagaimana?
"A'a percaya, Allah?" Tanyanya, seolah paham apa yang ada dalam pikiran suaminya.
"Pastinya, Bii," jawabnya lirih.
"Kalau percaya. Ya semangat, dong." Qonni melirik jam di tangannya. "Bank udah buka. Bisa lah untuk tarik tunai."
"Maksudnya?"
Wanita dalam balutan hijab segi empat jumbo warna hitam itu mengeluarkan kartu ATM dari dalam dompetnya.
"Aku punya tabungan. Yaaa, nggak sebanyak uang A'a yang hilang, sih. Tapi inshaAllah, bisa buat nutup separuh dari tagihannya, bahkan lebih."
"Allahu Akbar..., jangan, Bii. Itu uang kamu." Harun menolaknya dengan cara menggangsurkan lagi benda tipis itu kearah isterinya.
"Nggak papa, By. Aku ikhlas..."
"A'a bakalan lama loh balikinnya. Udah nggak usah, kamu jangan ikut mikir ya. Ini keteledoran A'a. Jadi biar A'a aja yang mikirin."
"Jangan, gitu. Aku kan Isterimu. Kita hidup, senang dan susah sama-sama. Saling membantu kalau salah satu dari kita sedang di timpa musibah. Lagian kan di sini juga ada uang A'a juga."
"Bukan uang A'a, itu mah nafkah. Berarti punya kamu. A'a nggak berhak memakainya lagi."
"Iya, iya. Tapi kan tetap aja, aku nabung buat gini juga. Lagian uang yang A'a kasih suka bingung mau buat apa. Belanjaan dan lain sebagainya, udah di penuhi semua sama A'a. Belum lagi Ummi juga kadang ngelarang aku pake uang yang A'a kasih. Katanya suruh di tabung, plus gaji mengajarku. Ya ini hasilnya, dari pada buat foya-foya? Alhamdulillah, terpakai 'kan? Buat kebutuhan mendesak."
Harun melebarkan senyumnya. "MashaAllah, Kesayangku. Beneran Aku tuh beruntung memilikimu, Bii. Bukan hanya aura keceriaan mu yang selalu memberikan suntikan semangat untuk-Ku. Tapi, kamu benar-benar perempuan yang inshaAllah qonaah."
"Masa?" Qonni bertopang dagu.
"Iya!" Pria itu menoleh ke arah pintu hanya untuk memastikan jika tempat mereka aman. Setelah itu menarik tangan Qonni dan merengkuh tubuh langsing itu dengan ke-dua tangan. Sebelum menciumi isterinya berkali-kali sambil tertawa-tawa bersama.
Kalian perlu tahu, toko madu Harun termasuk toko online. Jadi Harun hanya membuat gudang penyimpanan barang dagangannya, karena ia sendiri masih senang melakukan pekerjaannya sebagai seorang pengajar. Jadi belum mampu untuk membuka toko offline yang harus ia tunggu selama seharian.
Beruntungnya selama sehari itu pembeli cukup banyak. Pesanan COD pun bahkan sampai tak mampu ia angkut sendiri. Sehingga harus menyewa jasa ojek online. Dan Alhamdulillahnya, kekurangan itu bisa ia tutup dengan uang tabungan pribadinya sendiri juga.
"Liat nih, lebihan uang yang ku pegang tinggal segini-gininya." Harun menunjukkan uang empat puluh tiga ribu rupiah pada Ayudia.
"Alhamdulillah, bisa buat jajan seblak. Jangan khawatirkan hari esok. Latihan jadi burung yang tidak pernah mengkhawatirkan rezeki perutnya esok hari. inshaAllah, pasti ada kok."
Harun bergumam MashaAllah sebelum mengangguk. Ia benar-benar mengagumi setiap apa yang isterinya katakan. Hingga sebuah pesan chat masuk. Ada pesanan satu karton kurma berukuran lima kilogram dan minta di kirim nanti malam, ba'da Isya. Ia pun kembali bersemangat dan buru-buru memasukan gawainya kedalam tas kecil yang biasa ia bawa kemana-mana.
"Sok, lah! Angkut...!" Harun hendak mengangkat tubuh Ayudia.
"Eh, apa ini?" buru-buru perempuan itu berlari menjauh dari suaminya yang berusaha mengejar hingga ke ambang pintu sambil tertawa.
# Flashback off
Seluruh kenangan itu bagaikan layar datar yang di putar tepat di depan matanya. Membuat tangan kiri Qonni meremas kain hijab yang terjulur sampai ke atas pangkuannya.
Bukankah amat singkat? Ia masih ingin bersenda gurau dengan Harun. Tapi, nyatanya sosok laki-laki yang menjadi sandaran hati setelah Tuhan dan Rasulnya telah tiada.
Ia menggigit ujung bibir bawah seraya tertunduk. Tubuhnya kembali berguncang hebat yang lekas di rengkuh Aida, berharap mampu memberikan ketenangan untuk puteri bungsunya.
"Ayo, Nduk. Masuk aja ke kamar kalau kamu nggak kuat," ajaknya sambil berusaha menahan tangis. Namun Qonni tetap bergeming, ia tak menggerakkan sedikitpun dari tempatnya. Rasanya tak ingin menjauh sedikitpun dari sisi Harun yang sudah tertutup kain seluruhnya.
Ia kembali mengusap kedua matanya yang sudah benar-benar terlihat sayu sebelum kembali terangkat dan terarah pada suaminya.
Safa berjalan jongkok untuk mendekati adiknya, lalu menyerahkan tissue baru demi mengganti yang ada di tangan Qonni.
"Kamu minum dulu ya, Dek?" ucap Safa dengan suaranya yang parau. Sekali lagi, perempuan dengan pandangan kosong itu tak menjawab. Safa menoleh kearah Ibunya yang kembali menangis. Kemudian beralih lagi pada Qonniah sebelum menyeka pelan kedua pipi sang adik.
Suasana duka benar-benar menyelimuti rumah besar ini. Safa sendiri amat sangat prihatin sekaligus menyayangkan musibah yang menimpa Adik iparnya, yang hanya karena sebuah perilaku premanisme berkedok solidaritas antar fans-club dari mereka-mereka yang tak bertanggungjawab. Orang-orang tak bersalah seperti Harun harus kehilangan nyawa.
Sungguh sangat ironis, rivalitas yang seharusnya hanya ada di tengah pertandingan. Harus berbuntut panjang bahkan tak jarang menjadi tragedi berdarah di luar arena.
Walau kembali pada fakta, jika takdir Harun Azmi memang hanya sampai di sini. Namun, kepergian mendadak ini tetap menjadi pukulan keras untuk Sang adik yang sedang mengandung pada trimester awal.
Ia sendiri bahkan tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya ada pada posisi Qonni yang hanya diam saja sementara hatinya meraung-raung menangisi kepergian Harun untuk selama-lamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Herlina Lina
ya Robb manis bgt
2023-12-01
0
may
Bawangnya jangan kebanyakan dong😭
2023-11-20
0
may
Ya ampunnn maniss sekali😭
2023-11-20
0