“Kalau gitu Rafka tidak boleh berpikir seperti itu ya. Kasian mama kamu, nanti dia menangis kalau Rafka seperti itu. Rafka harus jadi anak baik yang bisa menjaga dan melindungi mama suatu saat nanti,” ujar Dikta menasehati Rafka, ia hanya berusaha agar anak kecil itu tidak berpikir seperti tadi lagi.
“Iya, dok. Rafka janji.” Jawab Rafka.
Dikta mengangguk lalu dia mencium pipi Rafka dengan gemasnya. Setelah mengetahui Rafka adalah anak Alana, Dikta selalu excited ketika bersama Rafka. Dia bahkan sudah menganggap Rafka seperti putranya sendiri. Yah meskipun ia belum menikah tapi apa salahnya ia berpikiran seperti itu.
“Anak kamu lucu, Al. Sama seperti kamu dulu,” gumamnya.
.
.
Tak terasa hari sudah berganti malam, setelah memastikan semua pasiennya di rawat dengan baik, Dikta juga memastikan bahwa Rafka tertidur. Ia kembali menutup pintu ruangan Rafka setelah melihat Rafka tidur dengan tenang. Dikta melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. ini sudah waktunya pulang.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dikta segera melangkahkan kakinya untuk pulang. Ia juga sesekali menyapa dan memberikan senyumannya pada orang tua pasien yang menyapanya. Saat tiba di parkiran, Dikta mengambil kunci mobilnya lalu menekan tombol remotnya sambil mengarahkannya pada mobil. Setelah berbunyi, barulah Dikta masuk ke dalam mobilnya.
Mobil Dikta sudah meninggalkan parkiran rumah sakit itu, saat ini mobilnya sudah ada di jalan besar. Dikta menyetir mobilnya dengan hati hati khawatir dengan keselamatan dirinya dan orang lain. Meski begitu dia juga sambil menikmati pemandangan jalan di Jakarta yang masih sangat ramai meskipun di malam hari. Jalanan disitu juga merupakan saksi cinta Dikta dengan Alana dulu. Dikta masih mengingatnya dengan jelas.
“Jika jalan ini adalah jalan yang menyatukan kita. Lantas apakah bisa jalan ini menjadi tempat kembalinya kamu padaku?” tanya Dikta dalam hatinya. Dikta menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. Bisa bisanya dia mempunyai pikiran seperti itu. Itu semua hanya masa lalu. Tidak mungkin tiba tiba kembali seperti awal lagi.
Tiba tiba saja hujan turun dengan begitu derasnya. Dikta yang tadi sedang berpikir langsung menutup kaca mobilnya untuk menghindari percikan air yang akan masuk ke dalam mobilnya.
“Kenapa tiba tiba hujan sih,” ucap Dikta dengan matanya yang mengarah pada jendelanya yang sudah basah dengan air. Namun, mata Dikta tiba tiba tertuju pada wanita yang hujan-hujanan di pinggir jalan sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Dikta pun memelankan laju mobilnya demi melihat wanita itu. Dikta merasa tidak asing dengannya, ia merasa seperti pernah melihatnya. Belum sempat Dikta mengenalinya, wanita itu langsung pingsan begitu saja di aspal yang basah dengan air hujan itu.
“Astaghfirullah, dia pingsan.” Ucapnya.
Dikta yang kaget langsung meminggirkan mobilnya dan mematikan mesinnya. Secara spontan ia juga turun dari mobilnya tanpa harus mengambil payung yang memang tersedia di mobilnya. Dikta membawa tubuh wanita itu ke pangkuannya. Ia tidak peduli jika dirinya harus basah basahan seperti ini.
“Mbak..mbak...bangun mbak...” ucap Dikta sambil menepuk pipi wanita itu dengan pelan. Terlihat jelas sekali ada kekhawatiran di wajah Dikta. Meskipun dia tidak mengenal siapa dia tapi nalurinya sebagai dokter yang membuatnya menolong.
Dikta tidak mendapat respon apapun. Wajah wanita itu juga tertutup dengan rambutnya. Dikta pun berinisiatif merapikan sedikit rambutnya agar tidak menutupi wajahnya. Namun setelah dirapikan alangkah terkejutnya Dikta ketika melihat wajah wanita itu.
“ALANA”
“Al, bangun. Kamu kenapa bisa kayak gini sih?” ucap Dikta sambil menepuk pipi Alana dengan pelan berusaha menyadarkan Alana. Namun Alana tidak kunjung sadar dan pada akhirnya Dikta tidak banyak berpikir lagi.
Setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Alana, dia langsung menggendong tubuh Alana dengan brydal style dan membawanya ke mobilnya. Rasa paniknya semakin bertambah. Ia langsung membuka pintu mobilnya dengan hati hati karena ada tubuh Alana di tangannya.
Setelah pintunya terbuka, Dikta langsung membaringkan Alana dengan hati-hati. Setelah selesai, Dikta masuk ke mobilnya. Ia tidak peduli dengan kondisi dirinya yang sudah bayah kuyup. Yang terpenting saat ini adalah Alana.
Saat Dikta akan menghidupkan mesin mobilnya, dua kata tiba tiba terlintas di kepalanya.
“Rumah sakit atau rumahku?” tanyanya dalam hati. Dikta menoleh ke belakang melihat Alana yang terbaring di kursi mobilnya. Jika dia membawa Alana ke rumah sakit, Dikta tidak bisa mengontrolnya karena harus pulang. Namun jika dia membawa ke rumahnya itu bukan masalah besar baginya karena di rumahnya dia tidak tinggal sendiri melainkan ada beberapa asisten rumah tangga yang bekerja padanya.
“Ke rumah saja lah,” putusnya pada akhirnya.
Dikta menghidupkan mesin mobilnya lalu melanjutkan perjalanan pulangnya dengan membawa Alana. Sepanjang perjalanan Dikta tidak henti hentinya memandangi Alana dari kaca mobilnya. Selama bersama Alana dulu, Dikta tidak pernah melihat Alana hujan-hujanan seperti tadi.
Dikta tahu Alana sangat tidak menyukai hujan dan takut petir. Jadi tidak mungkin jika Alana dengan sengaja bermain hujan hujanan seperti itu apalagi hari sudah larut malam. Dikta menghela nafasnya dengan berat. Sepertinya ada banyak hal yang ia tidak ketahui tentang Alana yang sekarang.
Tiga puluh menit kemudian, mobil Dikta sudah memasuki halaman rumahnya. Dikta segera turun dari mobilnya lalu pindah membuka pintu belakang mobilnya. Dia membopong tubuh Alana dengan kedua tangannya lalu membawanya masuk ke dalam rumahnya.
Saat akan membawa Alana ke kamar, Dikta tiba tiba berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangganya yang umurnya lumayan tua hampir seumuran dengan ibunya.
“Loh, den Dikta. Itu teh saha? Kenapa aden membawa anak gadis orang?” tanya asisten tersebut yang bernama Inem.
“Ini temannya Dikta, bi. Tadi dia pingsan di jalanan makanya dikta bawa pulang kesini.” Jawab Dikta.
Bi inem mengamati ekspresi Dikta, ia takut tuan mudanya ini mempunyai niat yang aneh aneh. Namun yang ia temukan hanya tatapan kejujuran yang ditunjukkan oleh Dikta padanya.
Dikta yang melihat bi Inem menyelidikinya hanya tersenyum kecil. Dia tau apa yang dipikirkan Art nya itu.
“Tenang, bi. Dikta gak akan macam-macam kok. Kan ada bibi disini.” Ujar Dikta dengan tenangnya.
Bi inem langsung bernafas lega sambil mengelus dadanya. “syukurlah kalau gitu. Bibi kira aden mau aneh aneh sama neng ini,” jawab bi inem sambil tersenyum salah tingkah.
“Sekarang bibi tolong siapkan air hangat ya dan ambilin baju Aurora yang ada di kamar tamu. Nanti bibi juga gantiin dia baju. Kasian dia basah kuyup,” lanjut Dikta lagi.
“Tunggu sebentar ya den. Bibi siapkan dulu” ujar Bi Inem yang langsung diangguki Dikta.
Setelah itu Dikta membawa masuk Alana dan membaringkannya di kasur dengan hati hati. Dikta juga menyelimuti tubuhnya untuk mengurangi kedinginan yang mungkin Alana rasakan.
.
.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa like+komentar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Dikta ❤️ Alana...
Lanjut terus Thorrr...
2023-07-09
0
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Semoga keinginan Dikta dapat di rasakan oleh Alana, biar satu hati.. dan di kabulkan dengan Author nya...🤭😁😁
2023-07-09
0
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Bi inem #Kepo# 😏😏
2023-07-09
0