“Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” tanya wanita itu secara tiba tiba sehingga mengejutkan Dikta.
Dikta langsung menoleh pada sumber suara itu, dan detik itu juga dunianya seolah berhenti setelah melihat siapa yang menyapanya.
“Alana?” ucapnya.
Begitu pun dengan wanita yang bernama Alana itu, dia juga terkejut ketika melihat Dikta.
“Dikta?”
Dikta dan Alana adalah sepasang kekasih pada masa kuliah dulu. Mereka menjalin hubungan begitu lama sampai pada akhirnya harus putus di tengah jalan karena Alana yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Awalnya Dikta menolak untuk putus karena rasa cintanya yang begitu besar pada Alana namun takdir tak berpihak padanya karena ternyata Alana juga menerima perjodohan itu dengan baik. Bahkan meski Alana sudah resmi menjadi milik orang lain, Dikta masih tetap mencintainya.
Sampai pada akhirnya, Dikta menerima sebuah undangan pernikahan dari Alana. Di situlah pertahanannya hancur dan pada akhirnya Dikta belajar mengikhlaskan Alana dan memilih fokus menggapai cita-citanya yaitu menjadi dokter.
Kilasan masa lalu itu masih terekam dengan jelas dalam ingatan keduanya, Alana memandang Dikta dengan perasaan yang bingung. Sudah lama ia tidak bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Terakhir kali ia bertemu yaitu pada saat pernikahannya dulu. Begitu pun dengan Dikta, ia juga tidak pernah menyangka akan dipertemukan kembali dengan Alana. Rasa yang dulu sempat hilang sepertinya akan tumbuh kembali. Jujur saja sampai sekarang Dikta masih belum bisa melupakan sosok Alana dalam hidupnya.
“Ini anak kamu?” tanya Dikta sambil menoleh pada Rafka yang tertidur pulas.
Alana mengangguk kecil. “Iya dia anakku,”
Ada perasaan mengganjal dalam diri Dikta saat mengetahui bahwa Rafka adalah putra dari Alana. Ia memandangi wajah polos Rafka yang sedang tertidur. Seandainya dulu ia yang menjadi suami Alana apakah mungkin anak itu akan menjadi putranya.
“Sadar Dik, itu semua masa lalu. Alana udah punya suami,” ucap Dikta di dalam hatinya.
“Emm, jadi gimana keadaan putraku, dok?” tanya Alana lagi dengan tetap memanggil Dikta dengan sebutan dokter.
Dikta kembali melihat ke arah Alana dan menghentikan lamunannya.
“Maaf, demam putramu semakin tinggi tapi aku sudah memberinya obat penurun panas tadi. Dia baru saja tertidur setelah seharian merengek mencarimu.” jawab Dikta dengan bicaranya yang lembut.
Alana mendekat ke arah putranya lalu mengecek suhu tubuhnya. Ia benar benar menyesal karena harus meninggalkan putranya sendirian dari kemarin. Namun bukan berarti ia punya alasan. Alana punya alasan yang kuat kenapa harus meninggalkan putranya sendirian di rumah sakit.
“Maafin mama ya sayang,” ucapnya sambil mencium kening Rafka.
Dikta hanya melihatnya sambil berdiri kaku, kakinya seolah tidak bisa digerakkan. Alana mendongakkan kepalanya lalu menatap wajah teduh milik Dikta. “Terima kasih, Dok. Terima kasih sudah menjaga putraku dengan baik.” Ucapnya.
“Sama-sama. Tapi aku mohon, jangan bersikap formal padaku Alana. Kita bukan orang asing. Meski kamu sudah memiliki suamimu bukan berarti kita tidak bisa berteman. Kalau begitu aku permisi dulu,” balas Dikta dan pergi meninggalkan Alana sendirian dalam ruangan itu.
Alana tersenyum tipis, lalu kembali memandangi putranya yang sedang tidur. Alana menaruh tas-nya di samping tempat tidur Rafka, lalu ia mengambil kursi untuk duduk dan menjaga putranya.
.
.
Keluar dari ruangan Rafka, Dikta tidak langsung bertugas lagi. Ia memilih untuk kembali ke ruangannya terlebih dahulu. Baru saja Dikta akan membuka pintu ruangannya tiba tiba seseorang memanggilnya.
“Dokter...dokter....”
Dikta menoleh ke belakangnya mencari asal suara tersebut. Perawat yang tadi ditemuinya memanggilnya berulang kali. Dikta pun ikut menghampiri.
“Ada apa sus?” tanyanya pada Perawat yang bernama Anna tersebut.
“Maaf, dok. Pasien di ruangan 301 kembali anfall, dokter Vero sudah menanganinya tapi malah semakin kejang kejang,” ucap perawat itu pada Dikta.
Dikta yang mendengar hal itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangannya. Ini lebih penting dari pada masalahnya saat ini.
“Kalau begitu cepat hubungi dokter spealis jantung agar segera menuju kesana,” titah Dikta pada Anna.
“Baik, Dokter.”
Setelah itu Dikta langsung terburu buru menuju kesana. Ini adalah sebuah tanggung jawabnya dan Dikta tidak bisa mengabaikan hanya demi kepentingan pribadinya. Ia juga sudah disumpah untuk melayani dan menolong setiap orang yang sakit.
Sesampainya di ruang 301, Dikta menghentikan langkahnya, Ia terdiam ketika melihat tangisan keluarga di luar ruangan itu. Dikta tidak siap memikirkan kemungkinan terburuknya. Ia berharap semuanya akan baik baik saja. Dengan langkah tegapnya ia kembali berjalan untuk masuk ke ruangan itu. Dikta masuk lalu kembali menutup pintu ruangannya. Di dalam dia melihat dokter Vero yang juga berusaha menangani kondisi anak kecil itu. Dokter Vero yang melihat kedatangan Dikta langsung memundurkan langkahnya untuk memberikan Dikta jalan. Namun Dokter Vero juga menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang tampak sedih.
“Tuhan sudah mengambilnya,” ucap Dokter Vero .
“Bagaimana bisa?” tanya Dikta dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Penanganan yang lambat, seharusnya anak ini segera di operasi tadi pagi namun karena kendala biaya jadi.....”
“Jadi kalian tidak menanganinya hanya karena mereka tidak punya biaya?!” sarkas Dikta dengan ekspresi marahnya yang terlihat.
Dokter Vero serta beberapa perawat yang ada disana menundukkan kepala tidak berani bicara sepatah kata pun. Dikta berdecak kesal sambil menatap mereka satu persatu. Ingin rasanya ia berucap kasar kepada mereka karena kebod*hannya dalam hal ini. Hanya gara gara uang mereka rela mengorbankan nyawa seorang anak kecil yang tak berdosa.
Dikta mengecek kondisi anak tersebut berharap ada sebuah keajaiban, ia tidak tega jika harus menyampaikan kabar buruk pada keluarga anak itu nanti. Lalu matanya tertuju pada patient monitor yang kembali bergerak, ia mengecek denyut nadi anak itu yang ternyata sangat lemah sekali. Secercah harapan kembali padanya. Dikta kembali melihat ke arah Vero yang diam saja.
“Tidakkah kau lihat monitor ini bergerak kembali!! jangan diam saja sekarang siapkan ruang operasinya. Anak ini masih hidup,” bentak Dikta pada Vero.
“Tapi....”
“Jangan egois ,Dokter Vero. Pasien bisa mati jika yang kau pikirkan hanyalah biaya, biaya dan biaya. Aku yang akan menanggung semua biayanya. Cepat siapkan ruangannya!”
“Baik, dok” jawab Dokter Vero.
Sedangkan perawat yang ada di dalam ruangan itu hanya melihat Dikta dengan tatapan kagumnya. Di rumah sakit ini tidak banyak dokter yang seperti Dikta. Beberapa dari mereka kebanyakan lebih mementingkan uang.
“Sabar ya Nak, kamu harus kuat. Om dokter akan berusaha untuk membuatmu sembuh,” bisik Dikta sambil menggenggam tangan mungil anak kecil itu.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like+komentar
Update setiap hari
R.C
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Lanjut terus Thor...
tetap semangatttt....💪🏻💪🏻
2023-07-05
0
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Terharu dengan tindakan dan sikap Dikta
Yang mementingkan keselamatan pasien
2023-07-05
0
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Liat di FB, Langsung merapat Thor...👍🏻👍🏻
2023-07-05
0