“Kamu keterlaluan Alana. Kamu sudah mempermalukan kedua orang tuamu yang sudah berniat baik pada kamu ini,” geram Winda. Winda tidak peduli jika Alana harus kesakitan karena tamparannya. Ucapan Alana membuatnya benar benar malu dengan Yoga, calon menantunya.
Alana memegang pipinya yang memerah karena bekas tamparan itu. Lalu ia kembali menatap wajah sang ibu yang sudah melahirkannya dengan tatapan penuh kebencian. “Aku tidak mau menikah dengan dia, jika ibu menginginkan sebuah pernikahan. Kenapa tidak ibu saja yang menikah dengannya?”
PLAKKK
Lagi lagi Alana mendapat tamparan di pipinya, kali ini ini Liam lah yang menampar Alana karena ucapannya yang sudah melewati batas. Bahkan Winda saja sampai tidak bisa berkata kata. Liam menatap Alana dengan bengis, amarahnya sudah menguasainya. Sebelumnya Alana tidak pernah memb*ngkang seperti ini padanya.
“Sekarang pilihan kamu ada dua Alana, kamu mau memutuskan hubungan kita sebagai orang tua dan anak atau kamu menikah dengan Yoga, yang jelas jelas akan membuat masa depanmu lebih indah dari sekarang,” ucap Liam pada Alana. Liam sangat yakin Alana akan memilih untuk menikah, selama ini Alana selalu berbakti kepadanya dan ia juga yakin Alana tidak senekat itu untuk memutuskan hubungan.
Namun apa yang Liam harapkan tidak sesuai dengan kenyataan saat Alana tiba tiba berdiri sambil memegang pipinya yang terasa kebas karena tamparan itu. Air mata Alana turun dengan dengan derasnya. Yoga yang melihat itu merasa tidak tega, dia mengambil tisu di kantong celanya lalu berdiri untuk menghapus air mata Alana. Baru saja tangannya akan menyentuh pipi Alana tiba tiba tangannya di tepis oleh Alana.
“Aku tidak sudi disentuh olehmu,” sinis Alana pada Yoga sehingga Yoga mengurungkan niatnya dan duduk kembali.
Kali ini mata Alana kembali tertuju pada kedua orang tuanya. Alana sudah muak dengan keputusan mereka. Dia harus membuktikan pada keduanya bahwa Alana yang penurut sudah tidak ada. Tapi sebelumnya Alana mengusap air matanya dengan kasar. Air mata itu hanya akan membuat dia terlihat lemah.
“Sebenarnya aku tidak mau memilih di antara dua pilihan itu, ayah. Tapi aku yakin jika aku tidak memilih keputusan ayah untuk menikahkanku akan tetap terjadi. Untuk itulah aku membuat pilihan hari in. Semoga keputusan ini tidak akan membuat kita menyesal satu sama lain,” ucap Alana dengan wajah sembabnya.
Winda dan Liam saling berpandangan satu sama lain, mereka menunggu kelanjutan dari kalimat yang disampaikan Alana.
“Sebelum aku memilih, aku ingin sekedar mengingatkan pada kalian berdua. Dulu ayah juga telah melakukan hal yang sama padaku. Ayah menjodohkan aku meski tau aku sudah punya pasangan bernama Dikta. Saat itu aku juga mengemis pada ayah agar tidak melakukan itu. namun ayah tetap memaksakan keputusan itu,” Alana memberikan jeda bicaranya sambil memandang kedua orang tuanya.
“Pada akhirnya aku mengikuti kemauan ayah dengan menerima perjodohan itu dan meninggalkan kekasih yang sangat aku cintai. Aku pura pura bahagia di depan dia untuk menyakitinya. Sampai akhirnya pernikahan itu terjadi dan aku pun juga mencintai suamiku pada akhirnya,”
Winda dan Liam tidak mengerti, sebenarnya apa yang ingin dikatakan oleh putri mereka itu. kenapa harus bertele tele dengan menceritakan dari masa dulu. Namun mereka tetap diam tidak berbicara sepatah kata pun.
Alana memejamkan matanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Lalu ia kembali membuka mata secara perlahan. Dan melanjutkan perkataannya.
“Sampai sekarang pun aku masih mencintai suamiku meski dia sudah tiada. Aku juga tidak berpikir untuk menikah lagi setelah ini. Tapi kalian malah memaksaku dengan semua ini. Jadi, aku minta maaf. Aku tidak akan memilih keduanya. Bagaimana pun hubungan orang tua dan anak itu tidak akan terputus selamanya lagipula aku juga tidak bisa menikah dengan dia,” lanjut Alana sambil menunjuk ke arah Yoga yang terus terdiam sedari tadi.
“Kalau begitu terserah kamu saja, Alana. Kamu boleh saja menganggap kami sebagai orang tua kamu. Tapi kami akan menganggapmu telah mati dan menghilang selamanya,” jawab Liam dengan ekspresi yang begitu marah pada Alana.
Winda memukul lengan Lian dengan pelan. “bukannya ini berlebihan? Dia masih hidup kenapa kita harus menganggapnya mati,” ujar Winda.
Alana tertawa keras, tawa yang terdengar menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya. Terlebih bagi Winda, dia tidak pernah mendengar Alana tertawa seperti itu seumur hidupnya. Karena Alana lebih banyak tersenyum bukan tertawa.
“Orang bilang d*r*h lebih kental dari pada air” ujar Alana lagi pada Liam yang sedari tadi memperhatikannya.
“Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi ayah yang mementingkan orang lain daripada kebahagiaan putrinya sendiri. Aku pamit,”
Setelah mengatakan itu, Alana langsung pergi begitu saja. Ia berharap orang tuanya mencegah dan memanggil namanya. Tapi sampai ia tiba di pintu pun tidak ada panggilan itu. itu berarti orang tuanya serius dalam perkataannya.
.
.
Sementara itu, Dikta asyik menemani Rafka bermain mobil mobilan. Sesuai dengan janjinya ia benar benar membelikan dan memberikan Rafka mainan itu. Dikta tertawa melihat tingkah lucu Rafka yang selalu membuatnya terhibur ketika bermain bersamanya. Seperti saat ini, Rafka tengah menabrakkan mobil mobilannya pada mobil milik Dikta sehingga mobilnya terpental jauh.
“Lihat, dok. Aku hebat kan. Aku bisa menabrak mobil dokter sampai jauh,” ujar Rafka kegirangan karena merasa menang dan hebat.
Dikta mengangguk seraya mengelus puncak kepala Rafka yang duduk di depannya itu.
“Siapa yang ngajarin?” tanya Dikta dengan iseng dan mempertahankan senyumnya pada Rafka.
“Mama, dok. Mama bilang papa meninggal karena mobilnya ditabrak orang. Makanya aku belajar menabrak mobil seperti ini biar suatu saat aku juga bisa menabrak mobil orang itu. aku hebat kan dok.” jawab Rafka dengan polosnya sambil tersenyum memamerkan giginya.
Seketika senyum Dikta menjadi palsu. Bagaimana bisa anak sekecil itu sudah berpikiran seperti itu. Seharusnya pikiran ini tidak ada dalam pikirannya. Dikta sebenarnya ragu jika Alana mengajari hal seperti itu pada anaknya. Mana mungkin seorang ibu setega itu untuk menjerumuskan anaknya pada sesuatu yang salah.
Dikta mengambil Rafka yang duduk dengan tenang itu untuk dipindahkan ke pangkuannya. Lalu ia berkata, “Rafka tidak boleh seperti itu ya. Lagi pula itu bahaya. Memangnya Rafka mau kalau udah dewasa ditangkap polisi karena menabrak mobil?” tanya Dikta dengan menundukkan wajahnya pada Rafka yang kebingungan. Lalu Rafka menggeleng dengan pelan meski ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokternya itu.
“Kalau gitu Rafka tidak boleh berpikir seperti itu ya. Kasian mama kamu, nanti dia menangis kalau Rafka seperti itu. Rafka harus jadi anak baik yang bisa menjaga dan melindungi mama suatu saat nanti,” ujar Dikta menasehati Rafka, ia hanya berusaha agar anak kecil itu tidak berpikir seperti tadi lagi.
“Iya, dok. Rafka janji.” Jawab Rafka.
Dikta mengangguk lalu dia mencium pipi Rafka dengan gemasnya. Setelah mengetahui Rafka adalah anak Alana, Dikta selalu excited ketika bersama Rafka. Dia bahkan sudah menganggap Rafka seperti putranya sendiri. Yah meskipun ia belum menikah tapi apa salahnya ia berpikiran seperti itu.
“Anak kamu lucu, Al. Sama seperti kamu dulu,” gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Semangat Thor...
Lanjut lagi...🥰🥰
2023-07-08
0
🥰🥰 Si Zoy..Zoy..🤩🤩
Good Alana, tolak Perjodohan untuk yang ke dua kali nya...
Hidup lah bersama Dikta...🥰🥰
2023-07-08
0