Malang tak dapat diraih. Untung tak dapat ditolak. Bagaikan makan buah simalakama. Hal itulah yang dialami seorang Yessi. Guru muda berusia 25 tahun yang tengah mengandung buah cinta dari calon suaminya yang sudah meninggal.
Siksaan batin terus dialami. Manakala dengan terpaksa menikah dengan Nico. Nico tetap ingin menjadi suami Yessi menggantikan kakaknya. Demi keponakan yang masih dalam rahim Yessi. Siksaan terus berlanjut, wajah Nico yang mirip dengan calon suaminya selalu mengingatkan Yessi tentang kenangan pahit. Belum lagi Nico memilih bersekolah di tempat Yessi mengajar. Wajah itu akan terus membayangi setiap langkahnya.
Malam ini, Yessi malah sekamar dengan Nico. Membuatnya semakin sesak. Yessi duduk di pinggir ranjang. Memilih membelakangi Nico yang berstatus sebagai suami sekaligus anak didiknya.
“Aku tidur.” terdengar suara Nico yang dingin.
Ranjang yang diduduki Yessi bergoyang. Manakala Nico dengan grasak grusuk membaringkan tubuhnya di ranjang.
Terdengar helaan nafas berat dari Yessi hingga berulang kali. Dia sungguh tak sanggup. Jika kamar yang diimpikannya akan menjadi istana kecil bersama Alfatih Mandala, harus dijamah orang lain. Lebih parahnya lagi, dijamah oleh Nico yang notabene adik Alfatih.
Srek
Srek
Sret!
Nico yang berusaha memejamkan mata. Mendengar suara berisik dan ranjangnya terus bergoyang. Dia ingin mengabaikan suara berisik itu. Tetapi suaranya sama sekali tidak berhenti. Terpaksa Nico menoleh dan melihat apa yang dilakukan Yessi.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Nico mengernyitkan kening.
Dia melihat Yessi sibuk memotong lakban berwarna merah. Menempelkan di tengah-tengah ranjang. Menarik garis lurus hingga bawah ranjang. Yessi sedang membuat pembatas.
“A…apa ini?” tanya Nico semakin heran.
Yessi hanya diam dan meletakkan guling di tengah. Lalu berbaring dan membelakangi Nico.
“Apa kamu tidak bisa bicara?” tanya Nico sekali lagi.
Suara helaan nafas terdengar berat keluar dari mulut Yessi. Seolah enggan berbicara dengan Nico.
“Lakban ini sebagai pembatas. Di sisi sini adalah wilayahku. Di sisi sana terpaksa menjadi wilayahmu. Meski aku tidak rela.” jawab Yessi dengan nada kesal.
Yessi tidak tahu, kenapa dia ingin sekali marah. Hatinya terasa sesak. Rasanya ingin meluapkan amarah yang dia tahan. Nico tidak menanggapi. Dia memilih membaringkan tubuh. Keduanya saling memunggungi.
Malam semakin larut. Yessi masih tetap terjaga. Lampu yang bersinar terang. Tidak bisa membuatnya tidur. Jika dia mematikan lampu. Nico akan menyalakannya kembali, karena dia tidak bisa tidur dalam kegelapan.
Meski kesal, Yessi berusaha menahannya. Memilih merajut kesedihan di awang-awang. Meratapi nasib diri yang harus menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Bulir-bulir bening kembali menetes. Tatkala mengingat kenangannya bersama Al.
Flashback
“Mas, apa kamu tau. Kenapa harus ada satu ditambah satu?” tanya Yessi dengan wajah riang.
Al berpikir sejenak. Lalu melempar senyum dan menggenggam tangan Yessi.
“Hemm… jawabannya mudah. Kenapa harus ada satu ditambah satu, karena satu ditambah satu sama dengan aku dan kamu menjadi kita.”
Mendengar jawaban Al membuat Yessi tertawa renyah. Mereka berpelukan dalam bahagia. Inilah sosok pria idaman yang dicari Yessi. Pria sempurna yang akan mengarungi bahtera rumahtangga hingga tua nanti.
Flasback End
Akan tetapi semua itu sudah musnah. Digulung ombak dan tenggelam di palung laut terdalam. Menyisakan kenangan yang terus menorehkan luka. Membuat Yessi menitikkan air mata. Di tengah kamar dengan lampu benderang. Yessi menutup mulut sembari terisak. Menahan sesak. Dia tidak ingin Nico atau orang lain mendengarnya menangis. Yessi harus bersabar melewati ini, hingga anaknya nanti sudah lahir.
Keduanya sudah menandatangani perjanjian pranikah. Jika nanti anak Yessi sudah lahir. Maka Nico dan Yessi akan bercerai. Bagi Yessi, dia menantikan hari itu agar cepat datang.
...****************...
Di sebuah perbukitan dengan pemandangan alam yang memanjakan mata. Nico duduk di pinggir tebing. Merasakan angin dingin berhembus menusuk tulangnya. Semalam diam-diam, dia mendengar Yessi terisak. Nico hanya pura-pura tidak mendengar. Membiarkan Yessi menangis sendirian. Oleh karena itu pikirannya terasa kacau hari ini.
“Nico!” panggil seseorang.
Seorang pria berusia 30an tahun memanggil Junico. Membuyarkan lamunan Nico yang kemana-mana.
“Halo lur! Apa kabar? akhirnya balik juga ke Indonesia.” sapa pria bernama Bimantara yang merupakan instruktur paralayang Nico.
Nico hanya mengulas senyum tipis. Lalu adu tos dengan Bimantara.
“Mau naik seperti biasanya?” tanya Bimantara.
Nico hanya menganggukkan kepala. Sembari mengenakan sarung tangan miliknya. Bimantara sudah hafal dengan kebiasaan Nico. Jika pikiran anak muda itu sedang kacau. Dia akan memilih bermain paralayang.
Bimantara menyiapkan peralatannya. Termasuk memasang *harness* atau pengaman di tubuh Nico. Gunanya untuk melindungi seluruh bagian tubuh seperti bahu, paha bagian atas, dada, dan panggul, sehingga lebih aman saat berada di ketinggian. Selain balap motor, Nico juga memiliki kegemaran bermain paralayang maupun terjun payung. Dia memilih hobbi yang dapat memacu adrenalin. Supaya bisa melupakan kekalutan pikirannya.
Kali ini, Nico memilih paralayang solo. Dia menekuni bermain paralayang sejak usia 14 tahun dan sudah mendapatkan lisensi. Nico mengenakan helm dan kacamata untuk menjaga keamanan. Tak lupa celana panjang berbahan lateks atau celana training yang biasa dipakai untuk olahraga *outdoor*. Tak lupa memakai jaket yang cukup tebal, agar tetap hangat saat terjun bebas. Untuk alas kaki, Nico menggunakan alas kaki tertutup yang menempel erat di kaki. Sepatu yang digunakan adalah sepatu bertali atau sepatu *waterproof*.
Nico sedikit melakukan perenggangan. Bimantara membantu memasang paralayang. Tiga hingga empat baris tali yang terikat pada setiap ujung sayap harus sudah dipastikan mampu menahan berat Nico. Nico memegang erat tali yang menghubungkan dengan parasut. Sistem tali ini selain sebagai penahan juga berfungsi untuk mengendalikan paralayang.
“Oke lur! semua udah ready. Siap lepas landas.” ucap Bimantara.
Nico mengacungkan jempolnya. Sedetik kemudian, kakinya berlari dengan kencang dan siap lepas landas. Matahari bersinar dengan terang. Tekanan angin cukup bagus untuk membuat paralayang Nico terbang bebas.
Dari ketinggian, Nico dapat melihat pemandangan di bawahnya. Begitu hijau dan mempesona. Nico terlihat sudah berpengalaman. Melihat ke mana arah angin. Nico mengendalikan *paraglider* ke arah yang diinginkan. Baik ke kiri atau ke kanan.
“Woooooo!!!!” teriak Nico dengan kencang.
Tangannya seolah bisa menggapai langit. Tubuhnya merasakan hembusan angin menerpa wajah. Merasakan denyut jantungnya bertalu-talu. Ingatannya kembali melayang saat masih bersama kakaknya.
Flashback
“Taraaa… selamat ulang tahun Junico Mandala.” kata Alfatih di hari ulang tahun adik kesayangannya.
Nico hanya memperlihatkan wajah masam. Sibuk mengotak-atik motornya.
“Hei, di hari bahagia ini kamu harus tersenyum. Cepat tiup lilin dan berdoalah.” pinta Alfatih dengan wajah penuh binar keceriaan.
Nico hanya menatap tajam pada kakaknya. Lalu memandang kue yang berada di tangan Al. Tanpa babibu dengan kasar, Nico menghempas kue ulang tahunnya. Hingga hancur berantakan.
“Aku tidak membutuhkan kue ulang tahun konyol itu.” ucap Nico dingin.
Kakinya hendak melangkah pergi. Tetapi buru-buru Al menahan lengan adiknya.
“Nico…. Mas hanya pengin kamu merasakan kebahagiaan.”
Nico menghempas tangan Al dengan kasar.
“Sepertinya hanya aku yang masih berada di waktu itu… sendirian… Kamu pun sudah menemukan kebahagiaan dengan pacarmu. Jadi tidak usah perduli soal kebahagiaanku lagi.” balas Nico melangkah pergi.
“Nico….Nico!” panggil Alfatih.
Nico tak menggubris panggilan kakaknya. Sebelum dia benar-benar pergi. Nico berhenti sejenak.
“Aku minta padamu. Jangan pernah merayakan ulang tahun konyol seperti itu lagi.” Nico berucap tanpa menoleh pada Al.
Nico sangat benci dengan hari ulang tahunnya. Baginya hari ulang tahun adalah malapetaka. Tepat di saat hari ulang tahunnya, sang ibu malah meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil. Hanya untuk mengejar karir di luar negeri.
Flashback End
Tak terasa mata Nico berkaca-kaca mengingat kenangan bersama kakaknya. Di keluarganya, hanya Al satu-satunya yang perduli pada Nico. Tetapi Nico malah memperlakukan kakaknya seburuk itu. Kini, setelah kehilangan sang kakak Nico sangat menyesal. Seharusnya dia bersikap lebih baik semasa kakaknya masih hidup. Hal itu membuat batin Nico tersiksa.
Helaan nafas berat terdengar dari mulutnya. Nico sangat suka berada di udara, karena saat melayang seperti ini. Tidak akan ada yang mengetahui kesedihan maupun tangisnya. Nico tidak ingin dianggap sebagai pria lemah. Jika ketahuan menangis.
Setelah beberapa saat terbang dengan paralayang. Dia bergegas hendak mendarat. Tetapi karena pikirannya sedang kalut. Membuat konsentrasinya buyar. Pendaratannya tidak sempurna. Mengakibatkan kaki Nico terkilir.
“Arghhttt!” erangan kecil ke luar dari mulutnya.
Bimantara bergegas menghampiri dan menolong Nico. Lantas membawanya ke rumah sakit. Berharap pemuda itu baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Kara
kirain garis khatulistiwa
2023-07-09
0
Sylius
eleh..ntar ujung"nya juga pelukan 🤣
2023-07-09
1
Sylius
garis batasan 🤣
2023-07-09
0