“Plak!!!” suara tamparan keras membuat Yessi tercekat.
Tepat di depan matanya, Mario Mandala menampar pipi Junico. Mengakibatkan luka di sudut bibirnya.
“Nico! Apa kamu sudah tidak waras? Papa sungguh tidak habis pikir? Bisa-bisanya kamu menikahi wanita ini!” nafas Pak Mario terdengar memburu. Menahan emosi yang bergejolak.
“Sejak awal, Papa juga tidak setuju kakakmu menikah dengannya. Kamu keterlaluan! Mencoreng nama baik papa saja!”
Bruak!!!
Pak Mario meluapkan emosinya dengan menggebrak meja. Yessi hanya bisa berjinggat karena terkejut menyaksikan kemarahan Pak Mario. Dia hanya bisa menggigit bibirnya. Tangannya mengepal erat.
“Pa..pak…sungguh ini juga bukan kehendak saya sendiri. Ta…tapi….” Yessi berusaha menahan gejolak dalam batinnya. Menahan air matanya supaya tidak jatuh.
Pak Mario menatap Yessi dengan tatapan tajam.
“Mungkin jika Al tidak bersamamu. Dia tidak akan mati. Waktu itu sudah Bapak katakan berulang kali. Secara hitungan hari kelahiran saja kalian tidak cocok. Lihat! Sekarang inilah akibatnya.” Pak Mario semakin gusar.
Yessi berusaha menahan air matanya. Apa salahnya bersama dengan orang yang dia cintai. Jika Yessi bisa memilih. Dia akan memilih nyawanya sendiri ditukar dengan Al.
“Pa…Pak….” Yessi berusaha bicara. Tetapi suaranya bergetar.
Tiba-tiba Nico maju selangkah. Dia yang tadinya diam saja kini mulai bersuara.
“Aku tidak perduli, apa yang Papa katakan. Aku melakukan ini untuk Mas Al. Demi calon anaknya yang sedang dikandung.”
Pak Mario memijat keningnya yang terasa berat.
“Nico, tetapi apa kamu tidak melihat dirimu? Kamu masih berstatus pelajar SMA? Apa kata orang-orang nanti? Seorang pelajar SMA putra Bupati terhormat. Menikahi calon kakak iparnya sendiri. Apa kamu tidak memikirkan? Bagaimana lawan politik papa bisa menggunakan hal ini sebagai senjata untuk menjatuhkan Papa!”
Yessi sudah tidak tahan lagi. Meski menahan tekanan batin.
“Detik ini, saya akan menceraikan anak Bapak.” ucap Yessi tegas.
Lantas tanpa berpamitan dia pergi meninggalkan rumah itu. Pergi dengan sejuta rasa sakit.
“Kamu lihat Nico! Wanita itu tidak memiliki sopan santun.”
“Cukup Pa! sudah cukup…biarkan aku mengurus diriku sendiri. Silahkan sibuk dengan karir dan pekerjaan papa sendiri.” ucap Nico tegas.
Lantas melangkah pergi. Pak Mario memanggil nama Nico berulang kali. Tetapi tak di gubrisnya.
...****************...
Nico bergegas ke luar. Mengejar Yessi yang ternyata terduduk di teras depan rumahnya. Dia menundukkan kepala sembari menangis tiada henti. Nico menghela nafas panjang. Lalu berjongkok di depan Yessi. Memegangi bahunya.
“Pokoknya aku tidak mau bercerai. Aku ingin menjaga calon bayi Mas Al.”
“Kamu membuat hidupku jauh lebih sulit.” jawab Yessi diantara isak tangisnya.
Yessi bicara tanpa menatap Nico. Nico mengambil nafas dalam. Lalu beranjak berdiri. Tatapan matanya terlihat menerawang ke langit.
“Aku hanya ingin melindungi anak Mas Al. Jadi mohon kerjasamanya.”
Yessi hanya bisa menangis. Menahan gejolak yang membuat hatinya teriris. Dilema melanda batinnya kini. Di satu sisi, dia benar-benar tidak mau menikah dengan Nico. Tetapi di sisi lain, calon anaknya membutuhkan seseorang sebagai ayah di aktanya nanti. Agar tidak jadi bahan cemoohan orang-orang. Dianggap sebagai anak yang lahir di luar nikah. Yessi terpaksa menikah dengan Nico, hanya untuk memberikan kehidupan sempurna bagi anaknya kelak. Meski itu hanya semu belaka.
Malam hari, di rumah keluarga Yessi.
Pak Rauf, Bu Susana ibu Yessi dan Vio duduk di meja makan bersama Nico dan juga Yessi. Di depan mereka tersaji beberapa makanan. Tetapi sejak tadi, semuanya hanya diam membisu. Tak ada yang membuka suara. Bahkan makanannya sudah terlanjur dingin.
Pak Rauf menghela nafas. Mencoba mencairkan suasana.
“Nak Nico, mari kita makan dahulu.”
Bu Susana ikut menimpali, “Benar….ayo, kita makan dulu.” sembari menata piring.
Yessi sama sekali tidak berselera makan.
“Aku masuk kamar saja, maaf…” lantas langkahnya terlihat gontai memasuki kamar.
Menutup pintunya rapat-rapat. Memilih menyembunyikan wajah dalam selimut. Ditemani kegelapan, yang dapat menyembunyikan wajah sendunya.
“Maaf Nak Nico. Membuatmu dalam posisi sulit. Jika Nak Nico ingin berce…..” kalimat Pak Rauf terpotong suara Nico.
Dia menatap dengan tatapan serius sembari berucap, “saya tetap pada keputusan awal.”
Mendengar apa yang dikatakan Nico. Semuanya memilih diam. Semua yang ada di rumah itu serba salah layaknya makan buah simalakama.
Malam semakin larut. Yessi masih termenung menatap langit di atas sana. Mencoret sesuatu di buku catatan miliknya.
Jika ada terang, ku pilih gelap
Jika ada esok, ku pilih berhenti
Jika takdir seperti duri
Aku memilih…..
Kalimat itu berhenti di sana. Buliran bening kembali berjatuhan. Menimpa kertas bergaris. Membuat noda diantara putih.
Di ruang tamu. Nico masih terjaga. Menatap foto Alfatih bersama Yessi yang tampak bahagia. Senyum merekah seolah tak akan terpisah. Nampak jelas di wajah keduanya. Helaan nafas berat terdengar dari pria muda berparas tampan itu.
...****************...
Beberapa hari kemudian. Semester baru telah di mulai. Suasana sebuah sekolah negeri favorit di mana Yessi mengajar terdengar hiruk pikuk. Siswa-siswi kelas X, XI, dan XII terdengar riuh. Awal yang baru bagi murid-murid itu. Tetapi berbeda dengan Yessi. Hidupnya seperti *ancik-ancik pucuking eri* hidupnya selalu dalam kekhawatiran. Hidup segan matipun tak mau.
Setelah upacara pembukaan MPLS. Siswa-siswi baru diperkenankan masuk ke kelasnya. Begitu juga dengan kelas XI dan XII. Yessi yang merupakan PNS baru diberi amanah menjadi wali kelas XI IPA 1.
Yessi harus professional. Meski sedang stress sekalipun, harus tetap melaksanakan kewajibannya. Untung saja, waktu itu dia tidak menyebar undangan. Memilih diam-diam merayakan pernikahan dengan Alfatih. Jika tidak, mungkin sekarang dia akan kesulitan menjelaskan. Yessi bergegas masuk ke kelas.
Setelah mendengar bunyi bel masuk.
Di kelas XI IPA 1 kebanyakan berisi anak-anak pintar dan berprestasi. Sebelum masuk ke kelas, Yessi merapikan rambutnya yang dia ikat dengan cemol. Di depan murid tidak boleh menunjukkan kesedihan, karena bagaimanapun seorang guru dituntut sebagai suri tauladan. Masalah di rumah janganlah dibawa ke sekolah.
“Selamat pagi anak-anak.” sapa Yessi dengan seulas senyum manis.
“Pagi Bu Yessi yang cantik.” balas murid lain serempak.
Di deretan meja depan duduk seorang pemuda yang bernama Cakra. Wajahnya sedikit memerah. Setelah melihat Yessi. Guru favoritnya di sekolah.
“Wah, kalian bersemangat sekali menyambut semester baru ya.” Yessi ikut membalas dengan nada ceria. Sejenak melupakan masalah hidupnya.
Salah satu siswa laki-laki mengangkat tangannya.
“Bu, aku gak kuat.” ucapnya dengan memasang wajah cengar-cengir.
“Tidak kuat kenapa? Karena akan mulai pelajaran?”
Siswa laki-laki itu menggeleng.
“Gak kuat karena menatap wajah Bu Yessi yang subhanallah.”
Bajay!!! Grrr!!! Huuuuu!!!
Satu kelas langsung riuh dan bersorak – sorai. Ya begitulah generasi Gen Z. Kebanyakan makan indo\*\*ie.
Hingga sebuah ketukan di pintu menghentikan sora-sorai.
“Ehem…ehem…” seorang pria paruh baya. Mengenakan kacamata dengan postur tambun. Berdiri di depan pintu.
Pria itu bernama Pak Mujaka, akrab di sapa Pak Jaka. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.
“Maaf bu, mengganggu waktunya. Saya sedang mengantarkan murid baru.”
Seorang pemuda berjalan dari balik punggung Pak Jaka. Tatapannya tajam, dibalut wajah rupawan. Tubuh tegap setinggi 180 cm. Seketika Yessi terperanjat. Ya…pemuda di depannya adalah Junico Mandala, pemuda yang secara administrasi sah sebagai suaminya.
Pak Jaka berbisik pada Yessi.
“Dia putra Pak Bupati. Tolong awasi saja. Dia memiliki lebel buruk sejak SMP.”
Yessi tertegun sesaat. Dia tidak berani menatap wajah Nico. Hanya akan membuatnya tersiksa. Seusai Pak Jaka meninggalkan kelas. Yessi mengajak Nico berbicara sebentar. Membuat murid-murid lain di kelas XI IPA 1 saling berbisik.
“Bersekolahlah di tempat lain. Jangan membuatku tersiksa.” pinta Yessi saat sudah menjauh dari kelas.
“Tidak mau.” jawab Nico dengan ekspresi dingin.
Yessi hendak marah dan melotot pada Nico. Tetapi buru-buru memalingkan wajahnya. Tak sanggup menatap wajah itu.
“Aku mau ke kantin.” lanjut bicara Nico dengan entengnya.
Lalu melangkahkan kaki. Tetapi mendadak terdengar suara Yessi.
“Jangan katakan apapun tentang….” Yessi tak sanggup mengatakan mengenai pernikahan terpaksa mereka.
“Aku mengerti.”
Setelah menjawab, Nico pergi meninggalkan Yessi begitu saja. Yessi mendengus kesal. Dari semua sekolah kenapa harus di sini Nico bersekolah. Sesaat kemudian, Yessi diam dan menatap langit yang terlihat biru cerah.
“Dia sungguh berbeda denganmu mas… apa di sana kamu bahagia?” seraut kesedihan terlukis jelas di wajah Yessi. Sampai sedetik kemudian, dia baru sadar.
“Eh!!! ini baru memasuki jam pertama! Bisa-bisanya anak itu pergi ke kantin!” Yessi terlihat kesal.
Entah takdir apa yang harus Yessi lewati. Tetapi dia harus tetap bertahan demi anak yang ada dalam kandungannya. Syair indah telah berubah. Hanya waktu yang dapat menyusun kembali bait-bait yang telah terputus dan terasa pahit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Sylius
alurnya keren
2023-07-08
0
Sylius
bagus
2023-07-08
1