Suara ketukan pintu kamar berhasil membangunkanku dari alam mimpi. Mengucek kedua mata, menggeliat merenggangkan otot kemudian aku bangkit dari pembaringan guna membukakan pintu.
Berjalan ogah-ogahan sesekali aku menguap. Pertanda masih ngantuk. Aku mendadak segar kembali saat menyadari siapa orang yang tengah berada di hadapanku kini.
"Ini sudah pagi, nanti kamu telat masuk sekolah."
Aku masih bergeming menatapnya sendu. Wanita yang sudah rapih dengan blus putih dan rok hitam selututnya itu tengah tersenyum manis padaku. Mengapa dia musti tersenyum begitu? Tahu tidak kalau senyumannya itu membuat aku gila.
"Nanti selesai mandi kamu turun ya, makanan sudah siap," katanya sambil menyibakkan rambut hitam panjang itu dengan anggun.
Bu Alfira terkekeh heran. "Ko bengong? cepetan gih mandi." Lantas ia pun berlalu pergi dari hadapanku.
Aku menggelengkan kepala, menyadarkan diri sendiri dari lamunan. Mengingatkan diriku untuk jangan lagi terpesona padanya. Bodoh. Mengapa kedua bola mata ini masih saja tidak bisa lepas dari punggungnnya. Sampai sosoknya hilang dari pandangan pun tetap saja bayangannya menempel erat di memoriku. Ia sukses buatku terkesima.
Sekarang dia adalah ibu tirimu, Andrian. Cepatlah kau sadar dan jangan lagi terpesona dengannya. Kata hatiku berteriak memeringatkan. Tertunduk lesu aku harus menerima kenyataan pahit itu.
***
Ini pertama kalinya bagiku dan Bu Alfira makan di satu meja yang sama, bukan sebagai kekasih tapi sebagai ibu dan anak tiri. Sungguh menyakitkan.
Di sela-sela makan kami, aku melihat ia menuangkan segelas teh hangat ke dalam cangkir milik papa, dibarengi dengan senyumannya yang manis. Tampak senyum mengembang di wajah papa dan sesekali papa melirik ke arahnya dengan mata genit. Uweek memuakkan!
Brak!
Sontak keduanya menoleh ke arahku dengan raut muka kaget keheranan. Hampir saja papa menjatuhkan cangkir yang dipegangnya.
"Ada apa sih gebrak meja segala? Bikin kaget Papa saja!" gerutu papa sambil mengelus dada. "Untung Papa nggak jantungan!" sambungnya sembari menyeruput teh hangat di genggaman.
"Maaf, Pa. Tadi Andrian lihat kaya ada kecoa di atas meja," kataku berdusta sambil ku garuk kepalaku yang tak gatal.
"Masa sih? Papa nggak lihat tuh!" Papa celingak-celinguk menyisir sekeliling. Tidak lupa juga papa mengintip ke bawah kolong meja.
"Aku juga nggak lihat, Mas." Bu Alfira menyahut seraya mengedarkan pandangan ke segala arah. Ia kelihatan panik apa jangan-jangan Bu Alfira takut kecoa?
"Sudah lari ke arah dapur tadi Andrian lihat, Pa," jelasku berbohong lagi dan aku berpura-pura tak acuh dengan melanjutkan melahap bubur ayam buatan Bu Alfira.
Papa melirik ke arahku sebentar. "Ya sudah deh, kalau udah nggak ada. Oh iya, nanti kamu berangkat sekolahnya bareng Mama Alfira ya. Kamu nggak usah bawa motor, sekarang bawa mobil aja. Papa nggak bisa nganterin mama kamu soalnya Papa lagi buru-buru."
Mendengar ucapan papa perasaanku jadi campur aduk. Bahagia karena bisa bersamanya, sedih karena dia bukan milikku dan kesal karena dia ibu tiriku. Papa bangkit dari tempat duduk seraya merapikan kemejanya.
What the fu*k! Aku tersedak ketika melihat papa memberikan satu kecupan mendadak di kening Bu Alfira. Sontak aku buang muka. Darahku mendidih, napasku sesak dan jantungku rasanya terhenti. Makanan yang sedari tadi aku kunyah entah mengapa berubah rasa menjadi pahit, sepahit cintaku.
"Mas, berangkat dulu ya, sayang, " bisik papa tapi masih bisa ku dengar.
Aku mendelik jengah. Sambil mengecup punggung tangan papa Bu Alfira juga berbisik, "iya hati-hati ya, Mas."
Kemudian papa mengulurkan punggung tangannya padaku untuk menyalaminya. Terpaksa aku menciumnya dengan malas.
***
Sampai saat ini, di perjalanan menuju sekolah, dalam mobil aku dan Bu Alfira hanya membisu. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar. Namun, malah keheningan yang tercipta. Jujur, setelah mengingat adegan sarapan tadi, gairahku untuk mengobrol dengannya jadi sirna.
Hatiku bergejolak karena rasa cemburu yang muncul saat aku melihat interaksi papa dan Bu Alfira tampak mesra saat sarapan tadi pagi. Namun, Bu Alfira mencoba mencairkan suasana dengan mengajakku ngobrol, tanpa menyadari perasaan yang tengah berkecamuk dalam diriku.
"Andrian, kamu nggak apa-apa?"
Aku menyunggingkan senyum kaku, pandanganku masih fokus ke depan, menyetir dengan hati-hati. "Andrian baik-baik saja, Bu."
Bu Alfira terdengar mengembuskan napas berat. "Kamu kelihatan nggak semangat." Aku diam tak menanggapi. "Kalau kamu ada masalah cerita saja, Andrian. Sekarang kita sudah jadi keluarga, jangan segan."
Menarik napas lelah aku berujar, "ah, nggak, Bu Al. Andrian nggak ada masalah, ko. Cuman mood Andrian lagi nggak enak aja, jadi jangan khawatir."
Aku berharap Bu Alfira mengerti bahwa ini bukan tentang dirinya, melainkan tentang pertarungan batin yang aku hadapi. Aku merindukan kenyamanan dan kebersamaan kami antara siswa dan guru bukan sebagai ibu dan anak.
"Andrian, aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu. Jika ada masalah atau perasaan yang ingin kamu ceritakan, aku akan mendengarkan dengan sepenuh hati."
Aku berusaha tersenyum. "Terima kasih, Bu Al. Andrian menghargainya."
"Baiklah, jika begitu. Tapi jangan ragu untuk berbicara jika kamu ingin. Kita bisa sharing satu sama lain."
Aku melirik ke sisi kiri. Bu Alfira kembali memainkan ponselnya setelah beberapa saat aku tidak meresponnya lagi. Detik kemudian aku mengangguk perlahan. "Terima kasih, Bu Alfira. Andrian akan mengingat itu."
Meskipun Bu Alfira mencoba mencairkan suasana dengan kebaikan dan kehangatannya, hatiku masih berat. Aku ingin bisa membuka hati dan mengungkapkan perasaan, tetapi aku juga takut akan reaksi atau konsekuensinya.
Aku berharap suatu saat nanti aku bisa mengubur perasaan terlarang ini padanya. Bu Alfira sekarang adalah ibu tiriku, dan aku sudah tidak ada harapan lagi untuk memilikinya.
***
Kami tiba di sekolah, aku memarkirkan mobil dengan hati yang masih berat. Aku turun dari mobil, berusaha menciptakan jarak antara diriku dan Bu Alfira. Meskipun aku tidak ingin menyakitinya, rasa cemburu dan kebingungan masih melanda pikiran.
Tanpa berpikir terlalu lama, aku memutuskan untuk mendahului Bu Alfira dan berjalan cepat menuju kelas. Aku merasa perlu memberikan diri ini waktu untuk merenung dan mengatasi perasaan yang sedang kacau.
Langkahku terburu-buru, mencoba menghindari tatapan Bu Alfira yang mungkin kini memandangku dengan tatapan heran. Aku merasa tak enak hati, karena aku tidak ingin terlihat kasar atau mengabaikan kehadirannya, tapi aku perlu waktu untuk menenangkan diri.
Saat tiba di depan pintu kelas, aku berhenti sejenak dan mengambil napas dalam-dalam. Berusaha mengendalikan emosi dan sakit hati. Merenung sesaat dan berpikir bahwa aku harus menghapus perasaan ini, tetapi tidak semudah itu.
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Berharap hari ini akan membawa kejelasan dan keberanian dalam menghadapi perasaanku.
"Ciee, yang punya mama baru." Si tengil Doni menyenggol lenganku ketika aku hendak mendudukkan diri di bangku.
Mendelik malas, aku mendengus kesal. "Diam kau!"
"Gimana, Bro. Lu denger d*sahan nggak di kamar bokap lu tadi malam?"
Aku melotot marah padanya. Bisa-bisanya Doni bertanya hal yang buat mood-ku jadi makin tambah kacau pagi ini. "Apaan sih lu?"
Dia malah tergelak. "Hahaha ... gue cuman ngiri sama bokap lu, beruntung banget dapet daun muda."
Aku memilih mengeluarkan buku IPA dan membacanya, berusaha tak acuh dengan omong kosong si menyebalkan Doni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Md Syahved
sedih bangat ya, feels
2023-09-20
2