Andrian POV
Akhirnya Bu Alfira sudah resmi jadi ibu tiriku. Aku benci dengan status itu. Aku juga benci dengan pernikahan itu. Saat ku melihat papa dan Bu Alfira bersanding di pelaminan tadi siang, sungguh pemandangan yang menyebalkan dan menyakitkan!
Momen tersebut adalah hari yang paling buruk dalam catatan hidupku, setelah kematian ibu. Sebelum pesta pernikahan usai, di sore harinya aku langsung memesan kamar hotel. Sekitar pukul tujuh malam bergegas aku pergi memesan taksi.
Malam ini, aku memutuskan tak akan pulang ke rumah. Jangan tanya. Sudah pasti aku tidak akan tahan menyaksikan papa dan Bu Alfira menghabiskan malam pertamanya di kamar. Membuat hatiku semakin hancur saja.
Oleh karena itu, aku musti menghindar. Setidaknya sampai mereka pergi bulan madu ke luar kota, dengan begitu akan lebih baik bagiku.
Tanpa berganti baju, aku langsung merebahkan badan di ranjang. Memejamkan mata mencoba melupakan momen tadi siang yang begitu memilukan.
***
Getaran ponsel membangunkanku dari tidur panjang. Ku buka mata secara perlahan. Mengerang kasar aku kesal. Dasar pengganggu! Siapa sih yang telepon pagi-pagi buta begini?!
Melenguh, aku mengerjap beberapa saat. Aku meraih ponsel di sisi bantal. Nama papa tertera sedang menghubungi. Dengan malas, lantas ku angkat panggilan itu.
"Hallo?"
"Kamu ada di mana, Andrian?!" Suara papa sedikit membentak di ujung sana. Aku membelalakan mata saking terkejutnya.
"Di--di rumah teman, Pa. sengaja Andrian menginap soalnya ada tugas kelompok," balasku berbohong.
"Tugas? Masa iya kamu mengerjakan tugas di hari spesial begini? Bukannya kamu sudah izin nggak masuk sekolah? Masa guru dan teman-temanmu tidak tahu kalau ini bukan waktunya untuk ngerjain PR," ceroscos papa dengan emosi.
"Biar cepet yah, jadinya Andrian kerjain saja bareng teman."
"Cepetan pulang! Nggak enak sama mama kamu."
Memutar bola mata, ku tanggapi malas."Iya, nanti Andrian pulang."
"Cep---,"
Tuuut ...!
Belum selesai papa berbicara aku sudah menutup teleponnya. Persetan dengan perintah papa untuk memintaku pulang, pokoknya aku belum mau pulang ke rumah, titik!
***
Sekarang, taman belakang sekolah menjadi tempat favoritku yang baru. Tempat ini sangat pas untuk aku bisa menyendiri. Aku sedang malas saja untuk berkumpul dengan teman-teman. Apalagi mereka kerap menggoda dan meledekku karena punya mama baru. Bikin malu!
Tiba-tiba kurasakan ada seseorang menepuk pundakku, reflek aku menoleh ke samping kiri. Ah, ternyata Siska dengan senyuman lebarnya.
"Kakak sendirian aja, aku temenin ya." Siska mendudukan diri di sampingku.
"Akhir-akhir ini ko Kakak sering melamun sih, kenapa?" tanyanya.
"Nggak kenapa-kenapa ko," balasku datar.
Sesaat, kami berdua terdiam dalam kesunyian.
"Boleh nggak aku minta nomor, Kakak?" cetus Siska memecahkan keheningan.
Menoleh ke arahnya aku bertanya, "buat apa?"
Siska mengulum bibirnya, tampak gugup. "Ya ... aku pengen lebih dekat saja sama, Kakak," kata Siska yang masih menunduk. Malu?
Lebih dekat? Apa Siska ingin pedekate? Apa aku yang kegeeran?
Jika menolak, aku tidak enak hati. Merogoh ponsel di kantung celana, mengetik kontak nomorku lalu menyerahkan benda itu padanya. "Nih."
"Yey, makasih ya Kak." Siska tampak sangat kegirangan seperti bocah baru dapat permen. Dilihat-lihat ia imut juga.
Kuberikan senyum tipis. "Sama-sama."
***
Hari ini rencananya papa dan Bu Alfira pulang dari Bali, setelah menghabiskan lima hari bulan madunya di sana. Uh sebal! Aku tidak ingin menyambut mereka, kira-kira aku harus kemana ya? Ingin rasanya pergi ke suatu tempat.
Mengernyit bingung, aku meraih ponsel di atas nakas setelah terdengar dering pesan masuk. Nomor asing?
[Kak lagi nagapain? Ini nomor aku, Siska.] 15:25.
Oh, ternyara dia.
[Rebahan aja di kamar] 15: 27 sent.
[Oh] 15:27.
Oh iya, mengapa tidak aku manfaatkan saja Siska untuk hangout bareng, mungkin ia mau.
[Jalan yuk?] 15:29 sent.
[Waah kemana?] 15:29.
Cepat sekali si cewek oriental ini membalas pesanku.
[Kemana saja kamu mau, soalnya aku lagi bete nih] 15:30 sent.
[Ayok] 15:30.
[Alamat rumahmu di mana? Nanti aku jemput] 15:31 sent.
[Di Perum Green Regency nomor 46] 15:32.
[Ok tunggu aku ya] 15:33 sent.
[Ya Kaka (dengan emoticon love)] 15:33
Jujur, selama satu tahun mengenalnya, ini baru pertama kalinya aku 'benar-benar' berkenalan dengannya. Dalam artian, bisa bertukar pesan dan sekarang tanpa sengaja aku mengajaknya hangout.
Selama ini dia yang selalu memulai perhatian dan mengajakku ngobrol, mahu itu di kantin ataupun saat berpapasan dengannya di sekolah. Oh ya, Siska sering memberikanku sesuatu, kadang itu membuatku jadi tak enak hati padanya.
Terkesiap aku bangkit berdiri dari ranjang. Meraih hoodie hitam yang tergantung di pintu kamar. Berganti celana pendek dengan celana jeans biru panjang. Setelah menyambar kunci mobil di laci nakas, bergegas aku pergi keluar.
***
Setelah 15 menit mencari alamat, akhirnya aku menemukan rumah Siska. Rumah mewah dengan pagar yang menjulang tinggi khas desain Eropa. Di antara deretan rumah mewah di komplek ini, hanya rumah Siskalah yang paling wah dan megah bila dibanding yang lain.
Turun dari mobil, aku berdiri di depan pagar. Siska berjalan cepat menuju ke arahku. Aku melambaikan tangan di balik gerbang rumahnya, dan Siska menyambutku dibarengi dengan senyuman mengembang terpatri di wajah. Ia tampak cantik dan imut mengenakan baju feminim yang anggun. Ia memilih gaun berpotongan A dengan motif bunga yang lembut dan warna-warna cerah.
Gaun tersebut memiliki leher bulat dan lengan pendek yang memberikan sentuhan elegan. Bahan gaun tersebut terlihat ringan dan mengalir, memberikan gerakan yang lembut saat Siska berjalan. Potongan pinggang yang dipadu dengan rok lebar memberikan kesan feminin dan anggun pada penampilannya.
"Maaf ya lama," kataku padanya.
Siska tersenyum simpul. "Nggak lama-lama amat ko."
"Kira-kira kita mau kemana nih?"
"Hmm, ke mall aja deh aku pengen belanja sesuatu."
"Oke." Aku membukakan pintu lalu Siska masuk dan langsung memasang sabuk pengaman. Setelah mendudukan diri di jok pengemudi, tanpa basa basi lagi ku tancapkan mobil ini membelah jalanan.
***
Satu jam sudah aku menemani Siska berbelanja, berkeliling ke semua toko perlengkapan makeup, perawatan wajah, tas, aksesoris, sepatu dan baju. Hal yang paling menjengkelkan bagiku adalah ketika ia kebingungan memilah baju dan sepatu.
"Kak, yang ini bagus nggak?" tanyanya sambil menyodorkan satu t-shirt berwarna kuning.
"Bagus," jawabku singkat.
"Hmm ... kalau yang ini?" Kemudian ia menyodorkan satu lagi t-shirt berwarna biru.
"Bagus juga."
Siska terdiam sejenak. "Kalau dibandingkan ini sama ini kira-kira lebih bagus yang mana, Kak?" Sambil mensejejerkan keduanya, ia tampak kebingugan.
"Kalau menurut aku sih yang kuning lebih cocok sama kamu, tapi ya terserah kamu."
Siska terdiam, berpikir sesaat menimbang-nimbang.
"Tapi kayanya aku pilih yang warna coklat aja deh."
What?! Terus, buat apa dia tadi tanya-tanya minta pendapat aku kalau memang sudah punya pilihannya sendiri? Memutar bola mata jengah, aku mendengus. Dasar plin plan! Aku menggeleng-menggelenkan kepala kesal, buatku repot saja.
"Sis, udah ini kita makan yuk, aku laper." Aku memegang perut yang keroncongan sedari tadi.
"Kalau makan sushi mau nggak? Aku tau lho restoran sushi yang paling enak."
"Terserah kamu deh yang penting aku makan," balasku lesu. Jujur aku lapar sekali.
"Ya udah aku bayar ini dulu." Secepat kilat Siska berlari ke arah meja kasir dengan membawa satu t-shirt dan satu hotpants. Jika kalian pikir Siska hanya berbelanja dua potong pakaian kalian salah besar!
Awalnya Siska bilang padaku cuma ingin belanja peralatan makeup saja, tapi barang yang sebenarnya tidak penting-penting juga ia sampai membelinya. Tentu saja barang-barang yang berkaitan dengan perempuan. Akan tetapi, terserah Siska juga toh itu adalah uangnya, maklumlah orang kaya macam Siska itu bebas beli apa saja. Uang melimpah. Namun, masalahnya aku yang kerepotan menenteng semua barang belanjaannya.
***
Mengembuskan napas lelah, akhirnya bisa pulang juga. Jujur, pertama kalinya jalan bersama Siska membuatku cukup kelelahan dan mengelus dada. Apalagi saat dia berbelanja. Merepotkan.
Ingin rasanya cepat-cepat membaringkan tubuh ini di kasur. Aku memarkir mobil di garasi, setelah itu berjalan lunglai menuju teras rumah bergegas membuka pintu. Belum sempat aku memasukkan kunci rumah, terlonjak kaget ternyata seseorang telah membukanya terlebih dahulu. Seingatku tadi aku mengunci pintu itu.
"Habis dari mana?" Papa tampak berdecak kesal. Sejak kapan ia pulang?
"Habis main sama temen," jawabku pelan.
"Kamu, kan tahu sendiri kalau hari ini Papa sama mama pulang. Nah, pengennya Papa dan mama tuh disambut baik sama kamu, tapi kenapa kamu malah nggak ada?" tanya papa. "Dri, tolonglah jangan bersikap seperti ini seolah-olah kamu menghindari kita berdua. Apa kamu nggak senang lihat Papa bahagia?" lanjutnya menatapku melas. Sejenak aku terdiam.
Sebenarnya ada rasa iba juga melihat papa seperti itu. Dia seolah memelas meminta restu dari pernikahan barunya dengan Bu Alfira. Akhir-akhir ini aku tak acuh dan kerap memasang tampang datar. Mungkin papa menyadarinya. Kadang kasihan, namun mahu bagaimana lagi. Rasa sebal kerap melanda.
"Andrian, mau tidur dulu ya, Pa. Capek." Memalingkan wajah darinya, aku lantas berjalan menuju kamar dengan meninggalkan papa termangu di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments