I Love You My Step Mother
Pagi yang cerah. Burung saling berkicauan. Dengan semangat empat lima aku siap berangkat ke sekolah. Membuka garasi mobil. Mendorong motor sport kebanggaanku ke depan halaman rumah.
Di teras, tampak papa yang berjongkok tengah memandikan burung Makau kesayangannya. Setiap pagi papa rutin membersihkan burung beserta kandangnya itu. Banyak burung koleksi papa di belakang rumah yang dia pelihara, sudah hobi mendarah daging.
Aku menghampiri papa sambil mengulurkan tangan menyalaminya. "Andrian berangkat sekolah dulu ya, Pa. Assalamu alaikum."
Papa tersenyum padaku. "Iya hati-hati di jalan."
Helem sudah terpasang di kepala. Naik ke atas motor dan mulai menstarternya. Namun, papa menyeru, "Andrian!"
Spontan aku menoleh cepat menatapnya. "Nanti pulang sekolah ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu dan ingin mengenalkan kamu pada seseorang. Kamu pasti sudah mengenal orang ini." Papa mengulum senyum. "Kamu tidak ada kegiatan, kan sepulang sekolah nanti?" sambungnya.
"Tidak ada, Pa."
"Ya sudah. Nanti Papa tunggu ya, jangan main kemana-mana soalnya ini penting."
"Baik, Pa." Aku mengangguk tanda mengerti kemudian mulai memacu motorku dengan cepat menuju sekolah.
***
Saat ini adalah jam pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran kesukaanku. Alasan lainnya karena guru mata pelajaran tersebut. Aku suka dia.
Entah mengapa, setiap kali memandang wajahnya membuat hati ini berbunga. Senyum manis lengkap dengan lesung pipi itu membuat jantungku berdebar tidak karuan. Apalagi kalau berdekatan dengannya, membuatku terkesima saja.
Bu Alfira, begitulah aku memanggilnya. Mengapa kau begitu mempesona? Cara bicaramu, gayamu, gestur tubuhmu semuanya tentangmu aku amat suka. Kau seperti menghipnotis diri ini yang selalu terpaku tak beralih dari memandangmu.
"Dri ... Andrian. Woy!" bisik si bocah petakilan yang berada di samping kananku berhasil menghancurkan aktifitas terkesimaku pada Bu Alfira. Menoleh malas aku menatapnya.
"Ada apa?"
Bocah ingusan itu malah cengengesan. "Lu dari tadi ngelamunin apa? Mikirin yang jorok ya? Hihi."
"Enak aja lo sotoy," sanggahku sambil menjitak kepalanya kesal. Bisa-bisanya si telur puyuh Doni bersu'udhon begitu padaku. Memangnya aku cowok mesum apa?
Doni malah nyengir kuda. Perlahan ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, hendak membisikan sesuatu. "Gue perhatiin nih ya selama dua tahun ini, setiap pelajaran bahasa Indonesia, lu tuh kelihatan bersemangat banget. Beda kalau sama pelajaran yang lain. Apa jangan-jangan ...." Ia menggantungkan ucapan, "lu suka sama Bu Alfira ya?"
Deg..!
Sialan! Kenapa tebakannya tepat? Otomatis aku jadi salah tingkah. Dasar bocah ini! Oh Tuhan, pasti sekarang dia melihat mukaku yang mungkin memerah seperti tomat. Andai aku bisa bercermin.
Aku menghamburkan arah pandang ke papan tulis. Buang muka. "Bi--bi--asa aja ah, apaan sih lu?" balasku gugup sambil kugaruk tengkuk yang tak gatal.
"Ko lo jadi gugup gitu, sih?" kulirik ia sekilas. Doni menatapku dengan tampang menyelidik. Dasar jail!
Bel istrihatpun berbunyi, untunglah aku bisa keluar dari situasi ini. Bergegas aku pergi ke kantin meninggalkannya.
"Tunggu woooy, bareng gue!" teriak Doni padaku, tapi aku tak mengacuhkannya .
***
Suasana kantin sangat ramai. Setelah mengambil makanan, aku memilih meja yang tampak kosong. Ketika aku sedang asik menyantap mie ayam, seorang gadis menghampiri kemudian mendudukan dirinya di sebelahku.
"Hai, Ka." Dia menyapaku dengan senyum imutnya. Aku balas senyum.
Siska menyodorkan sebotol kopi instan padaku. "Buat Kakak."
Lagi-lagi aku diberi sesuatu olehnya. Lumayan juga, itung-itung dapat gratisan. "Makasih," ucapku dibarengi senyum terbaik.
"Sama-sama." Tampak Siska menopang dagu dengan sebelah tangannya sambil menatapku lekat. Jujur, aku merasa risih.
Cewek ini. Dia adalah Fransiska Gumelar. Si cewek cantik cucu pemilik sekolah swasta SMA Gumelar. Ketua genk dari 'cecaker' yang katanya sih kumpulan cewek-cewek cantik modis dan keren, tapi nama genknya itu sedikit absurd menurutku. Bisa dibilang ia itu cewek populer di sekolah ini, si tukang bully juga. Konon, kata teman-teman Siska menyukaiku, tapi aku tidak pernah mempedulikannya alias cuek saja.
Entah mengapa ia sering memberikan aku sesuatu. Makanan, minuman dan sebagainya. Aku selalu menerimanya karena merasa tidak enak saja untuk menolak. Kalau kata teman-teman Siska itu 'caper' padaku, tapi aku tidak pernah peka. Mau peka bagaimana coba, sedikitpun ketertarikanku padanya tidak ada.
"Kak, ko belum diminum sih kopinya?" tanyanya seraya menunjuk ke arah kopi yang kupegang.
"Ini mau diminum." Aku berusaha membuka tutup botol tersebut, tetapi sulit sekali terbuka. Apa aku tidak cukup tenaga? Memalukan kalau dilihat Siska.
"Susah ya bukanya, mau dibantuin?"
"Nggak usah, Sis. Aku bisa sendiri ko masa cowok gak bisa sih," sahutku. Kudengar Siska terkekeh pelan.
Setelah sekian detik aku berusaha, akhirnya terbuka juga. Aku meneguk sebotol kopi instan itu tanpa jeda. Hmm, enak juga.
"Kak, ko makin hari makin ganteng aja sih?"
"Uhuk!" Aku terbatuk. Untuk kesekian kalinya ia terus-terusan memujiku, membuat aku sedikit kikuk.
"Mungkin udah takdir, haha ...," aku tertawa hambar.
"Ish, kakak bisa aja deh. " Kedua jari Siska mencubit pipi kiriku pelan.
Sungguh menjengkelkan, aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Dengan tingkahnya itu, alhasil, kamipun jadi pusat perhatian. Aku mengerling sebal.
Sesaat kemudian, sorot mata ini tiba-tiba teralihkan pada sosok yang aku kagumi. Netraku menangkap seseorang yang aku rindukan setiap saat. Siapa lagi kalau bukan Bu Alfira. Ia berjalan melewati meja makanku entah mau ke mana. Terbesit dalam benak untuk mengikutinya.
"Sis, gue cabut dulu ya, ada hal penting." Tatapanku masih terpaku pada punggung Bu Alfira.
Ketika hendak beranjak, tiba-tiba Siska mencekat lengan kananku erat. Aku mendelik padanya. "Ko Kaka pergi? emang mau ke mana?" Siska tampak cemberut. Reflek aku melepaskan pegangannya pada lenganku.
"Ada deh." Tidak menghiraukan Siska, aku langsung beranjak pergi meninggalkannya. Kudengar Siska agak mendengus. Apakah kesal? What ever!
Setelah diam-diam membuntuti Bu Al, rupanya ia menuju ke arah taman belakang sekolah. ia duduk di atas kursi kayu reyot di bawah pohon beringin yang lebat. Namun, ekspresi wajahnya terlihat murung. Ada apa?
Tatapan Bu Alfira tampak kosong memandang ke depan entah apa yang dipikirkan. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki ini berjalan menuju sang empunya hati. Ciaah, lebay. Siapa lagi kalau bukan Bu Alfira.
"Siang Bu," sapaku ramah.
Sadar dengan kehadiranku, Bu Alfira menoleh. "Oh Andrian, iya siang juga," balasnya sambil tersenyum simpul. Oh astaga, senyuman itu. Tolong ... hatiku jadi meleleh.
Sambil duduk aku bertanya padanya, "kok Ibu sendirian aja?"
'Sudah jelas dia sendirian masih saja ditanya dasar bego kau Andrian!' umpatku dalam hati.
"Pengen sendirian aja," ucapnya datar. Bu Alfira kini mengeluarkan ponsel di saku rok span hitam lalu memainkannya.
Hening. Tidak ada obrolan lagi tercipta.
Ada apa dengan mulut ini? Kenapa setiap di dekatnya aku tidak bisa berbicara, rasanya seperti terkunci. Hanya jantung ini saja yang tidak bisa diam, berdetak naik turun tak karuan, seperti mau copot saja. Pandanganku masih terpaku tak bisa lepas darinya.
"Dri, kamu kangen nggak sama mama kamu?" Akhirnya Bu Al memulai obrolan. Namun, mengapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu? Aku berdenyit heran.
"Ya kangenlah Bu, apalagi Andrian, kan sudah ditinggal sedari kecil. Kenapa emang?" Sesaat kemudian Bu Alfira menoleh menatapku intens. Terasa sekali muka ini mulai panas, mungkin efek dari tatapannya.
"Kalau ada orang lain yang menggantikan sosok ibumu itu apa kamu mau menerimanya?"
Jiwaku mulai bertanya-tanya. Mengapa Bu Alfira tiba-tiba bertanya mengenai kehidupan pribadiku? Mengapa ia mendadak membicarakan almarhumah ibuku? Tidak seperti biasanya, kalaupun kami mengobrol itu hanya prihal masalah pelajaran, tidak lebih.
Kalau masalah aku anak tanpa ibu aku pikir semua orang juga sudah tahu. Ibuku meninggal ketika aku berusia sembilan tahun akibat kangker payudara menjadikan papa seorang single parent.
Mengulum bibir, lantas aku berkata, "hmm ... dulu sih emang Andrian nggak mau punya mama baru, tapi sekarang Andrian nggak mau egois, selama wanita itu bikin papa bahagia, ya it's ok."
Bu Alfira terdiam cukup lama. Hening kembali.
Tak terasa waktu cepat berlalu, dan bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Aduh, padahal diri ini ingin menikmati waktu bersamanya lebih lama.
"Sudah waktunya kita pergi, yuk," ajak Bu Al seraya beranjak dari tempat duduk. Aku hanya mengangguk patuh, meskipun agak malas. Pasalnya, aku masih ingin menikmati moment berdua dengannya, kalau bisa sih selamanya Bu Al ada di sisiku. Hehe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments