Brukk!
Aku membanting pintu kamar. Melempar kasar tas ransel dan menghempaskan diri ini ke tempat tidur. Aku tak bisa menahannya lagi. Rasa kesal dan kecewa membuat buliran air mata tiba-tiba keluar tanpa diminta. Rasanya sakit sekali setelah mengetahui kabar mengejutkan itu. Hatiku seakan dipukul berulang kali.
Aku menatap ke luar jendela, tapi pikiranku jauh berkelana. Sekarang papa akan menikahinya. Bagaimana mungkin bisa? Aku merasa terjebak dalam keadaan yang rumit ini, tak berdaya menghadapi takdir yang tak diduga.
Perasaan cinta yang kurasakan begitu tulus dan dalam. Apakah harus aku kubur saja sebab sekarang semuanya hancur dengan rencana pernikahan papa. Begitu sulit menerima kenyataan ini dengan mudah.
Aku merenung dalam keheningan kamar, mencoba memahami perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam diri. Mencoba cari jawaban atas pertanyaan yang terus bergumul dalam benakku. Mengapa dunia begitu kejam? Mengapa cinta yang kurasakan harus bertabrakan dengan hubungan keluarga?
Aku harus menemukan kekuatan dalam diri untuk melepaskan cinta yang terlarang ini. Mungkin ini adalah ujian yang harus ku alami, meskipun rasanya seperti pedang yang menusuk hati.
Mungkin ini saatnya aku musti merelakan wanita itu pergi, bahkan jika itu berarti melihatnya bersanding dengan papa di pelaminan.
Saat ini, aku masih menangis dalam diam. Mencoba melepaskan semua rasa sakit yang terpendam. Mungkin suatu hari nanti, aku akan bisa melihat cinta ini sebagai kenangan yang indah dan menemukan jalan baru untuk melangkah maju.
Mengusap wajah kasar, aku mengumpat kesal, "sialan! Kenapa sesakit ini?"
Dasar bodoh! Seharusnya dari dulu aku nyatakan cinta padanya, maka aku tidak akan merasa sesakit ini. Aku benci ketika harus menerima kenyataan kalau ia akan menjadi ibu tiriku! Ingin ku teriak bilang, tidak!
***
Flashback
Sepulang sekolah, papa memintaku untuk pulang cepat, katanya ada hal penting yang harus disampaikan. Dia ingin mengenalkanku pada seseorang. Teringat pintanya tadi pagi, dengan gesitnya aku langsung menjalankan motorku sekencang mungkin.
Di tengah perjalanan, perutku terasa mulas. Memarkirkan motor di depan masjid, terbirit-birit aku berlari menuju toilet karena sudah merasa tidak tahan.
Setibanya di rumah, sayup-sayup terdengar suara papa sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita. Aku bergeming sesaat. Suara itu begitu familiar bagiku.
Segera ku langkahkan kaki ke ruang tamu.
"Assala---." Belum sempat diri ini melanjutkan salam, tiba tiba dia menoleh. Seketika aku tertegun.
"Bu Alfira," gumamku tak percaya. Mengapa Bu Alfira ada di rumahku?
"Wa'alaikum salam," jawabnya pelan dengan tersenyum hangat ia berikan.
"Sini, Nak, kita ngobrol bareng calon ibumu."
Apa? Calon mama?'
Tiba-tiba semuanya jadi suram. Aku termangu ketika mendengar apa yang terlontar dari mulut papa barusan. Terkatup aku bergeming dengan tubuh yang bergetar. Menggigit bibir bawah, aku coba menahan sekuat tenaga air mata yang minta untuk keluar. Dasar lebay!
"Sini duduk, Nak. Masa berdiri di situ terus?" ucap papa seraya menepuk sofa di sampingnya memintaku untuk duduk. Aku hanya mengangguk lesu, lantas mendudukan diri dengan lemah.
"Jadi gini. Papa cuman ingin kasih tau kamu kalau dua hari lagi papa dan Bu Alfira akan melangsungkan pernikahan."
Membelalakan mata aku terkejut. Apa? Nikah? spontan aku langsung menoleh ke arah papa.
"Ke--napa tiba-tiba?" tanyaku terbata.
Papa menghela napas panjang. "Sebenarnya, Papa dan Bu Alfira sudah menyiapkan semuanya tanpa kamu ketahui. Undangan sudah disebar, dekorasi, catering semuanya sudah siap. Sengaja Papa tidak memberitahumu, Papa takut kamu tidak merestui pernikahan kami. Teringat perkataanmu dulu, katanya kamu tidak ingin punya mama baru. Tetapi Jujur, Papa kesepian, Nak. Papa juga butuh pendamping hidup, dan akhirnya Papa temukan seseorang yg cocok untuk Papa."
Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan papa tanpa sanggup berkata-kata.
"Kalaupun kamu enggan dengan pernikahan ini, kamu tidak akan bisa melakukan apapun, karena semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Jadi Papa minta pengertian kamu. Papa yakin Bu Alfira akan menjadi istri dan ibu yang baik untuk kita."
'Aku tidak ingin dia jadi ibuku aku ingin dia jadi kekasihku, milikku seutuhnya!' Batinku berontak, tapi mulutku bungkam.
Oh papa! Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini yang sakit dan hancur. Bagaimana mungkin aku merestui pernikahan kalian. Justru yang aku inginkan adalah menolak pernikahan itu mentah-mentah. Namun, itu, kan dua hari lagi. Mana bisa aku menolaknya. Tidak mungkin jika aku mengacaukannya dengan meng-ubrak abrik, mengamuk kemudian mengumumkan ke seluruh dunia bahwa aku mencintainya dan menolak pernikahan ini bak sinetron di India.
Aku masih peduli pada papa, dan tidak mungkin sebagai seorang anak diriku mempermalukan dirinya seperti itu. Begini-begini juga aku sayang padanya, tapi sekarang jadi benci dan kesal. Namun, mengapa harus kesal? toh papa tidak mengetahui perasaanku pada Bu Alfira, bukan?
Intinya, papa tidak bersalah sebab aku tidak pernah memberitahukan tentang rasa ini. Yang salah adalah, papa baru memberitahukanku menuju hari pernikahannya.
"Dri, bagaimana?" tanya papa membuyarkan lamunanku.
Menghela napas berat aku hanya bisa pasrah. “Terserah, Papa.” Cuma itu yang aku ucapkan.
"Kamu sakit, Andrian? Ko pucat?" Bu Alfira bersuara. Ia menatapku dengan bias kekhawatiran di wajahnya. Menoleh aku memandangnya.
Mata coklat itu, tubuh indah itu dan semuanya yang ada pada Bu Alfira akan jadi milik papa. Aku membuang tatap ke sembarang arah. Tidak ingin terbuai dengan wajah cantiknya karena aku merasa tidak pantas untuk membayangkannya lagi.
"Aku baik-baik saja, Bu," balasku kemudian.
"Oh. Ibu pikir kamu kenapa-kenapa." Bu Alfira terdengar menyeruput segelas teh hangat.
"Kalau bicara itu jangan buang muka begitu, Andrian, " tegur papa yang otomatis membuatku kembali memandang ke arah Bu Alfira. Tampak ia tersenyum kaku ketika melihatku.
"Andrian tidak tahu kalau Papa dan Bu Alfira sudah saling kenal." Aku menunduk pilu. Sejak kapan mereka saling kenal? Pertanyaan itu terlintas dalam benakku.
Papa berujar disertai tawa ringan. "Oh itu ... hahaha pokoknya gitu deh."
"Papamu adalah sahabat ayahku, Andrian. Itulah mengapa kita bisa bertemu dan saling kenal." Aku menatap Bu Alfira dengan kerut di dahiku. Sahabat?
"Kok bisa papa dan ayah Bu Al bersahabat?"
Aku memalingkan wajah ke arah papa. Dia tersenyum malu sambil mengangkat secangkir kopi. "Panjang pokoknya kalau diceritakan sekarang."
Bi Narsih, asisten rumah tangga papa datang sembari membawakan beberapa camilan berupa kue kering dan pisang goreng di nampan.
Wanita paruh baya berkerudung longgar itu meletakkan dua piring di atas meja. "Silakan dinikmati, neng ... eh, Bu." Bi Narsih meralat ucapan sambil menutup mulutnya malu. Mungkin ia bingung harus panggil Bu Alfira dengan sebutan neng atau ibu. Tahu sendirilah Bu Alfira sangat muda jika bersanding dengan papa.
"Iya, makasih, Bi." Bu Alfira tersenyum ramah membuatku terhanyut dalam pesonanya.
"Mau kemana?" tanya papa heran setelah melihatku bangkit berdiri dari sofa.
"Andrian ke kamar dulu ganti baju."
"Jangan lama-lama, nanti kita makan bareng," kata papa yang aku balas anggukan lesu.
Sudah tidak tahan dengan situasi ini, berjalan gontai aku bergegas pergi menuju ke kamar. Putus asa, sesak di dada karena hati yang terluka. Tubuhku lemah seperti tidak punya gairah hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments