Alfira POV
Hari pernikahanku dengan Mas Reza akhirnya tiba. Aku duduk di hadapan bapak penghulu mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Ayah dan Mas Reza berhadapan seraya berjabat tangan untuk melafalkan beberapa kalimat janji pernikahan. Senyum lebar terukir di wajahku, tetapi di dalam hati, kepedihan yang tak terungkapkan melanda.
"Bagaimana hadirin, sah?" Bapak penghulu celingukan memandang sekeliling.
"Sah!"
Serempak semua orang melafalkan doa setelah proses ijab qabul telah dilakukan. Semua orang memberikan ucapan selamat dan tepuk tangan penuh kegembiraan. Aku berusaha menyimpan kesedihanku di dalam, membiarkan senyum palsu terus menyertai langkahku. Setiap langkah yang aku ambil menuju pelaminan, setiap kata yang terucap dalam janji pernikahan, semuanya seperti pukulan yang tak terelakkan.
Aku memandang sekeliling, melihat wajah-wajah yang dipenuhi sukacita dan kebahagiaan. Keluarga dan teman-teman yang hadir, semua mengucapkan selamat padaku dengan tulus. Namun, hanya aku yang tahu bahwa di balik senyum yang kuhiasi, hatiku hancur.
Aku berusaha keras berpura-pura bahagia, mencoba menyembunyikan perasaan sakit yang menyiksa. Aku melihat Mas Reza, calon suamiku tersenyum bangga di sampingku. Dia tidak tahu bahwa di balik senyuman ini, aku merana karena dijodohkan dengannya, seseorang yang tak aku cintai dengan sepenuh hati.
Aku menghadirkan binar mata palsu di wajah saat aku bergandengan tangan dengan Mas Reza, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa membuatnya bahagia. Tetapi di dalam hati, ada rasa kosong yang tak terisi. Aku bertanya-tanya apakah aku akan menemukan kebahagiaan yang sejati di sini, dalam pernikahan yang diperuntukkan bagi orang lain.
Jika bukan karena Ayah sebenarnya aku tidak menginginkan pernikahan ini. Aku terpaksa, karena bisnis Ayah yang hampir collapse, maka dari itu dengan perjodohan ini, bisnis Ayah akan bisa terselamatkan. Ayah rela menjodohkanku dengan seorang duda sekaligus sahabatnya, yang sekarang jadi partner bisnisnya, Mas Reza.
Perbedaan usiaku dan Mas Reza terbilang sangat jauh. Kami terpaut dua puluh tiga tahun. Aku 22, sedangkan Mas Reza 45. Bahkan ia sudah punya anak remaja, yang tak lain adalah muridku di SMA.
Andrian. Anak itu, semenjak ia mengetahui hubunganku dengan papanya, ia seperti menjaga jarak denganku. Ia jadi bersikap dingin, tidak seramah dulu. Mungkinkah sebab aku akan menggantikan posisi ibunya menjadi alasan dirinya bersikap demikian?
Bukankah ia sendiri pernah bilang bahwa kelak ia akan menerima siapa saja untuk mendampingi papanya, asalkan wanita itu setia dan menyayangi papanya sepenuh hati. Namun, kenyataannya ...
Berteriak dalam hati aku frustasi. Aku sungguh dibuat bingung memikirkan perubahan sikap anak itu. Terserahlah, aku pusing! Yang jelas, sekarang diriku harus menerima kenyataan bahwa sekarang aku adalah seorang ibu tiri. ****!
"Dek, kenapa ko melamun sedari tadi?"
Sambil tersenyum tipis, kualihkan pandang menatap Mas Reza di samping kanan. "Nggak kenapa-napa ko, Mas."
"Oh. Kalau cape istirahat saja," ucap Mas Reza yang aku balas anggukan lesu.
Percakapan kami terhenti karena tamu datang silih berganti. Terpaksa aku berdiri kembali, menyalami satu persatu tamu yang datang ke pesta pernikahan ini.
***
Mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran rumah Mas Reza. Dua mobil sebelumnya telah terparkir rapi di sini. Mungkin mobil itu berisi kado dan seserahan pernikahan yang baru dipindahkan dari gedung pernikahan.
Ayah dan bunda langsung pulang ke rumah setelah kami berpamitan. Begitupun Andrian. Keningku berkerut heran, sosoknya tidak kelihatan sedari tadi. Apakah ia sudah berada di kamarnya?
Mas Reza lekas keluar dan membukakan pintu untukku. Aku turun dari mobil dengan gaun pengantin yang masih menempel cantik di tubuh. Bi Narsih dengan sigap menggandengku ke teras rumah.
Mas Reza tersenyum pada asisten paruh baya itu. "Bi, tolong antar istriku ke kamarnya, ya. Dan nanti sekalian bantuin saya beres-beres barangnya Bu Al di mobil."
Bi Narsih mengangguk patuh. "Baik, Pak. Silakan ikuti saya, Bu Alfira."
Aku mengikuti Bi Narsih menuju ke kamar dengan langkah berat. Kami berdua sampai di depan pintu kamar, dan Bi Narsih membukanya dengan hati-hati.
"Ini adalah kamarnya. Jika ada yang Bu Al butuhkan, tolong beri tahu Bibi, ya."
"Terima kasih, Bi Narsih. Aku menghargainya," kataku dengan bibir menyungging ke atas.
Sebelum berlalu Bi Narsih merapikan dulu seprai, guling dan bantal di ranjang. "Jika ada yang bisa Bibi bantu, jangan sungkan untuk memanggil Bibi. Semoga Bu Alfira dapat menemukan kenyamanan di sini."
"Terima kasih, Bi. Saya akan mencoba untuk beradaptasi."
Bi Narsih kemudian memberikan senyum penuh kehangatan sebelum meninggalkan kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi ruangan yang asing ini. Hatiku masih dipenuhi dengan kebingungan dan perasaan tak pasti tentang masa depan rumah tanggaku dengan Mas Reza.
Setelah beberapa saat, Mas Reza datang memasuki kamar. Ia melihatku dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi wajahku yang terlihat lelah.
"Dek, ada yang kurang nggak di kamar? Apa Adek lapar?"
Aku menggeleng lemah. "Nggak, Mas. Mau langsung istirahat saja, mau bersih-bersih dulu terus ganti baju."
"Ya sudah kalau begitu. Mas mau beres-beres dulu, ya."
Aku mengangguk kecil tanpa mengatakan sepatah kata. Setelah itu, pintu kembali tertutup. Menghela napas panjang menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba anganku menerawang jauh. Terbesit pertanyaan dalam benak. Apakah aku bisa bahagia hidup bersamanya?
Dengan hati yang berat, aku melepas gaun itu perlahan-lahan, melipatkannya dengan penuh kehati-hatian. Aku merasa seakan melepaskan satu babak hidupku yang indah, tapi juga penuh dengan kesedihan dan keraguan.
Kini handuk menutupi setengah badanku sampai dada. Berjalan menuju kamar mandi, membilas wajah dengan air sejuk guna menghilangkan bekas makeup dan air mata yang mengering di pipiku. Setiap percikan air memberikan rasa segar, mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan meskipun hatiku sedang dalam keadaan hancur.
Usai membersihkan diri, aku kembali ke kamar dengan langkah lesu. Aku berdiri di depan cermin, memandang refleksi diri yang tampak lelah. Aku melihat gaun pengantin yang tergeletak di kursi, mengingatkanku pada impian yang tak terwujud.
Setelah menggantungkan handuk di dinding, aku mengambil kaos dan celana pendek di dalam koper. Setelah pengap menggunakan gaun pengantin itu seharian, sekarang aku bisa bernapas lega dengan mengenakan baju yang sederhana ini.
Mendengar suara gagang pintu yang kembali terbuka spontan aku menoleh. Tampak Mas Reza datang dengan senyum hangat terpancar di wajahnya. Rupanya ia telah berganti pakaian dengan kaos putih dan celana panjang.
"Capek ya, Dek?" tanyanya sambil mendudukan diri di tepi ranjang.
Terkesiap aku bangkit merubah posisiku terduduk dari pembaringan. Memberikan senyum tipis di wajah.
"Iya Mas," balasku seraya merapikan rambut kikuk.
"Mau Mas pijitin?" Mata ini melebar sempurna. Oh astaga. Aku dibuat melongo mendengar tawarannya. Apa barusan? Dipijit?
"Ng--gak usah Mas, badanku nggak pegel ko, he." Terkekeh pelan, aku benar-benar gugup dan canggung dengan situasi ini.
"Ya sudah. Kalau gitu tidur aja, udah larut malem." Mas Reza naik ke atas ranjang, merebahkan badan lalu terpejam. Sementara aku masih bergeming terduduk kikuk tak karuan.
Atmosfirnya begitu canggung sekali ketika berada di dekatnya. Kembali diriku berbaring di atas kasur. Namun, kali ini memunggunginya.
"Good night, Mas," ucapku pelan.
"Night," balas Mas Reza. Rupanya ia belum tertidur lelap.
Sambil menutup mata, aku berdoa agar mendapatkan kekuatan dan keberanian untuk melangkah maju. Meskipun hatiku masih merana, aku harus mencari cara untuk menyembuhkannya dan menerima kehidupan yang tak terduga ini. Mulai menguap, dan kurasakan kantuk yang luar biasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments