Pesugihan Susuk. Kupu² Malam
Eni. Seorang gadis cantik yang punya cinta-cita ingin menjadi orang kaya. Bahkan Eni yang lahir di tengah keluarga miskin. Merasa malu untuk mengakui orang tuanya. Ayahnya yang bernama Abas, berprofesi sebagai tukang becak, sementara Marni, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga dengan merawat tujuh anak yang lima diantaranya masih sangat kecil-kecil.
Rumah panggung yang kecil dan sederhana, berdinding bambu. Menjadi harta satu-satunya Abas dan Marni. Eni yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Sepertinya masih tidak terima dengan keadaan orang tuanya. Ia sering berkata seolah menyalahkan keadaan, kenapa harus dilahirkan menjadi anak orang miskin. Eni sangat iri melihat kawan sebayanya yang selalu punya apa yang diinginkan.
Sifat sombong dan angkuh. Membuat yang dimiliki Eni, membuat dirinya tidak punya teman. Anak-anak sebayanya selalu menjauh karena tidak suka dengan kelakuan Eni yang kasar kepada orang tuanya dan selalu saja menuntut, agar orang tuanya memberikan semua yang ia inginkan.
Suatu hari. Eni yang tengah berjalan sendiri, tiba-tiba bertemu dengan seorang pemuda tampan dan ramah. Pemuda itu tampaknya sedang mencari alamat seseorang
Melihat ada pemuda tampan di depannya, dengan pura-pura tidak memperhatikan, Eni berlenggak lenggok bak seorang model di atas catwalk. Pemuda itu menatap ke arah Eni, sepertinya ingin bertanya sesuatu.
"Maaf Mbak. Boleh saya bertanya?" tanya si pemuda.
Eni menghentikan langkahnya. Memasang raut wajah cuek dan sok jual mahal, ia menjawab.
"Iya. Mau tanya apa, ya?" Suara Eni di merdu-merkan, sudah mau menyaingi suara artis papan atas.
"Mbak tau rumahnya Pak Madi? Dia Paman saya, dulu pernah ke sini waktu kecil, tapi lupa lagi," imbuh pemuda itu.
"Oh, yang polisi itu, ya?" Eni balik bertanya.
"Iya betul." Pemuda itu tampak senang karena bertanya kepada orang yang tepat.
"Tau, Mas. Kebetulan masih saudara saya," jawab Eni mengaku-ngaku.
"Wah, kebetulan dong kalau begitu saya bertanya kepada orang yang tepat. Kenalin, nama saya Randy." Pemuda itu menyodorkan tangannya.
"Melisa." Eni menyambut uluran tangan pemuda yang mengaku bernama Rendy.
"Nama yang cantik, sesuai orangnya," ucap Rendy sambil tersenyum.
"Terimakasih." Kalau tidak malu, rasanya ingin loncat-loncat saking bahagia mendapat pujian dari pemuda itu.
"Mas lurus saja. Nanti paling ujung sebelum rumah terakhir ada rumah yang di gerbang tinggi. Itu rumahnya Om Madi." Eni menyebut dengan panggilan Om kepada Madi, orang yang tengah dicari pemuda itu.
"Kalau begitu, kita ke sana sama-sama saja," ajak Randy.
"Aduh maaf, Mas. Saya sudah ada janji mau jalan sama teman." Eni menolak ajakan Randy.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kalau boleh saya minta nomor ponsel kamu."
Tentu saja dengan senang hati, Eni memberikan nomor teleponnya kepada Randy.
Akhirnya Randy pamit untuk melanjutkan perjalanan mencari rumah saudaranya. Sementara Eni, ia gegas pulang karena takut kalau pemuda itu tau siapa dirinya sebenarnya.
"Eni, kamu dari mana saja? Pergi dari pagi, bukannya bantuin Emak. Lihat tu cucian masih menumpuk, Adik kamu kan sedang sakit, coba belajar nyuci, kamu itu sudah besar," cecar Marni, sedikit kesal karena Eni tidak pernah mau peduli dengan keadaan di rumah. Tiap hari hanya kuyuran.
"Aduh, berisik amat sih. Siapa juga suruh punya anak banyak. Sudah tau hidup susah, bikin anak terus! Males ah, aku lapar mau makan." Eni melewati Marni yang berdiri di depan pintu.
"Astaghfirullah, Eni! Kamu itu bicara tidak ada sopan santunnya sama orang tua." Marni mengusap dada yang selalu saja terasa sesak saat bicara sama putrinya itu.
"Sopan santun apaan. Emak sadar tidak! Bagaimana aku bisa sopan santun. Emang kalian sekolahin aku? Aku sekolah saja hanya tamas sekolah dasar! Makanya mikir jadi orang tua," Eni mendelik
"Kakak ! Kok gitu sih bicara sama orang tua. Kalau Kakak tidak mau bantu, tidak masalah. Aku juga bisa." Nita anak kedua yang usianya hanya selisih dua tahun dari Eni, ikut nimbrung.
"Sudah Nita. Kamu kan capek baru pulang nyari kayu bakar. Mending kamu mandi dulu habis itu makan." Marni mererai takut terjadi keributan antara Eni dan Nita.
"Nah tuh, udah suruh si Nita saja ngerjain semuanya. Dia kan anak berbakti. Heh! Jangan lupa cuci bajuku juga ya." Eni ngeloyor masuk dapur dan makan dengan lahap. Selesai makan ia gegas masuk kamar dan tidur tanpa merasa bersalah.
Sementara pemuda yang bernama Randy, setelah berhasil menemukan rumah saudaranya dan disambut dengan bahagia oleh pemilik rumah.
"Kamu datang kenapa tidak ngasih kabar dulu sama Om, Ran?" ujar seorang lelaki yang ternyata dia yang bernama Madi, orang terkaya di kampung itu.
"Maaf Om. Nomor Om tidak sengaja terhapus karena Randy ganti ponsel," jawab Randy.
"Untuk kamu masih ingat rumah ini, padahal sudah lama banget kamu tidak datang kemari," imbuh Madi.
"Justru itu Om. Tadi Randy sempat kebingungan. Untung tadi tidak sengaja bertemu dengan saudara Om juga dan dia yang ngasih alamat ini," jawab Randy.
"Saudara Om, siapa?" Madi tampak heran.
"Kalau tidak salah, namanya, Melisa," jawab Randy.
"Loh, memang Melisa sudah pulang ya? Kok dia tidak datang kemari." Madi tampak kaget begitu mendengar nama itu.
"Mamangnya pulang dari mana, Om?" Randy penasaran.
"Dia kan kuliah di Jogja. Biasanya kalau pulang dia suka langsung datang berkunjung ke sini," terang Madi.
'Oh dia masih kuliah. Sudah cantik, cerdas juga kayaknya tu anak. Semoga aja bisa bertemu lagi' Randy senyum-senyum sendiri membayangkan wajah Eni yang mengaku bernama Melisa.
Malam itu Randy bermalam di rumah Madi karena dilarang pulang. Selain sudah sore, Madi juga masih sangat rindu kepada keponakannya itu. Sementara gadis yang disebut Melisa, ia keponakan Dari Hana istri Madi.
Entah mengapa? Wajah Eni selalu saja menari dalam ingatan Randy, apalagi setelah mendengar keterangan dari Madi, kalau Melisa adalah anak kuliahan dan masih ada ikatan saudara dengan istrinya Madi yang terkenal keturunan kaya raya.
'Sepertinya tidak akan jadi masalah kalau aku mengenal dia. Mama sama Papa pasti setuju karena Melisa bukan orang biasa' batin Randy.
Randy memang bukanlah orang yang suka menilai orang dari seratus sosial, tapi kedua orangnya sudah mewanti-wanti. Kalau dirinya harus menjadi calon istri dari keturunan kaya raya dan terpandang.
Randy merogoh ponsel dari kantong celana pendeknya dan mencari nomor Eni yang dikira Melisa itu.
[Assalamualaikum. Hay Lis, lagi apa?]
Sebuah pesan dikirim ke nomor Eni.
Cukup lama Randy menunggu balasan dari Eni, yang sengaja tidak langsung membuka pesan itu. Biar orang kampung tapi Eni cukup cerdik. Walau hatinya sangat bahagia menerima pesan dari Randy, namun ia sengaja sok jual mahal.
[Wa'alaikum salam. Aku lagi di rumah]
Akhirnya pesan yang tunggu masuk.
[Aku juga menginap di rumah Om, ni. Tadi aku bilang sama Om, kalau kamu yang bantu aku tadi]
Cukup panjang Randy mengirim pesan kedua kepada Eni.
[Oh ya. Memang Om ngomong apa?]
Eni sedikit kaget, ia sedikit takut kalau kalau kebohongannya akan terbongkar.
[Om bilang, kamu tumben pulang tidak berkunjung ke rumah Om]
Randy menyampaikan apa yang diucapkan oleh Madi
[Oh gitu. Iya ni. Aku juga pulang sebentar kok. Ada urusan penting]
Eni memang sangat pandai berbohong.
[Besok aku mau kembali ke kota. Boleh tidak kalau aku mau bertemu kamu]
Bagaikan sejuta bintang bagi Eni. Dalam sejarah hidupnya, baru kali ini ada pemuda kaya yang mau melirik dan mengajak dirinya ketemuan. Pemuda yang ada di kampung itu tidak satupun yang mau dekat dengannya. Bukan karena Eni anak orang miskin, tapi kelakuannya yang membuat orang enggan untuk kenal lebih dekat.
[Boleh, tapi kita ketemu di luar aja, ya?]
[Boleh. Kalau gitu besok aku tunggu di tempat kemarin, ya]
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Eni sudah bersiap-siap dengan baju yang terbagus. Dengan wajah bahagia ia menunggu kabar dari Randy.
"Eni, tolong jaga si Adik, ya. Emak mau ikut manen. Nita mau bantuin Emak, siapa tau bisa pulang masih siang. Hari ini kita belum ada beras buat makan," ucap Marni
"Apaan sih, Mak. Udah tau aku mau keluar. Udah, Emak bawa saja dia ke sawah," jawab Eni tanpa menoleh.
"Masalahnya, si Adik lagi demam, Eni. Kasihan kalau di bawa." Marni mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang halus.
"Emak ini manja amat jadi orang tua. Kenapa tidak sendiri aja sih? Biar si Nita jaga si Adik." Eni tetap bersih keras mau pergi.
"Astaghfirullah Eni. Kok kamu tidak ada mau nantinya sama sekali, sih? Kamu itu keterlaluan." Marni mulai habis kesabaran.
"Berisik amat sih. Makin gak betah saja aku ada di rumah, sudah seperti neraka saja." Eni menghentakkan kaki dan gegas ke luar, pergi tanpa menoleh lagi.
"Astaghfirullah." Marni kembali harus mengusap dada sambil beristighfar. Lagi-lagi Eni membuat ibunya kecewa dan sedih.
"Sudah, Mak. Biar Nita saja yang pergi ke sawah. Emak di rumah saja jaga si Adik. Kasihan dia." Beruntung, Marni masih punya anak yang baik dan berbakti. Sifat Nita dan Eni bagaikan langit dan bumi.
"Nita, sebaiknya kamu saja yang di rumah. Emak tidak tega melihat kamu harus panas-panasan. Ini itu tugas, Emak," ucap Marni.
"Emak ini bicara apa? Nita ini sudah besar dan baru ini yang bisa Nita bisa. Ijinkan Nita untuk berbakti, walau ini tidak akan bisa untuk membayar semua pengorbanan Emak sama Bapak." Mendengar ucapan putri keduanya, Marni hanya bisa berkaca-kaca.
"Sepanjang jalan menuju sawah. Nita sangat merasa sedih, tidak tega rasanya melihat orang tua dan Adik-adik harus puasa di hari itu.
'Ya Allah. Mudahkan semua urusan kami. Mudahkanlah rezeki kami. Beri waktu hamba agar bisa berbakti kepada orang tua dan bisa membuat Adik-adik bahagia'
Cuaca yang panas, tidak menjadikan Nita menyerah. Semangat yang sungguh luar biasa. Disaat anak-anak lain sebayanya tengah menikmati masa remaja dengan bermain. Nita sibuk mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak heran kalau banyak orang yang salut dan bangga dengan kegigihan gadis remaja itu.
"Nita, wajah kamu pucat. Apa kamu sudah makan?" tanya Juragan Permadi pemilik sawah yang sedang di panen.
"Sudah Juragan. Mungkin karena panas saja," jawab Nita. Ia terpaksa berbohong demi harga diri orang tuanya. Ia tidak ingin kalau ada orang yang merendahkan orang tuanya.
"Kamu sudah dapat banyak. Sudah istirahatlah. Kebetulan istri saya bawa makanan banyak," ujar Juragan Permadi. Tampaknya ia tahu kalau Nita sebetulnya belum makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Amelia
👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
2024-08-22
0
Lembayung jingga🥀🍃
aku gedek sm Eni bikin emosi aja. sampe segitunya dia sama orang tuanya tega banget ih
2023-09-02
0
Zahra Putri Mandala
mmpir kak,🤗
2023-07-27
0