Eni. Seorang gadis cantik yang punya cinta-cita ingin menjadi orang kaya. Bahkan Eni yang lahir di tengah keluarga miskin. Merasa malu untuk mengakui orang tuanya. Ayahnya yang bernama Abas, berprofesi sebagai tukang becak, sementara Marni, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga dengan merawat tujuh anak yang lima diantaranya masih sangat kecil-kecil.
Rumah panggung yang kecil dan sederhana, berdinding bambu. Menjadi harta satu-satunya Abas dan Marni. Eni yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Sepertinya masih tidak terima dengan keadaan orang tuanya. Ia sering berkata seolah menyalahkan keadaan, kenapa harus dilahirkan menjadi anak orang miskin. Eni sangat iri melihat kawan sebayanya yang selalu punya apa yang diinginkan.
Sifat sombong dan angkuh. Membuat yang dimiliki Eni, membuat dirinya tidak punya teman. Anak-anak sebayanya selalu menjauh karena tidak suka dengan kelakuan Eni yang kasar kepada orang tuanya dan selalu saja menuntut, agar orang tuanya memberikan semua yang ia inginkan.
Suatu hari. Eni yang tengah berjalan sendiri, tiba-tiba bertemu dengan seorang pemuda tampan dan ramah. Pemuda itu tampaknya sedang mencari alamat seseorang
Melihat ada pemuda tampan di depannya, dengan pura-pura tidak memperhatikan, Eni berlenggak lenggok bak seorang model di atas catwalk. Pemuda itu menatap ke arah Eni, sepertinya ingin bertanya sesuatu.
"Maaf Mbak. Boleh saya bertanya?" tanya si pemuda.
Eni menghentikan langkahnya. Memasang raut wajah cuek dan sok jual mahal, ia menjawab.
"Iya. Mau tanya apa, ya?" Suara Eni di merdu-merkan, sudah mau menyaingi suara artis papan atas.
"Mbak tau rumahnya Pak Madi? Dia Paman saya, dulu pernah ke sini waktu kecil, tapi lupa lagi," imbuh pemuda itu.
"Oh, yang polisi itu, ya?" Eni balik bertanya.
"Iya betul." Pemuda itu tampak senang karena bertanya kepada orang yang tepat.
"Tau, Mas. Kebetulan masih saudara saya," jawab Eni mengaku-ngaku.
"Wah, kebetulan dong kalau begitu saya bertanya kepada orang yang tepat. Kenalin, nama saya Randy." Pemuda itu menyodorkan tangannya.
"Melisa." Eni menyambut uluran tangan pemuda yang mengaku bernama Rendy.
"Nama yang cantik, sesuai orangnya," ucap Rendy sambil tersenyum.
"Terimakasih." Kalau tidak malu, rasanya ingin loncat-loncat saking bahagia mendapat pujian dari pemuda itu.
"Mas lurus saja. Nanti paling ujung sebelum rumah terakhir ada rumah yang di gerbang tinggi. Itu rumahnya Om Madi." Eni menyebut dengan panggilan Om kepada Madi, orang yang tengah dicari pemuda itu.
"Kalau begitu, kita ke sana sama-sama saja," ajak Randy.
"Aduh maaf, Mas. Saya sudah ada janji mau jalan sama teman." Eni menolak ajakan Randy.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kalau boleh saya minta nomor ponsel kamu."
Tentu saja dengan senang hati, Eni memberikan nomor teleponnya kepada Randy.
Akhirnya Randy pamit untuk melanjutkan perjalanan mencari rumah saudaranya. Sementara Eni, ia gegas pulang karena takut kalau pemuda itu tau siapa dirinya sebenarnya.
"Eni, kamu dari mana saja? Pergi dari pagi, bukannya bantuin Emak. Lihat tu cucian masih menumpuk, Adik kamu kan sedang sakit, coba belajar nyuci, kamu itu sudah besar," cecar Marni, sedikit kesal karena Eni tidak pernah mau peduli dengan keadaan di rumah. Tiap hari hanya kuyuran.
"Aduh, berisik amat sih. Siapa juga suruh punya anak banyak. Sudah tau hidup susah, bikin anak terus! Males ah, aku lapar mau makan." Eni melewati Marni yang berdiri di depan pintu.
"Astaghfirullah, Eni! Kamu itu bicara tidak ada sopan santunnya sama orang tua." Marni mengusap dada yang selalu saja terasa sesak saat bicara sama putrinya itu.
"Sopan santun apaan. Emak sadar tidak! Bagaimana aku bisa sopan santun. Emang kalian sekolahin aku? Aku sekolah saja hanya tamas sekolah dasar! Makanya mikir jadi orang tua," Eni mendelik
"Kakak ! Kok gitu sih bicara sama orang tua. Kalau Kakak tidak mau bantu, tidak masalah. Aku juga bisa." Nita anak kedua yang usianya hanya selisih dua tahun dari Eni, ikut nimbrung.
"Sudah Nita. Kamu kan capek baru pulang nyari kayu bakar. Mending kamu mandi dulu habis itu makan." Marni mererai takut terjadi keributan antara Eni dan Nita.
"Nah tuh, udah suruh si Nita saja ngerjain semuanya. Dia kan anak berbakti. Heh! Jangan lupa cuci bajuku juga ya." Eni ngeloyor masuk dapur dan makan dengan lahap. Selesai makan ia gegas masuk kamar dan tidur tanpa merasa bersalah.
Sementara pemuda yang bernama Randy, setelah berhasil menemukan rumah saudaranya dan disambut dengan bahagia oleh pemilik rumah.
"Kamu datang kenapa tidak ngasih kabar dulu sama Om, Ran?" ujar seorang lelaki yang ternyata dia yang bernama Madi, orang terkaya di kampung itu.
"Maaf Om. Nomor Om tidak sengaja terhapus karena Randy ganti ponsel," jawab Randy.
"Untuk kamu masih ingat rumah ini, padahal sudah lama banget kamu tidak datang kemari," imbuh Madi.
"Justru itu Om. Tadi Randy sempat kebingungan. Untung tadi tidak sengaja bertemu dengan saudara Om juga dan dia yang ngasih alamat ini," jawab Randy.
"Saudara Om, siapa?" Madi tampak heran.
"Kalau tidak salah, namanya, Melisa," jawab Randy.
"Loh, memang Melisa sudah pulang ya? Kok dia tidak datang kemari." Madi tampak kaget begitu mendengar nama itu.
"Mamangnya pulang dari mana, Om?" Randy penasaran.
"Dia kan kuliah di Jogja. Biasanya kalau pulang dia suka langsung datang berkunjung ke sini," terang Madi.
'Oh dia masih kuliah. Sudah cantik, cerdas juga kayaknya tu anak. Semoga aja bisa bertemu lagi' Randy senyum-senyum sendiri membayangkan wajah Eni yang mengaku bernama Melisa.
Malam itu Randy bermalam di rumah Madi karena dilarang pulang. Selain sudah sore, Madi juga masih sangat rindu kepada keponakannya itu. Sementara gadis yang disebut Melisa, ia keponakan Dari Hana istri Madi.
Entah mengapa? Wajah Eni selalu saja menari dalam ingatan Randy, apalagi setelah mendengar keterangan dari Madi, kalau Melisa adalah anak kuliahan dan masih ada ikatan saudara dengan istrinya Madi yang terkenal keturunan kaya raya.
'Sepertinya tidak akan jadi masalah kalau aku mengenal dia. Mama sama Papa pasti setuju karena Melisa bukan orang biasa' batin Randy.
Randy memang bukanlah orang yang suka menilai orang dari seratus sosial, tapi kedua orangnya sudah mewanti-wanti. Kalau dirinya harus menjadi calon istri dari keturunan kaya raya dan terpandang.
Randy merogoh ponsel dari kantong celana pendeknya dan mencari nomor Eni yang dikira Melisa itu.
[Assalamualaikum. Hay Lis, lagi apa?]
Sebuah pesan dikirim ke nomor Eni.
Cukup lama Randy menunggu balasan dari Eni, yang sengaja tidak langsung membuka pesan itu. Biar orang kampung tapi Eni cukup cerdik. Walau hatinya sangat bahagia menerima pesan dari Randy, namun ia sengaja sok jual mahal.
[Wa'alaikum salam. Aku lagi di rumah]
Akhirnya pesan yang tunggu masuk.
[Aku juga menginap di rumah Om, ni. Tadi aku bilang sama Om, kalau kamu yang bantu aku tadi]
Cukup panjang Randy mengirim pesan kedua kepada Eni.
[Oh ya. Memang Om ngomong apa?]
Eni sedikit kaget, ia sedikit takut kalau kalau kebohongannya akan terbongkar.
[Om bilang, kamu tumben pulang tidak berkunjung ke rumah Om]
Randy menyampaikan apa yang diucapkan oleh Madi
[Oh gitu. Iya ni. Aku juga pulang sebentar kok. Ada urusan penting]
Eni memang sangat pandai berbohong.
[Besok aku mau kembali ke kota. Boleh tidak kalau aku mau bertemu kamu]
Bagaikan sejuta bintang bagi Eni. Dalam sejarah hidupnya, baru kali ini ada pemuda kaya yang mau melirik dan mengajak dirinya ketemuan. Pemuda yang ada di kampung itu tidak satupun yang mau dekat dengannya. Bukan karena Eni anak orang miskin, tapi kelakuannya yang membuat orang enggan untuk kenal lebih dekat.
[Boleh, tapi kita ketemu di luar aja, ya?]
[Boleh. Kalau gitu besok aku tunggu di tempat kemarin, ya]
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Eni sudah bersiap-siap dengan baju yang terbagus. Dengan wajah bahagia ia menunggu kabar dari Randy.
"Eni, tolong jaga si Adik, ya. Emak mau ikut manen. Nita mau bantuin Emak, siapa tau bisa pulang masih siang. Hari ini kita belum ada beras buat makan," ucap Marni
"Apaan sih, Mak. Udah tau aku mau keluar. Udah, Emak bawa saja dia ke sawah," jawab Eni tanpa menoleh.
"Masalahnya, si Adik lagi demam, Eni. Kasihan kalau di bawa." Marni mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang halus.
"Emak ini manja amat jadi orang tua. Kenapa tidak sendiri aja sih? Biar si Nita jaga si Adik." Eni tetap bersih keras mau pergi.
"Astaghfirullah Eni. Kok kamu tidak ada mau nantinya sama sekali, sih? Kamu itu keterlaluan." Marni mulai habis kesabaran.
"Berisik amat sih. Makin gak betah saja aku ada di rumah, sudah seperti neraka saja." Eni menghentakkan kaki dan gegas ke luar, pergi tanpa menoleh lagi.
"Astaghfirullah." Marni kembali harus mengusap dada sambil beristighfar. Lagi-lagi Eni membuat ibunya kecewa dan sedih.
"Sudah, Mak. Biar Nita saja yang pergi ke sawah. Emak di rumah saja jaga si Adik. Kasihan dia." Beruntung, Marni masih punya anak yang baik dan berbakti. Sifat Nita dan Eni bagaikan langit dan bumi.
"Nita, sebaiknya kamu saja yang di rumah. Emak tidak tega melihat kamu harus panas-panasan. Ini itu tugas, Emak," ucap Marni.
"Emak ini bicara apa? Nita ini sudah besar dan baru ini yang bisa Nita bisa. Ijinkan Nita untuk berbakti, walau ini tidak akan bisa untuk membayar semua pengorbanan Emak sama Bapak." Mendengar ucapan putri keduanya, Marni hanya bisa berkaca-kaca.
"Sepanjang jalan menuju sawah. Nita sangat merasa sedih, tidak tega rasanya melihat orang tua dan Adik-adik harus puasa di hari itu.
'Ya Allah. Mudahkan semua urusan kami. Mudahkanlah rezeki kami. Beri waktu hamba agar bisa berbakti kepada orang tua dan bisa membuat Adik-adik bahagia'
Cuaca yang panas, tidak menjadikan Nita menyerah. Semangat yang sungguh luar biasa. Disaat anak-anak lain sebayanya tengah menikmati masa remaja dengan bermain. Nita sibuk mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak heran kalau banyak orang yang salut dan bangga dengan kegigihan gadis remaja itu.
"Nita, wajah kamu pucat. Apa kamu sudah makan?" tanya Juragan Permadi pemilik sawah yang sedang di panen.
"Sudah Juragan. Mungkin karena panas saja," jawab Nita. Ia terpaksa berbohong demi harga diri orang tuanya. Ia tidak ingin kalau ada orang yang merendahkan orang tuanya.
"Kamu sudah dapat banyak. Sudah istirahatlah. Kebetulan istri saya bawa makanan banyak," ujar Juragan Permadi. Tampaknya ia tahu kalau Nita sebetulnya belum makan.
Nita yang sebetulnya sudah sangat letih dan lemas, akhirnya berhenti bekerja dan segera mengangkut hasil panennya ke gubug yang sengaja disediakan buat para pekerja untuk beristirahat.
Juragan Permadi memberi isyarat kepada istrinya agar memberikan Nita makan. Bersyukur mereka adalah orang kaya yang dermawan dan sangat peduli dengan orang lain terutama kepada orang-orang yang bekerja di tempatnya.
"Nita, ayo sini. Kebetulan saya bawa makanan banyak, sayang kalau dibuang mending kita makan." Imas mengajak Nita untuk makan bareng dirinya.
"Tidak usah Juragan, saya sudah makan tadi di rumah," jawab Nita.
"Itukan di rumah, Nit. Di sini kan belum," sahut Imas sambil menuangkan makanan ke dalam sebuah piring dan diberikan kepada Nita.
Karena dipaksa, walau dengan malu-malu akhirnya Nita menerima makanan itu dan mulai makan dengan lahap. Namun tiba-tiba ia teringat kepada adik dan ibunya yang pastinya belum dapat makan dari pagi. Rasanya Nita tidak sanggup lagi untuk memasukan makanan itu kedalam mulutnya.
"Nita, kok berhenti. Makanannya tidak enak ya?" tanya Imas.
"Maaf juragan. Apa boleh saya membungkus makanan ini. Saya sudah kenyang, makanannya enak banget. Di rumah adik saya sedang sakit, dia paling suka banget makanan yang dibawa dari sawah," ujar Nita.
Seketika dada Imas terasa sesak. Tidak menyangka, gadis polos yang usianya baru belasan itu, memiliki hati yang sangat baik. Selama ini di rumahnya banyak makanan yang terbuang, sementara masih ada tetangga yang ternyata untuk makan saja sangat kesulitan.
"Jadi Adik kamu lagi sakit? Pantas Ibu kamu tidak datang. Sekarang kamu habiskan makanan itu. Buat Adik kamu nanti saya ambilkan dari rumah," ujar Imas.
"Tidak usah Juragan. Ini juga sudah cukup." Nita menolak.
"Pokoknya kamu habiskan itu. Nanti saya suruh orang untuk mengantar makanan ke rumah buat Adik kamu.
Tidak terasa air mata Nita menetes dengan tidak tertahan. Ia sangat bersyukur punya majikan yang sangat baik dan peduli. Nasi yang bercampur air mata itu akhirnya habis.
"Nita, kenapa kamu menangis. Ada masalah apa, Nit?" Imas mendekati dan mengusap punggung Nita.
"Juragan. Anda adalah orang yang sangat baik. Terimakasih selama ini sudah banyak membantu kami. Semoga Juragan dan keluarga selalu diberikan rezeki yang berlimpah dan kesehatan." Suara Nita putus-putus akibat menahan tangis agar tidak pecah.
"Bukan, Nita. Kamulah orang yang sangat baik. Saya yang sudah setua ini. Belum tentu bisa seperti kamu. Sekarang bereskan semua hasil panen kamu dan pulang. Besok pagi datanglah ke rumah. Kamu tidak usah lagi kerja di sawah dan ladang. Saya akan tugaskan kamu untuk bekerja di toko saya."
"Apa juragan. Bekerja di toko? Tapi saya ini tidak bisa bekerja di toko."
"Sudah, pokonya besok pagi kamu datang ke rumah."
Akhirnya selesai makan, Nita gegas menyelesaikan pekerjaannya dan pulang dengan membawa sebagian hasil panen sebagai upah.
Saat tiba di rumah. Tampak adik-adiknya tengah berkumpul sambil menikmati makanan yang cukup banyak. Melihat putrinya pulang, Marni gegas menyambutnya dan mengatakan kalau ada utusan Juragan Permadi dan istrinya mengantar makanan.
Nita Pun menceritakan apa tadi yang terjadi saat di sawah. Ia meminta maaf kepada ibunya, bahwa dirinya tidak ada maksud untuk mengumbar kekurangan keluarganya dan mempermalukan ibunya.
"Tidak Nak. Kamu tidak salah. Kamu adalah anak yang sangat baik, jadi sudah sepantasnya kamu mendapatkan balasan dengan kebaikan." Marni memeluk putrinya itu.
Sementara Eni yang pergi untuk menemui pemuda itu. Randy mengajak Eni untuk pergi ke sebuah tempat yang biasa dijadikan tempat untuk ngobrol dengan tenang. Tentu saja Eni sangat senang bisa berduaan dengan pemuda tampan dan kaya dan menaiki mobil mewah. Karena menjadi orang kaya adalah impian terbesarnya.
"Melisa. Tadi aku lihat kamu berjalan kaki. Memang mobil kamu ke mana?" tanya Randy
Karena tidak mungkin kalau Melisa tidak punya mobil.
"Anu, mobil aku--mobil aku ada di rumah," jawab Eni yang mengaku bernama Melisa.
"Selain cantik, kamu itu sangat rendah hati, ya. Aku sangat suka dengan gadis yang lembut dan sederhana," puji Randy.
"Ah kamu bisa saja. Aku hanya ingin menikmati suasana pedesaan saja," jawab Melisa dengan wajah bahagia di sanjung oleh pemuda setampan dan sekaya Randy. Bukannya merasa malu malah semakin besar kepala.
"Ngomong-ngomong, gimana kuliah kamu, sudah semester berapa?" imbuh Randy.
Ditanya seperti itu, Eni mendadak bingung. Apa yang harus dijawab. Untuk menghindari kecurigaan, Eni mengalihkan obrolan dan berdalih kalau dirinya lagi tidak ingin membicarakan hal itu.
"Aduh, kamu ini masih aja bertanya hal tentang kuliah. Udah kita bicara yang lain saja. Aku bosen tiap hari menghadapi masalah kuliah dan kuliah," kilah Eni.
"Oh iya ya. Ngapain ngomongin itu. Lis, apa kamu sudah punya pacar?" Sungguh tidak menduga kalau Randy akan bertanya hal itu dan secepat itu.
"Pacar? Belum, kok. Mana ada waktu untuk pacaran sih," jawab Eni.
"Kalau kamu jadi pacar aku, mau tidak? Aku tidak memaksa kamu. Jujur aku sangat tertarik dengan wanita seperti kamu. Walau terlahir dari keluarga kaya raya, tapi kamu sangat rendah hati dan sederhana. Bukan gadis yang hobinya berpoya-poya dengan uang orang tua." Randy tidak henti-hentinya memuji Eni.
"Aku hanya ingin belajar mandiri saja. Aku tidak ingin seperti yang lain yang kerjanya menghabiskan uang orang tuanya." Eni memang sangat pandai membuat cerita.
Randy semakin tertarik dan jatuh hati kepada gadis itu yang dianggapnya sangat luar biasa. Selama ini kebanyakan gadis yang mendekatinya dia yang ingin uangnya saja.
"Lis. Bagaimana jawaban kamu? Kalau kamu bersedia, liburan depan aku lamar kamu," ujar Randy.
"Ya Ren, aku mau kok jadi pacar kamu. Tapi jangan bicara soal lamaran dulu deh. Kita jalani aja. Aku harus cari kerja dulu untuk biaya kuliah. Karena aku tidak mau harus meminta dari orang tua," ucap Eni, ia mulai memasang prangkap
"Lho memangnya kenapa?" Randy menatap wajah Eni.
"Mungkin menurut orang, keluargaku memang kaya raya. Tapi orang tidak ada yang tau bagaimana kerasnya aturan dalam keluargaku. Kami dituntut untuk mencari dan membiayai kuliah sendiri. Kalau tidak kami pinjam dan setelah itu harus bekerja untuk mengembalikan uang tersebut. Aku tidak mau meminjam, karena nantinya, tidak akan bisa bebas untuk menentukan hidupku." Mendengar hal itu Randy sampai tercengang. Ia tidak menyangka, di balik pujian orang-orang tentang keluarga itu, terselip aturan yang sangat mengejutkan.
"Masa iya sampai segitunya sih, Lis? Pantas saja, kamu berbeda dari orang kaya lainnya. Penampilan kamu sangat sederhana. Lis, jangan khawatir. Biar aku yang bantu semua itu." Hati Randy merasa sangat tersentuh.
"Tidak usah Ran, aku tidak ingin merepotkan siapapun. Aku sudah terbiasa kok, hidup dan berjuang sendiri." Eni memang sangat pandai membuat Randy semakin jatuh hati.
"Lis, tolong jangan menolak. Mulai sekarang, aku yang akan membantu semuanya. Kamu fokus saja kuliah agar lulus dan menjadi istriku. Ini kamu pegang." Randy mengambil dompet dari tas kecilnya dan memberikan sebuah kartu ATM lengkap dengan menyebutkan nomor PIN nya.
"Di dalam ini. Ada uang sebanyak dua puluh juta. Kamu pakai untuk biaya kuliah juga kebutuhan kamu di Jogja. Nanti setiap bulannya aku akan kirim kamu uang." Rendy meletakan kartu itu di atas telapak tangan Eni.
"Ren jangan. Aku tidak enak kalau kaya gini." Eni memaksa mengembalikan kartu itu kepada Randy
"Kalau kamu menolak ini. Itu berarti kamu menolak aku." Wajah Randy menunjukan rasa kecewa, dan itu juga yang diharapkan oleh Eni. Randy memaksa dirinya agar menerima kartu ATM itu
"Baiklah Ran. Aku terima ini. Terimakasih, semoga aku bisa menjadi seseorang sesuai harapan kamu." Eni mengambil kartu itu.
Dalam hatinya bersorak dan sudah tidak sabar rasanya ingin segera menarik uang sebanyak dua puluh juta. Sudah terbayang, apa saja yang akan ia beli dengan uang itu.
'Dengan uang ini. Aku akan pindah dan menyewa rumah di kota. Aku sudah tidak sanggup tinggal di gubuk reyot itu' batin Eni.
"Lis, kok melamun." Randy menepuk pundak Eni.
"Oh, iya. Maaf aku bingung, harus dengan cara apa mengucapkan terimakasih kepada kamu." Eni berbohong.
"Kamu ini ngomong apa sih? Udah, yang penting kamu jangan pikirin itu. Wajar dong, aku membantu calon istri aku." Rendy mengusap wajah putih Eni dengan lembut.
Tidak terasa, waktu sudah semakin siang. Randy teringat pesan ibunya harus pulang cepat, karena sorenya akan ada rapat di kantor untuk pengangkatan dirinya menggantikan posisi ayahnya sebagai seorang Manajer di perusahaan.
"Lis, aku pulang dulu, ya. Sore ini akan ada rapat di kantor untuk pengangkatan aku menggantikan posisi Ayah sebagai Manajer di perusahaan. Walau sebenarnya aku tidak tertarik tapi mau gimana lagi. Aku anak tunggal di keluarga itu." Mendengar itu, Ena kembali membayangkan, segimana kaya rayanya Randy.
Lamunannya langsung terbang, andai saja ia bisa menjadi istri Randy. Mungkin dirinya akan sangat dihargai dan dihormati orang lain. Ia tidak akan lagi menginjakan kakinya di kampung itu.
"Baiklah Ran. Kamu hati-hati, ya. Besok aku berangkat lagi ke Jogja. Nanti aku kabarin kamu kalau mau berangkat," tutur Eni.
"Iya sayang. Kamu hati-hati di sana. Jangan nakal, ya." Randy mengusap rambut Eni yang panjang dan hitam.
Sungguh Eni gadis yang sempurna menurut Randy, membuat dirinya ingin segera melamar dan menjadikan Eni sebagai istrinya.
Randy kembali mengantar Eni sampai jalan yang sama saat mereka awal bertemu. Setelah Randy pergi. Eni tidak jadi pulang ke rumah, ia gegas mencari ojek untuk bisa mengantarnya ke kota. Tidak sabar untuk segera belanja.
Sesampainya di depan sebuah mesin ATM. Eni malah terdiam kebingungan, karena seumur hidup belum sekalipun ia mengambil uang dari tempat seperti itu. Untung ada seorang sekuriti yang menjaga tempat itu. Eni gegas memanggilnya dan meminta bantuan untuk membantunya menarik yang dari ATM tersebut.
Setelah diajarin dan menarik uang sebanyak lima juta. Eni memberikan upah dua lembar uang peecahan seratus ribu kepada sekuriti tersebut.
"Terimakasih Nona. Lain kali kalau butuh bantuan tinggal cari saya saja," ucap sekuriti tersebut.
Selesai mengambil uang, Eni gegas mencari toko yang menurutnya cocok dan komplit. Dengan sombongnya, Eni belanja barang-barang yang selama ini selalu ia impikan. Selesai Belanda pakaian, tas dan barang lainnya. Eni mencari kosan. Tidaklah sulit mencari kosan di jaman sekarang. Eni dengan mencari yang agak bagus dan mahal. Agar dirinya tidak lagi membawa barang karena semuanya sudah tersedia lengkap, dari mulai tempat tidur, lemari dan yang lainnya.
"Akhirnya, aku bisa menikmati hidup yang lumayan enak dan nyaman. Randy, Randy. Kamu boleh kaya. Tapi b**oh. Bisa-bisanya kamu masuk dalam perangkapku." Eni tertawa penuh kemenangan, merasa bangga dengan dirinya yang menurutnya sangat cerdas.
Sudah dua hari Eni tidak pulang ke rumah. Marni sangat khawatir, takut anaknya berbuat hal yang aneh.
"Nita coba kamu telepon, Kakakmu. Tanyakan dia ada di mana."
"Sudah, Bu. Tapi selalu ditolak. Pesan Nita juga tidak ada yang dibalas," jawab Nita.
"Kemana sih, anak itu. Selalu saja bikin orang tua khawatir." Marni sangat gelisah. Biarpun Eni selalu buat susah, tapi sebagai seorang ibu, Marni selalu saja merasa khawatir.
"Sudah, Ibu tenang saja. Nanti juga pasti pulang. Hari ini Nita mulai kerja di rumahnya juragan Permadi. Nanti pulang kalau belum ada kabar, Nita coba cari Kak Eni," ujar Nita
"Ya sudah, kamu hati-hati. Pandai-pandailah menitipkan diri kepada orang baik," ucap Marni.
Setelah berpamitan kepada ibunya, Nita gegas pergi menuju rumah juragan Permadi untuk memulai hari kerjanya sebagai penjaga toko milik juragan itu.
Baik Juragan Permadi maupun Imas istrinya. Sangat puas dengan hasil kerja Nita. Tidak salah kalau mereka semakin sayang dan percaya kepadanya.
Sepulang dari tempat kerjanya yang baru. Nita mendapatkan kabar kalau Kakaknya belum juga pulang. Walau tubuhnya masih terasa capek, gadis itu tidak tega melihat tangis ibunya yang tengah khawatir dengan keadaan Eni sekarang yang sudah mau masuk malam ketiga pergi dari rumah.
"Kemana Kak Eni pergi, sih? Apa salahnya kalau ngasih kabar," umpat Nita sambil terus berjalan menuju jalan raya.
"Nita. Kamu mau ke mana, Nak," panggil seseorang dari atas sepeda motor, yang ternyata itu Abas ayahnya yang baru saja pulang kerja.
Hampir tiga bulan Abas pergi untuk bekerja menjadi kuli bangunan di kota. Tubuhnya yang kurus dan hitam, terlihat kerutan di wajahnya. Terlalu berat beban yang harus dipikul sehingga kondisi tubuhnya terlihat lebih tua dari usianya.
"Ayah sudah pulang?" Nita gegas menghampiri ayahnya. Rasa rindu seorang anak terhadap ayah. Walaupun Nita lebih dewasa dalam berpikir, tapi sifat manjanya tidak bisa hilang pada saat bersama ayahnya.
"Kamu mau kemana? Kok jalan sendirian. Ini sudah sore, Nak." Abas mengulangi pertanyaan yang belum sempat Nita jawab.
"Anu Ayah. Kak Eni …." Nita tidak berani untuk melanjutkan ucapannya. Tidak tega rasanya harus menyambut ayahnya dengan berita yang kurang baik.
"Eni kenapa? Dia buat ulah lagi?" tanya Abas penasaran.
"Iya Ayah. Kak Eni pergi dari rumah sudah hampir tiga hari tiga malam tidak pulang." Nita tidak bisa lagi harus menutupi kejadian yang sebenarnya.
"Astaghfirullah. Eni, Eni. Kenapa anak itu tidak mau berubah. Sini biar ayah yang telepon dia." Abas menyalin nomor Eni dari ponsel Nita.
Eni memang tidak pernah ngasih kalau diminta nomor ponsel. Selalu bertanya buat apa dan itu tidak penting, jika Abas meminta nomornya. Setelah itu, Abas mengakak Nita untuk pulang kembali.
"Ayo Nit, kita pulang. Biar nanti di rumah saja kita telepon Eni," ajak Abas
Marni dan juga Adik-adiknya Nita sangat senang melihat ayahnya pulang. Namun saat Marni melihat Nita pulang tanpa membawa serta Eni, rasa khawatirnya muncul lagi.
"Nit, mana Kakakmu?" tanya Marni sambil menatap ke arah Nita.
"Tidak tau Ibu. Nita belum bisa mendapatkan kabar tentang, Kakak," jawab Nita dengan raut wajah takut dan merasa tidak berguna di hadapan ibunya.
"Marni. Jangan salahkan Nita. Dia sudah berusaha. Ini itu sudah sore. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?" Abas kurang setuju dengan cara Marni yang memberatkan Nita.
"Lalu bagaimana dengan Eni, Yah. Saya takut dia kenapa-napa." Marni tetap saja merasa khawatir
"Sudah, biar ayah telepon dia." Abas merogoh ponsel di kantong baju depan.
Setelah berapa kali panggilan, akhirnya Eni mengangkat telepon Abas.
*Halau, dengan siapa?*
"Eni ini ayah. Kamu dimana?"
*Aduh Ayah! Buat apa sih ganggu Eni*
"Kok kamu bilang begitu. Ibumu ini khawatir sama kamu. Cepat pulang."
*Tidak! Aku tidak mau pulang ke gubug reyot itu. Hidup Aku udah enak. Kecuali kalau kalian bisa memberikan apa yang aku mau*
"Eni! Kurang ajar sekali kamu. Dasar anak durhaka."
*Sudah Lah Ayah. Berisik. Aku sudah tidak butuh kalian. Anggap saja aku ini sudah mati. Aku sudah bosan hidup miskin*
Eni menutup teleponnya tanpa permisi. Abas mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Entah harus bagaimana lagi caranya menghadapi sifat putri sulungnya yang selalu saja melawan dan menyalahkan dirinya atas kondisi keluarganya.
"Kamu dengar sendiri kan, Mar. Eni sudah tidak mau lagi kembali ke rumah ini. Sekarang terserah kamu. Mau dicari silahkan, yang penting jangan pernah memberatkan Nita. Dia sudah terlanjur capek ikut menanggung yang seharusnya bukan jadi tanggung jawab dia." Abas sedikit kesal juga kepada istrinya yang terlalu memanjakan Eni sampai melupakan keselamatan anak yang lain.
"Iya Ayah. Ibu mengerti. Kenapa Eni bisa seperti itu perkataannya. Ini salah ibu yang selalu saja menuruti kemauannya dan tidak mendidiknya dengan baik." Akhirnya Marni merasa bersalah kepada Nita yang seolah diperlakukan tidak adil olehnya.
"Nita. Maafin Ibu, ya. Kamu pasti capek setelah bekerja seharian. Seharusnya ibu lebih bisa mengerti kamu," imbuh Marni.
"Apa Mar. Nita kerja?" Abas yang tidak tau kalau putri keduanya sudah bekerja di tempatnya Juragan Permadi. Merasa sedikit kaget dan tidak ikhlas rasanya. Anak seusia Nita harus dipaksa dewasa oleh keadaan.
"Iya Ayah. Nita bekerja di rumahnya juragan Permadi. Dia baik banget. Kerjaannya juga tidak berat, kok Yah. Hanya jagain toko," ujar Nita.
"Tapi kamu itu masih kecil, Nita." Abas tetap merasa tidak tega
Namun itulah Nita. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat kalau untuk satu kebaikan. Ia rela mengorbankan masa remajanya Demi bekti nya kepada kedua orang tua dan rasa sayang juga tanggung jawab kepada adik-adiknya.
Sudah hampir satu bulan Nita bekerja di tokonya juragan Permadi. Sampai suatu ketika, Nita dipanggil oleh Juragan Permadi dan Istrinya. Jantung Nita tidak karuan, seribu pertanyaan dalam benaknya. Takut ia sudah berbuat salah yang tidak disadari dan mengecewakan majikannya yang sudah sangat baik dengan memberinya pekerjaan.
"Juragan memanggil saya?" tanya Nita berdiri dengan kepala menunduk.
"Iya Nit. Sini masuk," jawab Imas meminta Nita untuk duduk di sampingnya.
"Mohon maaf, juragan. Apakah ada kesalahan yang diperbuat oleh saya?"
Mendengar pertanyaan Nita, baik juragan Permadi maupun Imas terkekeh. Mereka merasa lucu dengan tingkah Nita yang tampak ketakutan.
"Nita, Nita. Kenapa kamu berpikir kalau kamu ada salah? Memang tidak boleh saya memanggil pegawainya sendiri dan ingin ngobrol?" ujar Imas sambil menepuk paha Nita.
"Tentu saja boleh, juragan. Saya hanya takut saja, kalau saya ada salah dan tidak saya sadari." Nita sedikit lega setelah mendengar penjelasan dari Imas, walau ia belum tau apa tujuan dirinya dipanggil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!