Pergi Dari Rumah

"Akhirnya, aku bisa menikmati hidup yang lumayan enak dan nyaman. Randy, Randy. Kamu boleh kaya. Tapi b**oh. Bisa-bisanya kamu masuk dalam perangkapku." Eni tertawa penuh kemenangan, merasa bangga dengan dirinya yang menurutnya sangat cerdas.

Sudah dua hari Eni tidak pulang ke rumah. Marni sangat khawatir, takut anaknya berbuat hal yang aneh.

"Nita coba kamu telepon, Kakakmu. Tanyakan dia ada di mana."

"Sudah, Bu. Tapi selalu ditolak. Pesan Nita juga tidak ada yang dibalas," jawab Nita.

"Kemana sih, anak itu. Selalu saja bikin orang tua khawatir." Marni sangat gelisah. Biarpun Eni selalu buat susah, tapi sebagai seorang ibu, Marni selalu saja merasa khawatir.

"Sudah, Ibu tenang saja. Nanti juga pasti pulang. Hari ini Nita mulai kerja di rumahnya juragan Permadi. Nanti pulang kalau belum ada kabar, Nita coba cari Kak Eni," ujar Nita

"Ya sudah, kamu hati-hati. Pandai-pandailah menitipkan diri kepada orang baik," ucap Marni.

Setelah berpamitan kepada ibunya, Nita gegas pergi menuju rumah juragan Permadi untuk memulai hari kerjanya sebagai penjaga toko milik juragan itu.

Baik Juragan Permadi maupun Imas istrinya. Sangat puas dengan hasil kerja Nita. Tidak salah kalau mereka semakin sayang dan percaya kepadanya.

Sepulang dari tempat kerjanya yang baru. Nita mendapatkan kabar kalau Kakaknya belum juga pulang. Walau tubuhnya masih terasa capek, gadis itu tidak tega melihat tangis ibunya yang tengah khawatir dengan keadaan Eni sekarang yang sudah mau masuk malam ketiga pergi dari rumah.

"Kemana Kak Eni pergi, sih? Apa salahnya kalau ngasih kabar," umpat Nita sambil terus berjalan menuju jalan raya.

"Nita. Kamu mau ke mana, Nak," panggil seseorang dari atas sepeda motor, yang ternyata itu Abas ayahnya yang baru saja pulang kerja.

Hampir tiga bulan Abas pergi untuk bekerja menjadi kuli bangunan di kota. Tubuhnya yang kurus dan hitam, terlihat kerutan di wajahnya. Terlalu berat beban yang harus dipikul sehingga kondisi tubuhnya terlihat lebih tua dari usianya.

"Ayah sudah pulang?" Nita gegas menghampiri ayahnya. Rasa rindu seorang anak terhadap ayah. Walaupun Nita lebih dewasa dalam berpikir, tapi sifat manjanya tidak bisa hilang pada saat bersama ayahnya.

"Kamu mau kemana? Kok jalan sendirian. Ini sudah sore, Nak." Abas mengulangi pertanyaan yang belum sempat Nita jawab.

"Anu Ayah. Kak Eni …." Nita tidak berani untuk melanjutkan ucapannya. Tidak tega rasanya harus menyambut ayahnya dengan berita yang kurang baik.

"Eni kenapa? Dia buat ulah lagi?" tanya Abas penasaran.

"Iya Ayah. Kak Eni pergi dari rumah sudah hampir tiga hari tiga malam tidak pulang." Nita tidak bisa lagi harus menutupi kejadian yang sebenarnya.

"Astaghfirullah. Eni, Eni. Kenapa anak itu tidak mau berubah. Sini biar ayah yang telepon dia." Abas menyalin nomor Eni dari ponsel Nita.

Eni memang tidak pernah ngasih kalau diminta nomor ponsel. Selalu bertanya buat apa dan itu tidak penting, jika Abas meminta nomornya. Setelah itu, Abas mengakak Nita untuk pulang kembali.

"Ayo Nit, kita pulang. Biar nanti di rumah saja kita telepon Eni," ajak Abas

Marni dan juga Adik-adiknya Nita sangat senang melihat ayahnya pulang. Namun saat Marni melihat Nita pulang tanpa membawa serta Eni, rasa khawatirnya muncul lagi.

"Nit, mana Kakakmu?" tanya Marni sambil menatap ke arah Nita.

"Tidak tau Ibu. Nita belum bisa mendapatkan kabar tentang, Kakak," jawab Nita dengan raut wajah takut dan merasa tidak berguna di hadapan ibunya.

"Marni. Jangan salahkan Nita. Dia sudah berusaha. Ini itu sudah sore. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?" Abas kurang setuju dengan cara Marni yang memberatkan Nita.

"Lalu bagaimana dengan Eni, Yah. Saya takut dia kenapa-napa." Marni tetap saja merasa khawatir

"Sudah, biar ayah telepon dia." Abas merogoh ponsel di kantong baju depan.

Setelah berapa kali panggilan, akhirnya Eni mengangkat telepon Abas.

*Halau, dengan siapa?*

"Eni ini ayah. Kamu dimana?"

*Aduh Ayah! Buat apa sih ganggu Eni*

"Kok kamu bilang begitu. Ibumu ini khawatir sama kamu. Cepat pulang."

*Tidak! Aku tidak mau pulang ke gubug reyot itu. Hidup Aku udah enak. Kecuali kalau kalian bisa memberikan apa yang aku mau*

"Eni! Kurang ajar sekali kamu. Dasar anak durhaka."

*Sudah Lah Ayah. Berisik. Aku sudah tidak butuh kalian. Anggap saja aku ini sudah mati. Aku sudah bosan hidup miskin*

Eni menutup teleponnya tanpa permisi. Abas mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Entah harus bagaimana lagi caranya menghadapi sifat putri sulungnya yang selalu saja melawan dan menyalahkan dirinya atas kondisi keluarganya.

"Kamu dengar sendiri kan, Mar. Eni sudah tidak mau lagi kembali ke rumah ini. Sekarang terserah kamu. Mau dicari silahkan, yang penting jangan pernah memberatkan Nita. Dia sudah terlanjur capek ikut menanggung yang seharusnya bukan jadi tanggung jawab dia." Abas sedikit kesal juga kepada istrinya yang terlalu memanjakan Eni sampai melupakan keselamatan anak yang lain.

"Iya Ayah. Ibu mengerti. Kenapa Eni bisa seperti itu perkataannya. Ini salah ibu yang selalu saja menuruti kemauannya dan tidak mendidiknya dengan baik." Akhirnya Marni merasa bersalah kepada Nita yang seolah diperlakukan tidak adil olehnya.

"Nita. Maafin Ibu, ya. Kamu pasti capek setelah bekerja seharian. Seharusnya ibu lebih bisa mengerti kamu," imbuh Marni.

"Apa Mar. Nita kerja?" Abas yang tidak tau kalau putri keduanya sudah bekerja di tempatnya Juragan Permadi. Merasa sedikit kaget dan tidak ikhlas rasanya. Anak seusia Nita harus dipaksa dewasa oleh keadaan.

"Iya Ayah. Nita bekerja di rumahnya juragan Permadi. Dia baik banget. Kerjaannya juga tidak berat, kok Yah. Hanya jagain toko," ujar Nita.

"Tapi kamu itu masih kecil, Nita." Abas tetap merasa tidak tega

Namun itulah Nita. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat kalau untuk satu kebaikan. Ia rela mengorbankan masa remajanya Demi bekti nya kepada kedua orang tua dan rasa sayang juga tanggung jawab kepada adik-adiknya.

Sudah hampir satu bulan Nita bekerja di tokonya juragan Permadi. Sampai suatu ketika, Nita dipanggil oleh Juragan Permadi dan Istrinya. Jantung Nita tidak karuan, seribu pertanyaan dalam benaknya. Takut ia sudah berbuat salah yang tidak disadari dan mengecewakan majikannya yang sudah sangat baik dengan memberinya pekerjaan.

"Juragan memanggil saya?" tanya Nita berdiri dengan kepala menunduk.

"Iya Nit. Sini masuk," jawab Imas meminta Nita untuk duduk di sampingnya.

"Mohon maaf, juragan. Apakah ada kesalahan yang diperbuat oleh saya?"

Mendengar pertanyaan Nita, baik juragan Permadi maupun Imas terkekeh. Mereka merasa lucu dengan tingkah Nita yang tampak ketakutan.

"Nita, Nita. Kenapa kamu berpikir kalau kamu ada salah? Memang tidak boleh saya memanggil pegawainya sendiri dan ingin ngobrol?" ujar Imas sambil menepuk paha Nita.

"Tentu saja boleh, juragan. Saya hanya takut saja, kalau saya ada salah dan tidak saya sadari." Nita sedikit lega setelah mendengar penjelasan dari Imas, walau ia belum tau apa tujuan dirinya dipanggil.

Terpopuler

Comments

wiwin sumedang

wiwin sumedang

Eni ada ya manusia seperti dia

2023-07-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!