BAB 2. Kepergian Dan Kedatangan.

Semua kenangan menyakitkan itu tak pernah benar-benar pergi dari ingatan Zodi. Bahkan setelah satu tahun berlalu, semua pengalaman pahit itu tetap bertengger di dalam kepalanya. Tak jarang, ia bahkan sampai meneteskan airmata jika teringat semua itu.

Hal yang ia harapkan indah, ternyata tak seperti itu. Tapi ya sudah, ia tak bisa melakukan apapun untuk mengubah apa yang sudah terjadi.

Deringan ponsel di tangannya membuat fikiran Zodi teralihkan. Ia menatap ponsel. Sebuah nama ‘Papa’ tersemat menandakan identitas si pemanggil. Ia segera mengangkatnya.

“Iya, Pa?- oh, iya. Zodi kesana sekarang.”

Ya, sore ini, Zodi sedang menunggu kedatangan Jatmiko, sang ayah yang sejak lahir tak pernah di temuinya. Beberapa bulan yang lalu ia mengirim surat ke Madiun, alamat Kakek dan Neneknya dari pihak Ayah. Berbekal alamat yang di berikan oleh sang Ibu, Zodi memberanikan diri untuk mencari Ayahnya. Sebuah keberuntungan jika mereka semua belum pindah dari alamat lama. Hanya saja, Jatmiko sekarang sudah berada di Kalimantan. Ia  bekerja sebagai kepala sekolah di sana.

Dan satu bulan lalu, ayahnya itu menghubunginya. Dia berkata akan menemui Zodi hari ini. Karna itu Zodi menjemputnya di bandara sekarang.

Bertepatan dengan Jatmiko yang menghubunginya, saat itu, Zodi sedang sakit keras. Ia terkena campak di sekujur tubuh yang menyebabkan ia harus di rawat di rumah sakit. Dan pada saat sakit itu, ia mendapat kabar, kalau sang kakek telah meninggal dunia.

Sungguh sebuah pukulan yang sangat keras untuk Zodi. Terlebih, ia tak bisa pulang karna sakit. Hanya Pakde Ito saja yang pulang sementara istrinya tidak ikut karna harus menjaga Zodi.

Tapi, kehilanan itu segera terganti dengan kabar baik. Jatmiko menghubunginya. Sosok Ayah yang ia rindukan itu, telah menghubunginya.

Sebuah kehilangan telah di gantikan oleh pertemuan yang baru.

Jantung Zodi berdebar dengan tak beraturan. Ia berjalan menyusuri bandara untuk mencari sosok sang Ayah yang memang tak pernah di lihatnya. Selama ini, ia hanya mematri wajah Jatmiko yang ia lihat dari foto pernikahan Ayah dan Ibunya.

Kalau kalian beratnya apakah Zodi tidak membenci ayahnya? Tentu saja ia marah pada pria itu. Yang dengan tega meninggalkan ibunya tanpa sepatah katapun. Tanpa pamit, tanpa memberitahu. Hilang begitu saja.

Tapi, ia tidak bisa membencinya. Semakin ia membenci pria itu, maka akan tumbuh rasa rindu yang semakin menjadi pula.

Di foto, Jatmiko terlihat sangatlah tampan. Entah aslinya. Karna sudah 19  tahun waktu berlalu. Tidak mungkin tidak ada perubahan di wajah Jatmiko.

Sambil berjalan, Zodi sambil menelfon Jatmiko. Ia menghentiakn langkahnya saat ayahnya itu memberitahu kalau dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan ransel di punggungnya.

Jantung Zodi tak berhenti berdesir. Pertemuan pertamanya dengan sang Ayah itu membuatnya salah tingkah. Pandangannya tak henti-hentinya menatap sosok pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan sebuah ransel di punggungnya. Pria itu nampak sedang menelfon. Zodi yakin, kalau itu adalah ayahnya.

“Pa...” lirih Zodi di sebelah pria itu.

Pria itu berbalik. Menatapi Zodi penuh selidik dari kepala hingga kaki.

“Ini aku, Zodi.”

Jatmiko masih menatapi Zodi dengan tatapan menyelidik.

“Kamu bawa foto yang saya minta?” kalimat pertama yang terucap dari mulut Jatmiko begitu menyakiti perasaan Zodi.

Ia fikir, ia akan mendapatkan pelukan kerinduan dari ayahnya itu. Atau setidaknya sebuah pertanyaan mengenai kabarnya. Tapi, yang di tanyakan Jatmiko justru adalah bukti bahwa Zodi adalah anaknya.

Jantung Zodi seperti di remas oleh sesuatu yang tak telihat. Sakit, nyeri sekali rasanya.

Zodi segera mengambil selembar foto dari dalam tasnya. Foto pernikahan lasmi dan Jatmiko yang memang sejak dulu ia bawa. Ia menyerahkan foto itu kepada Jatmiko.

Jatmiko menerima foto itu kemudian memperhatikannya dengan seksama. Setelah puas melihati foto itu, ia mengalihkan tatapannya kepada Zodi. Kemudian, ia merengkuh tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya. Mengelus punggung dan kepala Zodi dengan lembut.

Ada sebuah kehangatan yang mengalir ke dalam perasaan Zodi. Pelukan itu, mampu membuka sebuah pintu cinta di hatinya. Cinta untuk cinta pertamanya.

“Kamu udah sebesar ini,” kalimat Jatmiko terdengar bergetar.

Sementara Zodi tak sanggup menjawabnya. Ia hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia terlalu bahagia hingga tak tau harus mengucap apa dari mulutnya. Ia tak tau apa yang bisa mewakili perasaan bahagia yang membuncah itu.

“Ayo, kita cari makan sambil ngobrol,” ajak Jatmiko lagi.

Zodi mengikuti ayahnya itu berjalan selangkah di belakangnya. Jatmiko menghentikan taksi dan meminta taksi untuk mengantarkan mereka ke sebuah restoran bebek goreng terkenal di Jogja.

Mereka makan dalam diam. Zodi masih merasa ada kecanggungan dalam hatinya. biar bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.

“Jadi selama ini kamu tinggal di rumah Pakde?”

“Enggak, Pa. Zodi ngekos di tempat kerja. Soalnya rumah Pakde jauh dari tempat kerja Zodi.”

“Selama ini kerja apa di sini?”

“Kerja di toko, Pa. Di Prambanan.”

“Zodi?” panggil Jatmiko. Ia membersihkan mulutnya dengan tisu setelah selesai makan.

“Ya, Pa?”

“Kamu mau kuliah, gak?”

Pertanyaan itu mampu membuat jantung Zodi semakin bergetar.

Kuliah?

Tentu saja dia mau.

Keinginan itu timbul setelah Zodi bertemu dengan teman SMA-nya yang sudah berkuliah di Jogja. Melihat temannya itu, nampak keren baginya. Namun waktu itu ia belum bertemu dengan ayahnya dan tidak punya cara untuk melanjutkan kuliah. Karna yang ia tau, kuliah  membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun ia punya sedikit tabungan hasil kerjanya selama ini, tapi Zodi rasa itu belumlah cukup untuk membiayai kuliahnya.

Perlahan, Zodi menganggukkan kepalanya. Ia merasa, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Udah daftar?”

Zodi  menggeleng.

“Rencana mau daftar dimana?”

“Zodi gak tau, Pa. Selama ini Zodi gak punya fikiran mau kuliah.” Jawab Zodi jujur.

“Ya sudah, nanti Papa uruskan daftar di UGM, mau?”

Dan lagi, Zodi langsung menganggukkan kepalanya.

“Tapi Papa punya syarat.”

“Syarat apa, Pa?” entah mengapa, mendengar kata ‘syarat’, membuat jantung Zodi berpacu dengan cepat.

“Kamu gak boleh ngekos sendirian. Papa mau, kamu tingal sama temen Papa. Nanti Papa belikan sepeda motor buat transportasi kamu. Gimana?”

Zodi bimbang. Ia merasa ayahnya terlalu otoriter bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tapi tak apa, mungkin maksud papanya baik.

“Terserah Papa aja.”

Dan setelah makan malam itu, mereka langsung bergerak menuju ke rumah teman yang di sebutkan Jatmiko tadi.

Sepanjang perjalanan, Zodi hanya diam saja di dalam taksi. Ia memilih memperhatikan jalanan. Namun, walupun matanya mengedar ke luar jendela, telinganya tetap fokus mendengarkan sang ayah yang sedang menelfon seseorang di sampingnya.

Taksi berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua di kawasan Blok O.

“Ayo, kita udah sampai,” ajak Jatmiko dan mereka kemudian turun dari taksi.

TBC

Terpopuler

Comments

Else Widiawati

Else Widiawati

lanjuutt kak💪💪💪

2023-07-04

0

Else Widiawati

Else Widiawati

masih nyimak ceritanya kak othor...

2023-07-04

0

Una_awa

Una_awa

lanjut lagi kak,, semangat terus ya up nya💪😁

2023-07-03

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. Tidak Menanam, Tapi Memanen.
2 BAB 2. Kepergian Dan Kedatangan.
3 BAB 3. Memaksakan Kehendak.
4 BAB 4. Gagal Bertemu.
5 BAB 5. Tidak Ada Pembeda.
6 BAB 6. Wajah Sama, Sifat Berbeda.
7 BAB 7. Kenangan Yang Tidak Ada Dalam Kisah.
8 BAB 8. Menjaga Batasan, Sekedar Tahu Diri.
9 BAB 9. Tidak Berani Menolak.
10 BAB 10. Caranya Berterimakasih.
11 BAB 11. Kesan Pertama, Cantik.
12 BAB 12. Selalu Saja Kebetulan.
13 BAB 13. Sepercik Api.
14 BAB 14. Terus Menyangkal.
15 BAB 15. Untuk Pembeda.
16 BAB 16. Berdebar Untuk Dua Hal Yang Berbeda.
17 BAB 17. Ras Terkuat Di Bumi.
18 BAB 18. Keinginan Ibu Negara.
19 BAB 19. Datang Sesuka Hati, Pergi Di Paksa Setengah Mati.
20 BAB 20. Keromantisan Yang Membuat Iri.
21 BAB 21. Desiran Itu Semakin Nyata Saja.
22 BAB 22. Tersiksa Dengan Perasaan Sendiri.
23 BAB 23. Suka Dan Sakit, Diam-Diam.
24 BAB 24. Tidak Ada Getaran.
25 BAB 25.
26 BAB 26. Rasa Lega Dan Rasa Gila.
27 BAB 27. Dia Bisa Apa?
28 BAB 28. Antara Dua Wisuda.
29 BAB 29. Bukan Tidak Mendengar.
30 BAB 30. Menahan Sakit Sendirian.
31 BAB 31. Sebelum Rasa Tidak Nyaman Itu Semakin Besar.
32 BAB 32. Rencana Tinggal Rencana.
33 BAB 33. Bersenang-Senang.
34 BAB 34. Tidak Ingin Melukai Siapapun.
35 BAB 35. Semua Itu Karna Malu.
36 BAB 36. Bersiap Untuk Pergi.
37 BAB 37. Sudah Begitu. Mau Bagaimana Lagi.
38 BAB 38. Lama Tidak Bertemu.
39 BAB 39. Harus Disembunyikan.
40 BAB 40. Sakit, Sudah Biasa. Tapi Tetap Tidak Bisa DI Tahan.
41 BAB 41. Titik Terlemah.
42 BAB 42. Bertaruh Pada Waktu.
43 BAB 43. Lepaskan Yang Membuatmu Sakit.
44 BAB 44. Tidak Bisa Fokus.
45 BAB 45. Memangnya Dia Siapa?
46 BAB 46. Tidak Bisa Di Nasehati.
47 BAB 47. Berubah Asing.
48 BAB 48. Mengikhlaskan Perasaan.
49 BAB 49. Sulitnya Mengendalikan Perasaan Cinta.
50 BAB 50. Kenapa Dia begitu?
51 BAB 51. Hanya Khawatir.
52 BAB 52. Mencelos Sakit.
53 BAB 53. Tidak Boleh Iri.
54 BAB 54. Bukan Mimpi.
55 BAB 55. Prasangka Sendiri.
56 BAB 56. Ada Sebuah Trauma.
57 BAB 57. Saling Terpaut.
58 BAB 58. Sentuhan Kepemilikan.
59 BAB 59. Dilamar Lagi.
60 BAB 60. Sibuk Dengan Prasangka Sendiri.
61 BAB 61. Cemburu
62 BAB 62. Tuduhan.
63 BAB 63. Untung Tidak Jadi Salah Faham.
Episodes

Updated 63 Episodes

1
BAB 1. Tidak Menanam, Tapi Memanen.
2
BAB 2. Kepergian Dan Kedatangan.
3
BAB 3. Memaksakan Kehendak.
4
BAB 4. Gagal Bertemu.
5
BAB 5. Tidak Ada Pembeda.
6
BAB 6. Wajah Sama, Sifat Berbeda.
7
BAB 7. Kenangan Yang Tidak Ada Dalam Kisah.
8
BAB 8. Menjaga Batasan, Sekedar Tahu Diri.
9
BAB 9. Tidak Berani Menolak.
10
BAB 10. Caranya Berterimakasih.
11
BAB 11. Kesan Pertama, Cantik.
12
BAB 12. Selalu Saja Kebetulan.
13
BAB 13. Sepercik Api.
14
BAB 14. Terus Menyangkal.
15
BAB 15. Untuk Pembeda.
16
BAB 16. Berdebar Untuk Dua Hal Yang Berbeda.
17
BAB 17. Ras Terkuat Di Bumi.
18
BAB 18. Keinginan Ibu Negara.
19
BAB 19. Datang Sesuka Hati, Pergi Di Paksa Setengah Mati.
20
BAB 20. Keromantisan Yang Membuat Iri.
21
BAB 21. Desiran Itu Semakin Nyata Saja.
22
BAB 22. Tersiksa Dengan Perasaan Sendiri.
23
BAB 23. Suka Dan Sakit, Diam-Diam.
24
BAB 24. Tidak Ada Getaran.
25
BAB 25.
26
BAB 26. Rasa Lega Dan Rasa Gila.
27
BAB 27. Dia Bisa Apa?
28
BAB 28. Antara Dua Wisuda.
29
BAB 29. Bukan Tidak Mendengar.
30
BAB 30. Menahan Sakit Sendirian.
31
BAB 31. Sebelum Rasa Tidak Nyaman Itu Semakin Besar.
32
BAB 32. Rencana Tinggal Rencana.
33
BAB 33. Bersenang-Senang.
34
BAB 34. Tidak Ingin Melukai Siapapun.
35
BAB 35. Semua Itu Karna Malu.
36
BAB 36. Bersiap Untuk Pergi.
37
BAB 37. Sudah Begitu. Mau Bagaimana Lagi.
38
BAB 38. Lama Tidak Bertemu.
39
BAB 39. Harus Disembunyikan.
40
BAB 40. Sakit, Sudah Biasa. Tapi Tetap Tidak Bisa DI Tahan.
41
BAB 41. Titik Terlemah.
42
BAB 42. Bertaruh Pada Waktu.
43
BAB 43. Lepaskan Yang Membuatmu Sakit.
44
BAB 44. Tidak Bisa Fokus.
45
BAB 45. Memangnya Dia Siapa?
46
BAB 46. Tidak Bisa Di Nasehati.
47
BAB 47. Berubah Asing.
48
BAB 48. Mengikhlaskan Perasaan.
49
BAB 49. Sulitnya Mengendalikan Perasaan Cinta.
50
BAB 50. Kenapa Dia begitu?
51
BAB 51. Hanya Khawatir.
52
BAB 52. Mencelos Sakit.
53
BAB 53. Tidak Boleh Iri.
54
BAB 54. Bukan Mimpi.
55
BAB 55. Prasangka Sendiri.
56
BAB 56. Ada Sebuah Trauma.
57
BAB 57. Saling Terpaut.
58
BAB 58. Sentuhan Kepemilikan.
59
BAB 59. Dilamar Lagi.
60
BAB 60. Sibuk Dengan Prasangka Sendiri.
61
BAB 61. Cemburu
62
BAB 62. Tuduhan.
63
BAB 63. Untung Tidak Jadi Salah Faham.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!