Anita menghela napas dengan berat begitu mendengar ucapan Vivian. Di satu sisi ia merasa kasihan pada sahabatnya itu, tapi di sisi lain justru Anita merasa jika perjalanan cinta yang Vivian jalani sangatlah menguntungkan. Toh, berkat hubungan rahasia yang Vivian jalani lah Vivian dapat hidup dengan nyaman seperti sekarang ini. Seandainya saja Vivian setia pada satu pria, belum tentu Vivian dapat hidup dengan segala kemewahan yang sekarang tengah Vivian rasakan.
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, Vi. Kamu bisa mengakhiri semua ini jika kamu sudah merasa lelah dan ingin menjalin hubungan yang sesungguhnya dengan seseorang. Apa kamu sudah menemukan orang yang bisa membuatmu nyaman?" Anita memberi saran, sekaligus mengajukan pertanyaan pada Vivian.
Vivian tersenyum miring. "Entahlah. aku tidak terparkir untuk mengakhiri semua ini, dan hingga saat ini belum ada yang benar-benar membuatku nyaman."
"Oh, ya? Kamu tidak terpikir untuk berhenti, tapi di sisi lain kamu terus mengeluh tentang keadaanmu. Kamu ini plin-plan sekali," omel Anita.
Vivian ingin mendebat ucapan Anita, tetapi tiba-tiba saja ponselnya berdering. Vivian dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, tetapi ia tidak langsung menerima panggilan yang masuk, karena nomor yang menghubunginya adalah nomor baru yang tidak tersimpan di dalam daftar kontak.
"Siapa?" tanya Anita.
Vivian menggeleng. "Tidak tahu," jawab Vivian.
"Angkat saja, siapa tahu dari salah satu kenalanmu," ucap Anita.
Vivian menggeleng. Ia sangat trauma pada panggilan dari nomor-nomor yang tidak dikenal, karena tidak jarang para penelepon asing itu adalah para istri sah yang suaminya pernah ia pinjam untuk sementara.
"Bagaimana kalau istrinya Subroto? Atau mungkin istrinya Steven. Aku dan Steve juga baru putus beberapa hari lalu," ucap Vivian yang terlihat sangat gelisah.
Anita merebut ponsel Vivian dari tangan Vivian, dan segera menonaktifkan ponsel tersebut. "Sudah beres. Jangan panik dan tetap tenang, Vi," ujar Anita.
Vivian mengatur napas, menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. "Aku tidak akan panik," gumam Vivian.
"Bagus, Vi, karena panik tidak akan membawa keuntungan apa pun untukmu," ujar Anita, sembari menepuk bahu Vivian.
Vivian mengangguk dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi mobil yang terasa empuk. Ia bukannya takut jika harus menerima telepon dari para istri-istri bermulut barbar. Menerima cacian dan sumpah serapah sudah sering ia alami, hingga rasanya ia sudah sangat kebal. Namun, terkadang ada beberapa istri sah yang ikut mengatai ibunya, dan hal itu membuat Vivian merasa tidak tahan. Itulah sebabnya Vivian tidak ingin berurusan dengan para istri sah jika bisa.
Hening untuk beberapa saat, baik Vivian atau pun Anita tidak ada yang bicara. Vivian memejamkan mata, berusaha untuk tidur sejenak, karena ia memang merasa sangat leleh. Sementara itu, Anita masih setia pada tugasnya untuk mengawasi pintu keluar gedung megah yang ada di hadapannya.
Anita memang memiliki tugas demikian sejak awal Vivian memulai debutnya sebagai wanita penggoda para pria-pria kaya. Hingga sekarang terhitung sudah enam tahun Anita menjalankan tugas rumitnya tersebut. Anita harus mencari informasi tentang pengusaha kaya yang memiliki harta berlimpah, mengawasi, hingga pada akhirnya mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan yang akan diserahkan kepada istri sah, agar hubungan yang tengah Vivian jalani dengan para pria yang sudah beristri itu segera berakhir.
Bukan tanpa alasan Vivian memilih pria beristri untuk dikeruk hartanya, karena jika Vivian menjalin hubungan dengan para pria single, Vivian takut pria-pria itu akan mengajaknya menikah. Namun, sekali-dua kali Vivian tidak keberatan jika harus berhubungan dengan pria single.
Anita sudah terkantuk-kantuk ketika ia melihat target yang sejak tadi ia nanti keluar dari dalam gedung perkantoran. Tidak menunggu waktu lama, Anita langsung mengguncang tubuh Vivian yang ternyata sudah tertidur di sebelahnya.
"Nah, Vi, Lihat! Kamu lihat pria itu tidak? Bangun, Vi, cepat bangun! Dia itu Darius."
Vivian terkejut. Ia segera membuka kedua mata dan menegakkan duduknya, lalu menatap lurus ke depan, tepat ke arah pintu keluar gedung di hadapannya.
Taraaaa!
Tidak sia-sia Vivian menanti selama berjam-jam. Anita memang pintar memilih target.
"Dia Darius?" tanya Vivian, tanpa menatap Anita, karena sekarang ini tatapannya hanya tertuju pada pria tinggi yang tengah melangkah dengan terburu-buru menuju sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di sisi lain gedung.
"Ya, itu Darius. Bagaimana pendapatmu?" tanya Anita.
Vivian tersenyum. "Jujur saja, aku langsung membayangkan bagaimana dia jika telan-jang."
Anita tertawa terbahak-bahak. "Heh, dasar wanita mesum!"
Vivian tidak peduli pada penilaian Anita. Ia memang mesum, tetapi tidak asal mesum. Vivian paling menghindari hubungan ranjang pada beberapa pria, tetapi jika pria yang menjadi targetnya sangat good looking, Vivian tidak menolak, dan justru sangat bersemangat untuk melakukannya.
"Kita ikuti dia sekarang," ujar Vivian, sambil menyalakan mesin mobil.
"Tidak harus sekarang juga tidak apa-apa. Bukankah kamu ada janji dengan Tristan," ujar Anita.
Vivian menggeleng. "Tristan bisa menunggu, tapi yang satu ini tidak." Vivian menjawab dengan santainya, dan segera mengikuti mobil Darius yang mulai meninggalkan area parkir gedung perkantoran.
***
Adi Rahardian, seorang pria yang telah berusia awal 60-an terbaring lemah di atas ranjang berukuran besar dengan ukiran-ukiran rumit pada sandarannya. Ia terlihat tidak sehat, sama seperti biasanya. Tidak mengherankan mengingat usianya yang memang sudah tua, ditambah lagi setiap saat ia selalu mendengar gosip miring yang tidak mengenakkan tentang putri angkatnya, Vivian.
Gosip-gosip yang beredar selalu sampai ke telinga Adi melalui rekan-rekan bisnisnya, atau melalui asistennya. Walaupun ia berusaha untuk tidak percaya, tetapi seiring berjalannya waktu mau-tidak mau ia pun menjadi percaya, dan hal itu malah semakin membuat kondisi kesehatannya memburuk setiap harinya.
"Virginia, Virginia!" Adi berseru, memanggil salah seorang putrinya.
Virginia yang mendengar seruan Adi, langsung berlari menghampiri pria itu.
"Ya, Ayah. Apa Ayah butuh sesuatu?" tanya Virginia, dengan suara yang begitu lembut.
Adi tersenyum pada putrinya. Jika Vivian adalah putri angkatnya, Virginia adalah putri kandungnya.
Virginia sangat cantik dan sederhana. Sikapnya lembut, dan tutur katanya sangat sopan. Walaupun sang ayah memiliki harta berlimpah, Virginia tidak pernah sekali pun bersikap angkuh. Ia tetap rendah hati.
"Apa suamimu sudah datang, Nak?" tanya Adi.
Virginia menggeleng. "Belum, Ayah. Sepertinya dia pergi ke Gym lagi. Andra selalu ke gym setiap sore." Virginia menjawab pertanyaan sang ayah.
"Ck, berhati-hatilah, Vi. Jangan terlalu bebaskan suamimu itu. Bagaimana kalau ada yang menggodanya. Zaman sekarang sesama wanita sangat kejam. Ayah tidak ingin kalau sampai Andra menjadi korban wanita-wanita yang begitu kegatalan."
Virginia tersenyum. "Jangan khawatir, Ayah, Andra tidak akan melakukan hal kejam itu padaku," ujar Virginia sambil tersenyum, berusaha membuat ayahnya tenang.
"Oh, ya, apa Ayah bisa minta tolong padamu, Nak?" tanya Adi lagi.
Virginia mengangguk. "Ya, Ayah, katakan saja."
"Hubungi Vivian, dan katakan padanya kalau ayah memintanya untuk datang."
Virginia yang mendengar perintah Adi tidak langsung menuruti apa kehendak pria tua itu. Ia terlihat ragu, dan hanya berdiri diam bagai patung sambil memainkan kuku di jemarinya.
"Cepatlah, Vi, kenapa diam saja."
Virginia menatap mata sang ayah. "Tapi berjanjilah, jangan marahi dia, Ayah. Ayah terlalu sering memarahinya, sampai-sampai dia tidak pernah mau datang ke sini lagi jika ada ayah di rumah."
Adi mendengkus kesal. "Sebagai kakak, kamu terlalu memanjakannya, Virginia. Jika bukan ayah yang menasehatinya, mau siapa lagi. Apa kamu tahu sudah berapa rumah tangga yang dia hancurkan."
"Semua itu hanya gosip, Ayah."
"Bukan, Virginia. Semua itu bukan gosip!" Adi terlihat sangat marah, dadanya menjadi naik-turun tidak teratur.
Virginia dengan sigap duduk di tepi ranjang sang ayah, dan meraih segelas air yang ada di nakas, di samping ranjang Adi.
"Minumlah, Ayah, dan tenanglah. Aku akan menelepon Vivian sekarang juga."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments