dokter Tirta

Tiba lah dimana hari paling memilukan dalam hidup Avril, ya pemakaman.

ia akan mengantarkan 3 keluarga nya sekaligus ke tempat peristirahatan terakhir.

mereka bertiga di kuburkan di Bogor, tempat kakek Avril karna memang rumah sakit tersebut lumayan dekat dari sana.

banyak sekali orang berdatangan untuk ikut serta membantu serta menumpahkan air mata di 3 pemakaman yang berjajar.

Avril tak henti-hentinya menangis bahkan ia tak peduli jika hidung nya harus merah dan mata nya yang akan sembab.

Isak tangis terdengar di pemakaman namun kakek harus tetap menenangkan Avril dan ia harus terlihat tegar supaya Avrl ikut tabah.

"Avril, kami pamit pulang ya. jangan sedih terus ya sayang" ucap salah satu tetangga mengelus kepala Avril.

Avril hanya diam sambil mengusap tanah kuburan dengan batu nisan bertuliskan Nelly.

orang-orang mulai pergi dan tinggalah kakek dan Avril disana, masih dengan keadaan yang sama, yaitu menangis.

"ka..kek, mama, papa, sama abang kok te..ga banget tinggalin Avril" kata Avril sesegukan karna menangis.

"mereka ga ninggalin Avril, mereka bakal selalu ada di samping Avril" kakek bingung harus menenangkan Avril seperti apa lagi, sedangkan diri nya saja juga ikut hancur.

"ayo pulang, cuaca mendung" kakek memegang bahu Avril dan mengajak nya bangun lalu pergi dari pemakaman.

mereka berjalan pulang ke rumah dan masuk dengan perasaan yang masih sama, sangat sedih.

"kakek, Avril ke kamar duluan ya" kakek mengangguk dan membiarkan Avril masuk ke dalam kamar.

Avril mengunci pintu dan duduk di pinggir kasur sambil menatap kosong ke arah cermin oval yang ada di hadapan nya.

ia melihat pantulan diri nya sendiri di cermin dan tersenyum miris dengan air mata yang terus keluar.

tak pernah ia bayangkan hidup nya akan seperti ini, ia tak tahu apakah bisa melewati ini semua atau tidak.

tiba-tiba ia teringat sesuatu, kotak yang di berikan dokter Tirta saat di rumah sakit tadi.

segera Avril mengambil kotak tersebut di dalam laci samping kasur dan memperhatikan kotak tersebut, lalu perlahan ia membuka kotak nya.

ada sebuah scarf berwarna grey dengan selembar kertas yang berada di bawah nya.

Avril mengambil kertas itu dan mulai membaca nya, isi kertas tersebut bertuliskan :

"hallo Avril, udah liat hadiah dari abang kan? scarf nya abang beli itu sepasang dari temen abang waktu pergi ke puncak

tau ga de kenapa abang beliin itu buat Avril? karna abang tau di Bogor itu dingin, jadi Avril bisa pake itu kalau kedinginan. nanti kalau kita udah ketemu, kita pake ya biar samaan

Abang harap di umur kamu yang sekarang, Avril bisa jadi anak yang lebih baik lagi dan bisa banggain mama papa, maaf abang suka gangguin Avril. tapi sebenernya abang sayang sama Avril.

oh ya, baca surat nya pas sendirian aja ya, abang malu kalau sampe di denger papa sama mama. happy birthday ade abang tersayang"

tangis Avril semakin pecah saat membaca surat itu, bahkan air mata nya sampai menetes di atas kertas nya.

ia memeluk scarf itu dan menangis sejadi-jadinya.

"Abang.. maafin Avril hiks.." Avril tak sanggup menerima kenyataan bahwa papa, mama dan abang nya pergi begitu saja.

Avril tak sanggup menjalani hari-hari tanpa mereka walaupun cuma sehari.

seperti nya tidak sanggup, itu yang ada dalam benak Avril.

"papa.. mama.. abang.. ayo balik. Avril ga bisa di tinggal kalian" Avril berharap bahwa ini hanyalah mimpi semata, ia menjambak rambut nya sendiri untuk memastikan bahwa ini hanyalah mimpi, namun nihil, ini semua nyata.

suasana kamar semakin sunyi dan hanya ada suara Isak tangis dari Avril yang tertidur sambil memeluk guling dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh nya.

mental nya sangat down dan semangat hidup nya seakan tak ada lagi.

Avril terus menangis hingga akhirnya dia tertidur sampai malam hari.

kakek mengetuk kamar Avril perlahan untuk menyuruh nya makan malam.

"Avril, ayo makan dulu" Avril membuka mata nya dan menghela napas.

"engga, kek. Avril ga laper" jawab Avril dengan suara serak.

"kamu harus makan, ini sudah malam. nanti kamu bisa sakit" kata kakek lagi.

"engga, kek. Avril gamau" kakek menghela napas mendengar jawaban dari cucu nya itu.

namun ia paham akan kondisi Avril sekarang, pasti dia sangat terpuruk dan selera makan nya hilang.

"yasudah, nanti kalau lapar langsung makan ya. kakek taruh di lemari makan"

Avril tak menjawab, kakek pun pergi meninggalkan nya dan pergi ke kamar tidur.

"maafin Avril, kek. Avril ga nafsu makan" gumam nya pelan karna merasa bersalah pada kakek yang sudah masak makanan untuk nya.

•••

disisi lain, para dokter dan suster terus memantau kondisi Tasya yang masih koma di rumah sakit.

luka yang Tasya dapat tidak terlalu parah seperti keluarga nya yang lain tapi hal itu mampu membuat Tasya tak sadar diri dari kemarin malam.

"tolong kabari saya jika ada perkembangan dari pasien" kata dokter Tirta kepada salah satu suster.

"baik, dok" suster mengangguk dan membiarkan dokter Tirta pergi.

ini sudah malam dan waktunya untuk pulang namun ada beberapa dokter dan suster yang masih stay di rumah sakit untuk menjaga para pasien.

dokter Tirta pulang ke rumah menggunakan mobil dan di perjalanan ia melewati tol dimana mobil keluarga Avril mengalami kecelakaan.

di jalan tol tersebut masih banyak puing-puing mobil berserakan dan tentu nya bangkai mobil yang terlihat mengenaskan di tepi jalan tol.

tiba-tiba dokter Tirta teringat pada Avril yang di temui nya di rumah sakit tadi pagi.

ia menghela napas dan kembali fokus menyetir.

ada rasa kasihan di hati dokter Tirta kepada Avril yang masih berumur 15 tahun itu.

"kasihan sekali kamu, nak" monolog dokter Tirta sambil melirik kaca spion yang berada di samping nya.

tak lama sebuah panggilan telepon masuk di ponsel dokter Tirta, segera ia memelankan laju mobil nya saat sudah keluar dari tol dan mengangkat telepon tersebut.

'boy' nama itu terpampang di layar ponsel milik dokter Tirta.

"hallo"

"hallo pah, papa dimana?"

"papa lagi di jalan, nak. ini udah mau arah pulang"

"oke kalau gitu"

"kenapa?"

"mama nyariin, kirain papa ga pulang"

"yasudah tunggu saja di rumah ya"

"iya pah, hati-hati"

"iya, nak"

sambungan telepon pun terputus, dokter Tirta menaruh kembali ponsel nya dan kembali melaju menuju pekarangan rumah nya.

untuk info, yang tadi menelepon adalah anak laki-laki nya yang berusia 16 tahun dan bersekolah di kelas 10.

•••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!